Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Bikin Berisik

14 Januari 2023   05:49 Diperbarui: 14 Januari 2023   06:03 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya Infantilisasi

Bertingkah atau memperlakukan orang lain sebagaimana anak-anak disebut sebagai infantilisasi. Mengesampingkan kedewasaan usia dan pengalaman hidupnya. Benar, bahwa dalam hal tertentu seorang manusia berumur masih bertingkah seperti anak-anak. Tentu saja hal ini harus dilihat konteksnya.  Bertingkah seperti anak-anak dalam konteks tertentu masih bisa diterima namun tidak dalam konteks lainnya. Masalah kontekstual ini tentu saja amat subyektif antar orang per orang atau antar budaya.

Dalam debat-debat politik bila ada pihak yang menyodorkan ide yang nadanya menuduh, sering kita dengar perkataan pembelaan, "Sekarang rakyat sudah pintar-pintar". Barangkali ini ekspresi bahwa kita menolak perlakuan yang menganggap orang lain sebagai anak-anak yang tidak bisa berpikir jernih menggunakan akal sehat pikirannya.  Atau sebaliknya, menganggap yang menyodorkan ide itu kekanak-kanakan.

Banyak sekali kasus-kasus yang penyelesaiannya serampangan, seolah memperlakukan orang lain sebagai sosok yang tidak bisa berpikir secara jernih dan dewasa. Gampang dibohongi. Gampang dibikin lupa. Gampang diselimurkan atau dialihkan perhatiannya. Persis seperti anak-anak, nangis langsung berhenti begitu lihat apa yang diingini atau dialihkan perhatiannya dengan mainan lain.

Masih ingat orang tua kami di desa kalau melihat anak tak menghabiskan makannya, mereka bilang, "Kalau makannya nggak dihabiskan, ayamnya nanti mati." Meski tak ada korelasinya, anak akan berusaha menghabiskan makannya. Dan banyak lagi contoh-contoh pendidikan masa kecil yang mengabaikan cara pikir rasionil. Anak dan orangtua akhirnya tertawa bersama. Bully membully atau saling ledek itu sudah kita kenal sejak usia dini bahkan dari orang tua kita sendiri.

Dalam kasus perjuangan memperoleh kekuasaan, kita amat kenal dengan fenomena ledekan: cebong, kampret, kadrun dan lain-lain. Semua itu cerminan sikap infantilisasi antar sesama manusia dewasa. Tidak ada keuntungan bermanfaat didapat dari fenomena ledekan itu selain reaksi emosional dan keberisikan. Atau barangkali itukah tujuannya? Agar berisik? Tujuan yang amat kekanak-kanakan. Bahkan Gus Dur pernah bilang bahwa DPR itu seperti taman kanak-kanak karena berisik berdebat tentang masalah-masalah tidak penting? Demokrasi kita masih demokrasi anak-anak?

Benarkah budaya kita itu senang meledek? Budaya memperlakukan orang lain seperti anak-anak? Membully orang lain agar kita mendapat kepuasan emosionil? Dalam banyak kasus, sepertinya kita bersikap seperti itu. Setiap kebijakan, terobosan, peraturan atau apapun fenomenanya lebih banyak selalu mengundang ledekan, cemoohan, bullyan dan reaksi-reaksi emosional lainnya. 

Reaksi rasionil dan logis jarang digunakan atau bahkan dilalaikan begitu saja. Cara pikir dewasa - logis, rasionil, bernalar atau bijaksana, tidak terpakai. Pokoknya harus merasa berada di atas angin. Tidak peduli bagaimana caranya yang penting orang lain jadi nangis, takluk, ngaku kalah atau kalau perlu sampai terjerumus dalam jurang kesengsaraan dan penderitaan.

Nasehat Kakek berikutnya yang aku ingat adalah, "Jika ledekan itu ditujukan pada kamu gimana rasanya?" Tentu saja kupikir pasti tidak menyenangkan dan menjengkelkan. Aku lupa bahwa ledekan itu bisa berubah arah. Aku tidak sadar bahwa suatu saat di lain tempat aku bisa berada seperti di posisi adikku. Diledek dan diperlakukan macam anak-anak. Semua diatur-atur? Tidak boleh gini dan gitu? Harus ini dan itu? Menghiraukan akal sehat dan nalarku sebagai manusia dewasa. *** (HBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun