Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Bikin Berisik

14 Januari 2023   05:49 Diperbarui: 14 Januari 2023   06:03 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masih ingat sekali kata-kata kakekku ketika aku masih duduk di sekolah dasar, "Adikmu aja mbok cengek." Kalau diartikan secara bebas dalam bahasa Indonesia, "Adikmu jangan kau bikin nangis." Di lain waktu, kadang Kakek menasehatiku untuk kasus yang sama, "Adikmu aja mbok jarak." Artinya dalam bahasa Indonesia, yakni "jangan kau godain atau ledekin".

Aku suka sekali menggoda adikku. Adikku laki-laki suka menangis. Kala itu ia berumur enam tahunan dan aku sembilan tahunan. Bila kemauannya tidak dituruti, pasti nangis. Olok-olok untuk anak yang suka nangis dalam bahasa daerahku adalah "gembeng" atau kalau lebih parah "gembeng kreweng".

Aku suka sekali mengatai dia, "anak gembeng". Tentu saja adikku menolak dibilang "gembeng". Saling tuduh dan tolak perihal "gembeng" akhirnya terjadi. Karena jengkel dituduh terus menerus, akhirnya adikku menangis.

Kadang aku menuduhnya tanpa alasan jelas dan asal-asalan. Suka ngompol, suka nyembunyikan makanan, suka bohong dan seterusnya. Adikku akan menolak keras tuduhan itu. Dan aku pun makin keras menuduhnya. Setelah adu debat kusir yang panjang, akhirnya dia menangis.  Rasanya puas kalau dia akhirnya nangis. Melihat reaksi adikku rasanya lega sekali. Sepertinya keadaan jadi rame. Aku merasa di atas angin.

Tapi setelah dinasehati oleh Kakek, aku sering mikir dan akhirnya berhenti meledek adikku. Kakek bilang, bila adik sering diledek nanti jadi anak nakal atau anak bandel. Dan mempertanyakan tabiatku menggoda adik itu manfaatnya apa selain hanya bikin berisik?

Media Sosial

Pada saat media sosial digunakan banyak orang, aku tidak menyangka bahwa sikap kekanak-kanakanku seperti itu ternyata bisa terbawa ke dunia dewasa oleh banyak orang. Orang yang kerjaannya suka meledek, menuduh tanpa fakta atau alasan jelas dan lain-lain dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan emosi, merasa berada di atas angin, merasa menang atau berharga.

Digroup-group WA yang anggotanya orang berpendidikan, sikap kekanak-kanakan itu ternyata juga eksis. Meski dipoles lebih halus biar seperti orang berpendidikan, tapi tetap saja intinya meledek, menuduh tanpa alasan jelas untuk memperoleh reaksi emosional dari anggota lainnya.

Dan celakanya, ledekan itu mendapat komentar berjibun pro dan kontra. Saling olok dan caci.  Persis seperti sikap adikku saat aku ledek. Adu argumen menolak keras, debat kusir dan akhirnya menangis. Kini yang menjadi para adik atau para kakak itu adalah semua member group. Mereka saling lempar bahan ledekan. Dan sepertinya mereka menikmati itu. Group jadi rame.

Beberapa hari lalu banyak posting di media sosial yang menyoroti ulang tahun PDIP. Dari seluruh rangkaian acara ulang tahun itu, beberapa isu jadi bahan ledekan. Meski banyak isu lain yang lebih berguna, tapi seolah lewat saja karena bukan bahan ledekan yang empuk. Juga tentang pengakuan kesalahan pemerintah atas pelanggaran berat hak azazi manusia tidak luput dari ledekan dan bully-an.

Bahan ledekan itu tidak saja ramai di media non-formal tapi juga di lembaga media formal. Di media formal, bahan ledekan itu tidak sekedar dicomot tapi juga dibesar-besarkan. Seolah berusaha menggiring opini banyak orang agar yang diledek itu dapat masalah, dipersoalkan, masuk penjara, dapat kesulitan atau hukuman dan agenda tersembunyi lainnya. Atau secara finansial, ternyata ledekan itu memberi keuntungan gampang dan berlimpah dari monetisasi?

Budaya Infantilisasi

Bertingkah atau memperlakukan orang lain sebagaimana anak-anak disebut sebagai infantilisasi. Mengesampingkan kedewasaan usia dan pengalaman hidupnya. Benar, bahwa dalam hal tertentu seorang manusia berumur masih bertingkah seperti anak-anak. Tentu saja hal ini harus dilihat konteksnya.  Bertingkah seperti anak-anak dalam konteks tertentu masih bisa diterima namun tidak dalam konteks lainnya. Masalah kontekstual ini tentu saja amat subyektif antar orang per orang atau antar budaya.

Dalam debat-debat politik bila ada pihak yang menyodorkan ide yang nadanya menuduh, sering kita dengar perkataan pembelaan, "Sekarang rakyat sudah pintar-pintar". Barangkali ini ekspresi bahwa kita menolak perlakuan yang menganggap orang lain sebagai anak-anak yang tidak bisa berpikir jernih menggunakan akal sehat pikirannya.  Atau sebaliknya, menganggap yang menyodorkan ide itu kekanak-kanakan.

Banyak sekali kasus-kasus yang penyelesaiannya serampangan, seolah memperlakukan orang lain sebagai sosok yang tidak bisa berpikir secara jernih dan dewasa. Gampang dibohongi. Gampang dibikin lupa. Gampang diselimurkan atau dialihkan perhatiannya. Persis seperti anak-anak, nangis langsung berhenti begitu lihat apa yang diingini atau dialihkan perhatiannya dengan mainan lain.

Masih ingat orang tua kami di desa kalau melihat anak tak menghabiskan makannya, mereka bilang, "Kalau makannya nggak dihabiskan, ayamnya nanti mati." Meski tak ada korelasinya, anak akan berusaha menghabiskan makannya. Dan banyak lagi contoh-contoh pendidikan masa kecil yang mengabaikan cara pikir rasionil. Anak dan orangtua akhirnya tertawa bersama. Bully membully atau saling ledek itu sudah kita kenal sejak usia dini bahkan dari orang tua kita sendiri.

Dalam kasus perjuangan memperoleh kekuasaan, kita amat kenal dengan fenomena ledekan: cebong, kampret, kadrun dan lain-lain. Semua itu cerminan sikap infantilisasi antar sesama manusia dewasa. Tidak ada keuntungan bermanfaat didapat dari fenomena ledekan itu selain reaksi emosional dan keberisikan. Atau barangkali itukah tujuannya? Agar berisik? Tujuan yang amat kekanak-kanakan. Bahkan Gus Dur pernah bilang bahwa DPR itu seperti taman kanak-kanak karena berisik berdebat tentang masalah-masalah tidak penting? Demokrasi kita masih demokrasi anak-anak?

Benarkah budaya kita itu senang meledek? Budaya memperlakukan orang lain seperti anak-anak? Membully orang lain agar kita mendapat kepuasan emosionil? Dalam banyak kasus, sepertinya kita bersikap seperti itu. Setiap kebijakan, terobosan, peraturan atau apapun fenomenanya lebih banyak selalu mengundang ledekan, cemoohan, bullyan dan reaksi-reaksi emosional lainnya. 

Reaksi rasionil dan logis jarang digunakan atau bahkan dilalaikan begitu saja. Cara pikir dewasa - logis, rasionil, bernalar atau bijaksana, tidak terpakai. Pokoknya harus merasa berada di atas angin. Tidak peduli bagaimana caranya yang penting orang lain jadi nangis, takluk, ngaku kalah atau kalau perlu sampai terjerumus dalam jurang kesengsaraan dan penderitaan.

Nasehat Kakek berikutnya yang aku ingat adalah, "Jika ledekan itu ditujukan pada kamu gimana rasanya?" Tentu saja kupikir pasti tidak menyenangkan dan menjengkelkan. Aku lupa bahwa ledekan itu bisa berubah arah. Aku tidak sadar bahwa suatu saat di lain tempat aku bisa berada seperti di posisi adikku. Diledek dan diperlakukan macam anak-anak. Semua diatur-atur? Tidak boleh gini dan gitu? Harus ini dan itu? Menghiraukan akal sehat dan nalarku sebagai manusia dewasa. *** (HBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun