Mohon tunggu...
Sotardugur Parreva
Sotardugur Parreva Mohon Tunggu... -

Leluhurku dari pesisir Danau Toba, Sumatera Utara. Istriku seorang perempuan. Aku ayah seorang putera dan seorang puteri. Kami bermukim di Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membubarkan BPK? Nanti Dulu

31 Mei 2017   14:15 Diperbarui: 31 Mei 2017   14:34 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel bertajuk Oknum BPK Kena OTT, Indonesia Darurat Korupsi? ditulis oleh Ronald Wan menarik banyak perhatian Kompasianer. Satu komentar Kompasianer atas artikel tersebut sangat menarik perhatian pula. Tulisnya, “Saya sih sudah ga percaya BPK sejak ketua nya terdaftar di Panama Papers. Lagi pula kalo BPK kerja nya benar dan jujur, kenapa tingkat korupsi di Indonesia dari dulu semakin meningkat dan baru lumayanan setelah ada KPK. Menurut sy BPK dibubarkan saja krn buat apa duit rakyat dipake utk auditor yg korup juga? Mending pake auditor publik aja. Lebih hemat dan kredible. Ga pusing2x mesti gaji pns BPK.”

Beberapa hal tertangkap dari komentar tersebut, antara lain:

  1. Komentator bersangkutan tidak percaya kepada BPK (Bandan Pemeriksa Keuangan) sejak ketua BPK (sekarang sudah mantan) terdaftar di Panama Papers;
  2. Pekerja (mungkin maksudnya adalah sumberdaya manusia) di BPK tidak benar dan jujur;
  3. Ketidakbenaran dan ketidakjujuran sumber daya manusia BPK meningkatkan jumlah korupsi;
  4. Jumlah korupsi menurun setelah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) berdiri;
  5. BPK patut untuk dibubarkan;
  6. Pejabat dan pegawai BPK dibayar dari duit rakyat;
  7. Auditor BPK korup;
  8. Lebih baik menggunakan Auditor Publik (Kantor Akuntan Publik?);
  9. Menggunakan Auditor Publik lebih hemat;
  10. Menggunakan Auditor Publik lebih credible;
  11. Tidak pusing menggaji Aparatur Sipil Negara (dulu PNS) di BPK.

Poin 5 sangat menarik perhatian Penulis.  Ketertarikan termaksud mendorong penulisan artikel ini.

Seingat Penulis, dulu, ketika sistem ketatanegaraan Indonesia mengenal istilah lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara, BPK termasuk sebagai lembaga tinggi negara beserta Lembaga Kepresidenan, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung), dan MA (Mahkamah Agung), sementara lembaga tertinggi adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).  

Pendirian BPK didasarkan pada pasal 23 (5) UUD 1945 yang berbunyi: Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.  Kemudian, pada Amandemen IV UUD 1945, eksistensi BPK dicantumkan dalam bab VIIIA berisikan tiga pasal 23E, 23F, dan 23G, selengkapnya:

BAB VIIIA

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Pasal 23 E

(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.

(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.

Pasal 23F

(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.

(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.

Pasal 23G

(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang.

Dari Bab VIIIA UUD 1945 itu, diketahui bahwa BPK tidak mempunyai fungsi penyelesaian suatu hasil pemeriksaan (temuan).  Artinya, bila pemeriksaan BPK menemukan suatu ketidakberesan, BPK hanya menyatakannya, dan menyampaikan kepada DPR, atau DPRD, atau DPD (Dewan Perwakilan Daerah).  Dalam hal BPK melaksanakan tugas pemeriksaan karena permintaan (pemeriksaan investigatif), BPK menyerahkan hasil pemeriksaan kepada pihak yang meminta pemeriksaan.

Penulis ingin menyatakan, bahwa karena eksistensi BPK tercantum dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945), maka pembubaran BPK tidak semudah yang dikehendaki oleh perorangan.  Sebagian besar negara di dunia memiliki BPK yang dinamai sebagai supreme audit board,maka akan menjadi menambah keanehan Indonesia apabila membubarkan BPK. Mungkin satu-satunya negara yang tidak mempunyai BPK adalah Vatikan, namun Penulis yakin, di Vatikan sekalipun, pasti terdapat fungsi pemeriksaan keuangan.

Bila ada pelaksana pemeriksa keuangan yang bertugas di BPK tertangkap tangan melakukan korupsi (kena OTT [Operasi Tangkap Tangan] KPK), bukan berarti BPK harus dibubarkan.  Semua pihak boleh saja prihatin dengan peristiwa auditor BPK kena OTT KPK, namun, mencermati pentingnya institusi tersebut maka pembubaran BPK bukanlah jalan keluar.

Salam bhinneka tunggal ika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun