Mohon tunggu...
Syaiful Rohman R
Syaiful Rohman R Mohon Tunggu... Guru - SMA Negeri 1 Sampang, Madura

Praktisi Pendidikan, Penulis, Penggiat Literasi, Pemerhati Lingkungan Hidup, Sosial Budaya, dan Kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penerapan Budaya Positif di Sekolah

12 November 2022   08:36 Diperbarui: 12 November 2022   09:06 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penerapan Budaya Positif di Sekolah

Oleh :

 

Syaiful Rohman

CGP Angkatan 6, Kab. Sampang, Prov. Jawa Timur

Guru SMAN 1 Sampang

PENDAHULUAN

Sebagai Calon Guru Penggerak, kita harus belajar secara lengkap, baik, dan benar tentang beberapa konsep budaya positif di sekolah, yaitu (a) memahami konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dihubungkan dengan konsep budaya dan lingkungan positif di sekolah yang berpihak pada murid, (b) melakukan evaluasi dan refleksi tentang praktik disiplin dalam pendidikan Indonesia secara umum untuk mendapatkan pemahaman baru mengenai konsep disiplin positif untuk menciptakan murid dengan profil pelajar Pancasila, (c) Memahami peran sebagai guru untuk membangun budaya positif dengan menerapkan konsep disiplin positif dalam berinteraksi dengan murid.

Kemudian (d) mendemonstrasikan pemahaman CGP mengenai konsep Budaya Positif yang di dalamnya terdapat konsep perubahan paradigma stimulus respons dan teori kontrol, 3 teori motivasi perilaku manusia, motivasi internal dan eksternal, keyakinan kelas, hukuman dan penghargaan, 5 kebutuhan dasar Manusia, 5 posisi kontrol guru dan segitiga restitusi, (e) menerapkan strategi disiplin positif yang memerdekaan murid untuk menciptakan ekosistem sekolah aman dan berpihak pada anak, (f) menyusun langkah-langkah dan strategi aksi nyata yang efektif dalam mewujudkan kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan sekolah agar tercipta budaya positif yang dapat mengembangkan karakter murid, dan (g) bersikap reflektif dan kritis terhadap budaya di sekolah dan senantiasa mengembangkannya sesuai kebutuhan sosial dan murid.

Untuk itu, kita harus mempelajari dan memahami konsep-konsep, yaitu (i) disiplin positif, (ii) teori kontrol, (iii) teori motivasi, (iv) hukuman dan penghargaan, (v) posisi kontrol guru, (vi) kebutuhan dasar manusia, (vii) keyakinan kelas, dan (viii) segitiga restitusi.

Disiplin Positif dan Nilai-Nilai Kebajikan

Pada awalnya, kata disiplin berasal dari bahasa Latin, 'disciplina', yang artinya belajar. Makna disiplin adalah belajar kontrol diri dengan menggali potensi kita, agar tercapai tujuan mulia, yaitu sesuatu menjadi seseorang yang kita inginkan berdasarkan nilai-nilai yang kita hargai. Namun dalam budaya kita, makna kata disiplin telah berubah menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kecenderungan umum adalah menghubungkan kata disiplin dengan ketidaknyamanan, bukan dengan apa yang kita hargai, atau   pencapaian suatu tujuan mulia.

Disiplin positif merupakan pendekatan mendidik anak untuk melakukan kontrol diri dan pembentukan kepercayaan diri. Tujuan mulia dari penerapan disiplin positif adalah agar terbentuk murid-murid yang berkarakter, berdisiplin, santun, jujur, peduli, bertanggung jawab, dan merupakan pemelajar sepanjang hayat sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang diharapkan.

Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai  setiap individu. Nilai-nilai tersebut bersifat universal, dan lintas bahasa, suku bangsa, agama maupun latar belakang. Nilai-nilai kebajikan yang ingin dicapai oleh setiap anak Indonesia kita kenal dengan Profil Pelajar Pancasila, yaitu; Beriman, Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia, Mandiri, Bernalar Kritis, Berkebinekaan Global, Bergotong royong, dan Kreatif.

Teori Kontrol dan Teori Motivasi

Ada beberapa teori kontrol, yaitu (i) Ilusi guru mengontrol murid. Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu, jika murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya, (ii) Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat. Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk kontrol, (iv) Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter. Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal, dan (iv) Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa. Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu.

Ada beberapa motivasi perilaku manusia, yaitu: (i) untuk menghindari ketidaknyamanan/hukuman. Ini adalah tingkat terendah dari teori motivasi perilaku manusia.  (motivasi bersifat eksternal), dan (ii) untuk mendapat imbalan/penghargaan dari orang lain. Satu tingkat di atas motivasi yang pertama (motivasi bersifat eksternal), (iii) untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila penulis melakukannya?. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal.

Hukuman dan Penghargaan

Baik hukuman maupun penghargaan adalah cara-cara mengontrol perilaku seseorang yang menghancurkan potensi untuk pembelajaran yang sesungguhnya. Penghargaan efektif jika kita menginginkan seseorang melakukan sesuatu yang kita inginkan dalam jangka waktu pendek.

Posisi Kontrol Guru

Ada 5 (lima) posisi kontrol guru ketika menerapkan disiplin di dalam ruang kelas, yaitu: (a) penghukum, seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik dan verbal, (b) pembuat rasa bersalah, pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lembut, (c) teman, guru menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang, (d) pemantau, berarti mengawasi, pada saat mengawasi, guru akan bertanggung jawab akan perilaku orang-orang yang kita awasi, dan (e) manajer, adalah posisi dimana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilahkan murid mempertanggung jawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.

Kebutuhan Dasar Manusia

Ada 5 (lima) kebutuhan dasar manusia, yaitu : (a) bertahan hidup_survival, (b) kasih penulisng dan rasa diterima_love and belonging, (c) penguasaan_power, (d) kebebasan_freedom, dan (e) kesenangan_fun. Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Keyakinan Kelas

Keyakinan kelas merupakan nilai-nilai kebajikan yang telah disepakati oleh guru dan murid sebagai upaya mewujudkan disiplin positif. Keyakinan kelas mengacu pada nilai-nilai mulia dan prinsip-prinsip mulia yang dianut seseorang.

Restitusi dan Segitiga Restitusi

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat. Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka ingin menjadi (tujuan mulia), dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Gossen; 2004).

Ada 10 (sepuluh) ciri-ciri restitusi, yaitu (i) bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan, (ii) memperbaiki hubungan, (iii) tawaran, bukan paksaan, (iv) "menuntun" untuk melihat ke dalam diri, (v) mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan, (vi) cara yang paling baik, (vii) fokus pada karakter, bukan tindakan, (viii) menguatkan, (ix) fokus pada solusi, dan (x) mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya.

Ada 3 (tiga) langkah dalam melakukan segitiga restitusi, yaitu (a) menstabilkan  identitas, (b) validasi tindakan yang salah, dan (c) menanyakan keyakinan. Di bawah ini adalah contoh penerapan kesepakatan kelas dan praktik segitiga restitusi, bisa dilihat pada LINK :Penerapan Kesepakatan Kelas dan Segitiga Restitusi

KASUS 1 : Murid Tidak Mengerjakan dan Mengumpulkan "Papan Nama Ilmiah Tumbuhan"

"Hari Selasa, 18 Oktober 2022, saat pembelajaran biologi di kelas 10 MIPA-5 jam ke 6-8. Penulis sebagai guru biologi merekapitulasi murid yang telah mengerjakan dan mengumpulkan tugas biologi, yaitu "papan nama ilmiah tumbuhan" sesuai batas waktu yang telah ditentukan. Namun Akhtar Fauzul Anwar (01), salah satu murid di kelas 10 MIPA-5 telah membuat kesalahan karena belum mengerjakan dan mengumpulkan "papan nama ilmiah tumbuhan" sesuai batas waktu yang telah ditentukan. Untuk menyelesaikan masalah murid di atas, penulis melakukan praktik segitiga restitusi dengan Akhtar Fauzul Anwar" 

KASUS 2 : Murid Tidak Menyelesaikan Tugas Soal Latihan dengan Baik

"Hari Selasa, 11 Oktober 2022, saat pembelajaran biologi di kelas 10 MIPA-5 jam ke 6-8. Penulis sebagai guru biologi merekapitulasi murid yang telah menyelesaikan tugas yaitu soal latihan Bab 2 Keanekaragaman Hayati. Namun Farel Feriansyah (11), salah satu murid di kelas 10 MIPA-5 telah membuat kesalahan karena belum menyelesaikan tugas dengan baik tentang soal latihan Bab 2 Keanekaragaman Hayati. Untuk menyelesaikan masalah murid di atas, penulis melakukan praktik segitiga restitusi dengan Farel Feriansyah (11).  

Dari kasus di atas, untuk menciptakan budaya positif di kelas maupun di sekolah, kita sebagai guru harus melibatkan murid dalam perencanaan, pelaksanaan, umpan balik, dan tindak lanjut. Dengan harapan untuk mewujudkan kelas atau sekolah yang aman, nyaman, dan menyenangkan berdasarkan keyakinan kelas atau sekolah yang diyakini bersama.

Kesimpulan

Pengalaman yang pernah penulis alami terkait penerapan konsep budaya positif adalah ketika penulis mempunyai keinginan untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran murid dengan memposisikan diri sebagai MANAJER. Namun terkadang sikap dan tindakan penulis berbanding terbalik dengan budaya sekolah yang terbiasa MENGHUKUM murid sebagai langkah untuk membentuk disiplin. Untuk itu, penulis memerlukan pendekatan khusus dalam mensosialisasikan hal ini kepada rekan sejawat.

Perasaan penulis ketika mengalami hal tersebut adalah merasa tertantang untuk menempatkan posisi guru sebagai MANAJER, dan menerapkan segitiga restitusi dalam menyelesaikan pelanggaran murid. Dengan menempatkan posisi sebagai MANAJER, guru akan memberikan kesempatan kepada murid untuk mempertanggung jawabkan perilaku dan mendukung murid menemukan solusi atas permasalahannya. Penulis juga merasa tertantang untuk menyusun strategi dalam mensosialisasikan konsep budaya positif kepada rekan sejawat, agar kami dapat berkolaborasi untuk melakukan menerapkan budaya positif di kelas maupun sekolah.

Menurut penulis, hal baik yang sudah ada di lingkungan kelas dan sekolah adalah Disiplin Positif, Nilai-Nilai Kebajikan, dan Keyakinan Kelas dan Sekolah yang dibangun dengan prinsip BERPIHAK PADA MURID. Hal yang perlu diperbaiki adalah POSISI KONTROL seorang guru yang selama ini cenderung sebagai PENGHUKUM dan PEMBUAT RASA BERSALAH, menuju posisi seorang MANAJER.

Sebelum mempelajari posisi kontrol yang sering penulis pakai ketika menyelesaikan masalah murid yang melanggar keyakinan kelas/sekolah adalah posisi PENGHUKUM dan PEMBUAT RASA BERSALAH. Perasaan penulis saat mengambil posisi kontrol PENGHUKUM dan PEMBUAT RASA BERSALAH adalah merasa benar dengan sikap dan tindakan penulis, marah, kesal, dan kecewa. Penulis cenderung bersikap dan bertindak dalam kondisi yang terburu-buru untuk memberi hukuman dan sanksi, agar murid memiliki efek jera dan tidak mau mengulangi kesalahannya, walaupun hasilnya kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang penulis harapkan.

Namun setelah mempelajari Modul 1.4 Budaya Positif, posisi kontrol yang penulis pakai ketika menyelesaikan masalah murid yang melanggar keyakinan kelas/sekolah adalah posisi MANAJER. Perasaan penulis saat mengambil posisi kontrol MANAJER adalah lebih tenang, tidak terburu-buru, dan bisa mengontrol emosi. Bahkan saat penulis mencoba menerapkan Segitiga Restitusi, penulis bersyukur, senang, dan bangga dengan sikap dan tindakan murid yang lebih bertanggung jawab untuk memperbaiki kesalahannya.

Tahapan segitiga restitusi yang pernah penulis lakukan adalah MENSTABILKAN IDENTITAS dan VALIDASI TINDAKAN YANG SALAH. Penulis belum menerapkan pada tahapan MENANYAKAN KEYAKINAN, karena sebelumnya penulis cenderung meminta murid untuk memperbaiki kesalahannya berdasarkan sikap dan tindakan penulis, BUKAN menurut sikap dan tindakan murid penulis sendiri.

Menurut penulis, hal-hal lain yang penting dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah adalah (i) KOLABORASI antara semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan murid) dan stakeholder (pemangku kepentingan) lainnya, serta pemenuhan SARANA dan PRASARANA sekolah secara lengkap, baik, dan benar.

Semoga barokah. Aamiin ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun