Mohon tunggu...
Handoko Suhardi MD PgDip
Handoko Suhardi MD PgDip Mohon Tunggu... Dokter - Medical Doctor | Postgraduate Diploma in Preventive Cardiovascular Medicine

Seorang dokter yang sedang tahap penyetaraan di Berlin Jerman untuk spesialisasi di bidang kardiologi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Penderita Gout (Asam Urat) Dilarang Makan Sayur Hijau dan Kacang, Benarkah?

12 September 2022   09:00 Diperbarui: 15 September 2022   02:00 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini penulis akan membahas sebuah systematic review dan meta analisis oleh Rongrong Li, Kang Yu, dan Chunwei Li yang sebetulnya sudah diterbitkan sejak 2018 mengenai pola makan terkait gout.(1)

Gout atau yang disebut awam sebagai penyakit asam urat disebabkan oleh peradangan sendi inflamatorik akibat penumpukan kristal monosodium urate (MSU) monohydrate yang sebetulnya dapat terjadi di jaringan-jaringan tubuh, meski memang salah satunya yang paling menyebabkan masalah (misalnya menyebabkan flare-up) adalah penumpukannya di persendian kecil.

Penumpukan kristal ini terjadi saat tubuh mengalami hiperurisemia, yakni suatu kondisi kadar serum urat yang terlalu tinggi. Itulah sebabnya mengapa selama berpuluh-puluh tahun, dokter-dokter, nutrisionis, dan ahli gizi menganjurkan pasien-pasien dengan hiperurisemia asimtomatik atau bahkan penderita gout menghindari makanan-makanan tinggi purin seperti seafood, organ-organ hewan, daging merah. (2)

Namun sayangnya juga termasuk sumber purin nabati, seperti sayur-sayuran hijau, kembang kol, dan kacang-kacangan, dengan imbasnya, saran pembatasan konsumsi tahu dan tempe.

Mengingat bahwa hiperurisemia merupakan suatu kondisi yang jarang berdiri sendiri, melainkan suatu kondisi gangguan metabolisme, hiperurisemua sangat sering ditemukan bersama dengan sindrom metabolik. 

Pasien biasanya adalah seorang obesitas, terutama obesitas sentral, dengan toleransi glukosa terganggu akibat resistensi insulin, memiliki dislipidemia, dan menderita hipertensi. 

Hal ini tentu mengundang pertanyaan emosional bagi pasien yang dilarang makan ini-itu oleh dokter mulai dari harus membatasi makan nasi putih, bihun, bakmi karena trigliserida yang tinggi, tidak boleh makan daging merah dan organ-organ, tidak boleh makan buah-buahan yang terlalu manis karena gula darah yang tinggi, tidak boleh makan sayur-sayuran hijau, kacang-kacangan, dll. 

"Lalu saya makan harus makan apa, dok?"

Asam urat secara alamiah dibuang oleh tubuh oleh ginjal melalui urin, sehingga edukasi utama untuk mengurangi asam urat adalah selalu untuk minum banyak air putih, dan bahkan sebisa mungkin sering mengonsumsi makanan-makanan basah seperti sup dan mengganti snack dengan buah-buahan yang mengandung banyak air, tentu saja buah-buahan yang akan terlintas di benak.

Bahkan muncul saat googling buah-buahan untuk penderita asam urat adalah buah-buahan kaya fruktosa seperti semangka, nanas, strawberry, mangga, dll. 

Namun bagaimana fakta Evidenced-based Medicine berbicara?

Systematic review dan meta analisis sembilan belas studi kohort prospektif atau studi cross-sectional oleh Rongrong Li, dkk (1) secara mengejutkan menegaskan bahwa risiko hiperurisemia dan asam urat secara POSITIF dengan berurutan berkorelasi dengan:

  • Alkohol dengan OR (Odds Rasio) 2.58 (95% CI 1.81-3.66);
  • Fruktosa dengan OR 2.14 (95% CI 1.65-2.78);
  • Seafood dengan OR 1.31 (95% CI 1.01-1.68); dan
  • Daging merah dengan OR 1.29 (95% CI 1.16-1.44)

dan berkorelasi NEGATIF dengan:

  • Produk susu dengan OR 0.56 (95% CI 0.44-0.70);
  • Kedelai dengan OR 0.85 (95% CI 0.76-0.96)
  • Sayuran dengan kandungan purin tinggi tidak menunjukkan hubungan dengan hiperurisemia, tetapi bahkan memiliki hubungan negatif dengan gout dengan OR 0.86 (95% CI 0.75-0.98).
  • Asupan kopi dikaitkan secara negatif dengan risiko gout, namun mungkin terkait dengan peningkatan risiko hiperurisemia pada wanita, tidak pada pria.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Jake, dkk (3) pada 2019 mendukung hal serupa. Semua makanan berbasis nabati terbukti menurunkan risiko kejadian gout, dan hal ini dikaitkan dengan jenis purin nabati, serat, kandungan polifenol, vitamin C, dan faktor gaya hidup tertentu pada populasi yang terbiasa makan sayur-sayuran dengan populasi yang tidak menyukai sayur-sayuran. 

Diet mediteranean yang kaya konsumsi kacang-kacangan tanpa olahan yang diteliti oleh Nickolai, dkk (4) dari Jerman juga menunjukkan kemampuan protektifnya terhadap hiperurisemia dan gout. 

Kandungan antioksidan yang begitu tinggi dari alam nabati dihipotesiskan berperan besar mencegah peradangan, baik peradangan yang berperan menyebabkan penumpukan kristal MSU, maupun peradangan oleh kristal MSU itu sendiri yang bermanifestasi sebagai gout.

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut ada beberapa poin edukasi yang harus diubah 'besar-besaran'. 

Pertama, bahwa diet berbasis nabati, yakni sayur-sayuran dan kacang-kacangan (termasuk produk soy seperti tahu dan tempe), meskipun tinggi purin, tidak terbukti menyebabkan hiperurisemia, dan dengan lebih yakin, bersifat protektif terhadap insidensi gout. 

Kedua, bahwa tidak semua buah-buahan kaya air aman dikonsumsi untuk penderita gout, terutama pasien harus berhati-hati terhadap buah-buahan kaya fruktosa seperti apel, anggur, pir, semua buah-buahan yang dikeringkan, mangga, nanas, blackberries, blueberries, raspberries, strawberries dan semangka, serta madu. 

Ketiga bahwa kita harus mengingatkan pasien dengan gout untuk benar-benar menghindari alkohol, mengingat OR-nya terhadap kejadian gout yang sangat tinggi, dan kemudian meminimalkan konsumsi seafood dan daging merah. 

Sekali lagi penulis menekankan bahwa praktik klinis kedokteran adalah sebuah seni. Setiap dokter boleh menyampaikan pendapat dan berpraktik berdasarkan keilmuan, pengalaman, dan pembelajaran masing-masing. Namun sebagai seorang long-life learner, alangkah baiknya menjalankan praktik klinis yang berdasarkan Evidenced-based Medicine.

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun