Budaya Infantilisasi
Bertingkah atau memperlakukan orang lain sebagaimana anak-anak disebut sebagai infantilisasi. Mengesampingkan kedewasaan usia dan pengalaman hidupnya. Benar, bahwa dalam hal tertentu seorang manusia berumur masih bertingkah seperti anak-anak. Tentu saja hal ini harus dilihat konteksnya. Â Bertingkah seperti anak-anak dalam konteks tertentu masih bisa diterima namun tidak dalam konteks lainnya. Masalah kontekstual ini tentu saja amat subyektif antar orang per orang atau antar budaya.
Dalam debat-debat politik bila ada pihak yang menyodorkan ide yang nadanya menuduh, sering kita dengar perkataan pembelaan, "Sekarang rakyat sudah pintar-pintar". Barangkali ini ekspresi bahwa kita menolak perlakuan yang menganggap orang lain sebagai anak-anak yang tidak bisa berpikir jernih menggunakan akal sehat pikirannya. Â Atau sebaliknya, menganggap yang menyodorkan ide itu kekanak-kanakan.
Banyak sekali kasus-kasus yang penyelesaiannya serampangan, seolah memperlakukan orang lain sebagai sosok yang tidak bisa berpikir secara jernih dan dewasa. Gampang dibohongi. Gampang dibikin lupa. Gampang diselimurkan atau dialihkan perhatiannya. Persis seperti anak-anak, nangis langsung berhenti begitu lihat apa yang diingini atau dialihkan perhatiannya dengan mainan lain.
Masih ingat orang tua kami di desa kalau melihat anak tak menghabiskan makannya, mereka bilang, "Kalau makannya nggak dihabiskan, ayamnya nanti mati." Meski tak ada korelasinya, anak akan berusaha menghabiskan makannya. Dan banyak lagi contoh-contoh pendidikan masa kecil yang mengabaikan cara pikir rasionil. Anak dan orangtua akhirnya tertawa bersama. Bully membully atau saling ledek itu sudah kita kenal sejak usia dini bahkan dari orang tua kita sendiri.
Dalam kasus perjuangan memperoleh kekuasaan, kita amat kenal dengan fenomena ledekan: cebong, kampret, kadrun dan lain-lain. Semua itu cerminan sikap infantilisasi antar sesama manusia dewasa. Tidak ada keuntungan bermanfaat didapat dari fenomena ledekan itu selain reaksi emosional dan keberisikan. Atau barangkali itukah tujuannya? Agar berisik? Tujuan yang amat kekanak-kanakan. Bahkan Gus Dur pernah bilang bahwa DPR itu seperti taman kanak-kanak karena berisik berdebat tentang masalah-masalah tidak penting? Demokrasi kita masih demokrasi anak-anak?
Benarkah budaya kita itu senang meledek? Budaya memperlakukan orang lain seperti anak-anak? Membully orang lain agar kita mendapat kepuasan emosionil? Dalam banyak kasus, sepertinya kita bersikap seperti itu. Setiap kebijakan, terobosan, peraturan atau apapun fenomenanya lebih banyak selalu mengundang ledekan, cemoohan, bullyan dan reaksi-reaksi emosional lainnya.Â
Reaksi rasionil dan logis jarang digunakan atau bahkan dilalaikan begitu saja. Cara pikir dewasa - logis, rasionil, bernalar atau bijaksana, tidak terpakai. Pokoknya harus merasa berada di atas angin. Tidak peduli bagaimana caranya yang penting orang lain jadi nangis, takluk, ngaku kalah atau kalau perlu sampai terjerumus dalam jurang kesengsaraan dan penderitaan.
Nasehat Kakek berikutnya yang aku ingat adalah, "Jika ledekan itu ditujukan pada kamu gimana rasanya?" Tentu saja kupikir pasti tidak menyenangkan dan menjengkelkan. Aku lupa bahwa ledekan itu bisa berubah arah. Aku tidak sadar bahwa suatu saat di lain tempat aku bisa berada seperti di posisi adikku. Diledek dan diperlakukan macam anak-anak. Semua diatur-atur? Tidak boleh gini dan gitu? Harus ini dan itu? Menghiraukan akal sehat dan nalarku sebagai manusia dewasa. *** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H