Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bajigur, Diskusi Pilgub Makin Memanas dan Personal

19 Maret 2016   05:06 Diperbarui: 19 Maret 2016   08:07 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang facebooker nulis di lapak sebuah group perdebatan politik tentang pilgub DKI, meminta agar debat dihentikan karena sudah mulai menjurus ke masalah SARA. Facebooker tersebut prihatin atas arah perdebatan, tidak saja menyinggung SARA, tapi juga sudah saling menyerang secara personal.  

Tapi nampaknya debat itu tak juga berhenti begitu saja. Tanggapan komentar dari facebooker yang lain nampaknya menghiraukan postingan facebooker tersebut. Tidak semuanya bermuatan SARA memang. Ada juga yang menanggapi dengan kepala dingin dan obyektif.

Di lapak facebook penulis, debat pilgub memang kadang ada juga yang menyinggung masalah SARA. Meloper link-link yang sifatnya juga menjurus ke hal-hal berbau SARA. Bagi penulis postingan yang berbau SARA memang amat bikin risih. Ada teman yang postingan dan loperan linknya selalu berbau hoax dan SARA. Karena tidak cukup punya nilai positif, postingan itu saya sembunyikan dari timeline. Tapi beberapa lama kemudian postingannya muncul dan memuat hal sama. Akhirnya dengan berat hati, saya geser statusnya dari list "friend" ke "acquaintance".

Sikap saya di facebook itu mungkin banyak dilakukan orang lain. Bahkan ada yang lebih keras. Begitu ada nada SARA-nya atau ketidak-cocokan logika terhadap satu isu langsung ia putus pertemanannya. Beres. Postingan di facebook yang saling melecehkan tidak saja terdapat di lapak pribadi, tapi juga di group-group akademik yang seharusnya mencerminkan sikap intelektualisme. Sudah tak mengherankan jika di group akademik itu terdapat kata-kata: "Congor", "Asu", "Gedibal Onta", "Kafir", "Cebong", dan kata-kata tak senonoh lain-lainnya dengan konteks yang multi tafsir.

Sejak pilpres 2014 lalu, nampaknya masyarakat kita terpilah menjadi dua. Satu pendukung Jokowi dan satunya pendukung Prabowo. Entah kenapa kedua pendukung itu sepertinya sulit akur. Logika masing-masing pendukung seolah seperti air di daun talas, tidak pernah bisa menyatu atau ketemu. Masing-masing merasa benar. Dan keadaan ini nampak tak akan berakhir dengan segera meski Jokowi sudah setahun lebih terpilih menjadi presiden. Dua kubu pendukung masih berhadapan dan saling mencela.

Kini, kedua kubu pendukung itu mendapat angin baru untuk kembali beradu argumen lewat pilgub DKI lewat tokoh Ahok. Lahirnya "Teman Ahok" dan "Lawan Ahok" adalah luberan kedongkolan dari pilpres tahun 2014 kemarin. Bahkan isu-isu SARA itu kini makin terdengar keras, kasar dan vulgar.

Karena masing-masing pihak pendukung punya logika yang berseberangan bahkan berkebalikan, diskusi politik antara pendukung Ahok dan lawan Ahok tidak lagi sepenuhnya memakai logika yang obyektif dan realistik tapi sudah menjurus ke personal dan emosional. Fenomena ini bisa dilihat pada hampir setiap diskusi menyangkut Ahok sedikit banyak membicarakan hal-hal personal dan cenderung menyerang pribadi Ahok. Tidak jarang masing-masing pelaku debat juga saling menyerang hal-hal yang sifatnya personal. Bahkan hampir adu fisik. Diskusi yang menyerang personal bukan lagi diskusi tapi debat kusir. Karena pelaku tak mengerti aturan-aturan diskusi yang sehat dan benar untuk menemukan titik temu.  Mungkin dianggap titik temu tidak akan didapat, maka gampangnya menyerang pribadinya.

Limbahan kampanye pilpres 2014 seolah menemukan jalan pelampiasan baru dan terbina dengan mulusnya. Memanasnya debat politik yang mulai personal itu tidak saja bisa kita lihat di acara-acara debat di TV tapi juga sudah merambah ke media sosial dan mungkin pada level personal kehidupan sehari-hari. Debat personal itu makin panas jika ditambahi dengan isu agama.

Berita-berita hoax saling caci dan menyerang personal banyak bertebaran di media sosial. Gambar-gambar ilustrasi berisi fitnah dan saling caci makin biasa. Lebih jauh lagi, beberapa kalangan beranggapan bahwa berita hoax tak masalah demi ujian keimanan. Menfitnah dan menebarkan kebencian tak masalah demi keimanan. Menyinggung SARA tak masalah demi ujian keimanan. Isi berita dianggap hoax hanya oleh orang-orang yang imannya lemah dan goyah. Mereka beranggapan bahwa berita hoax tidak harus ditangkap sebagai hoax jika didalamnya terkandung nilai-nilai yang menguji keimanan seseorang. Menuduh orang kafir tak masalah agar orang lain tak ikut kafir, agar orang tak goyah keimanannya. Masalah keimanan jadi isu politik.

Ahok yang sering memakai kata-kata kasar mendapat kritikan paling pedas dari banyak kalangan. Bahkan di hampir setiap debat politik di TV selalu menyinggung gaya kepemimpinan Ahok yang sering menggunakan kata-kata kasar itu. Karena seringnya kritik personal ditujukan pada Ahok pada setiap diskusi politik, maka keterlibatan orang dalam hal saling menyerang pribadi orang makin meluas, merembet kemana-mana dan meruncing.

Apalagi Ahok sebagai figur publik yang kini begitu populer secara nasional, tidak bisa dipungkiri bahwa sikap kasarnya menular pada banyak orang. Banyak sikap pro dan kontra terhadap gaya kepemimpinan Ahok itu. Bahkan banyak yang memuji karena sikap kasar Ahok dengan alasan sikap seperti itu diperlukan untuk memimpin Jakarta. Orang makin terbiasa dengan serangan personal. Seolah wajar dan tak ditanggapi serius karena alasan pembenaran-pembenaran sepintas.

Bagi penulis, bukan masalah sikap kasarnya yang menjadi persoalan, tapi pilihan kata-katanya. Sikap kasar tidak harus dibarengi dengan umpatan kata-kata kotor. Kata-kata kotor cenderung mengarah pada personal. Kata-kata yang menukik secara personal. Kata-kata itu memang diciptakan untuk menghina pribadi orang lain. Umpatan memang lahir dari kemarahan personal untuk menghina pribadi orang lain. Menempatkan orang lain pada posisi serendah-rendahnya. Semakin menyakitkan semakin baik. Semakin tajam makin puas. Semakin bisa membuat orang lain marah dan tersinggung semakin mantap. Itulah inti dari kata-kata umpatan.

Seharusnya Ahok mengganti umpatan kata-kata kotor itu dengan yang lebih umum jika memang dirasa harus mengumpat. Misalnya kata maling diganti begal, tai diganti najis, bajingan diganti bandit. Atau pakai kata plesetan yang lebih terkesan sopan. Misalnya bajingan diganti bajinguk. Waktu kecil saat berpuasa, karena dilarang berkata kotor, anak kecil begitu kreatif menciptakan kata ungkapan pengganti. Misalnya umpatan cangkem-mu pada sesama teman yang bikin marah diganti cangkirmu, asu diganti asem, dan lain-lain. Meski sama-sama umpatan tapi terkesan tidak begitu menghantam secara personal. Tapi tetap saja lebih baik jika kata-kata umpatan itu dihindari. Nilai-nilai baik tak bisa dipaksakan. Nilai baik yang dipaksakan bukan lagi nilai baik. Ketegasan bisa diucapkan dengan kata lemah lembut tapi "firm" tidak kalah efektif dibanding dengan penggunaan kata-kata kasar. Tapi hal ini juga tak mudah dilakukan jika memang sudah menjadi karakter seseorang dan bahkan terlanjur mulai disukai banyak orang.

Ahok di berbagai kesempatan sering menyatakan dirinya tidak takut mati untuk menegaskan sikapnya yang keras dan tanpa pandang bulu untuk menjaga amanah yang diembannya. Tapi perlu disadari bahwa yang tidak takut mati bukan Ahok seorang. Jika saling serang secara personal itu terlanjur meluas dan mencapai titik klimaks, bisa saja hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi. Pilgub DKI 2017 bisa dibarengi kerusuhan karena saling sulut emosi dengan memakai serangan personal, isu SARA dan bahkan penajaman antara si kaya dan si miskin.

Jika emosi sudah tersulut secara politik, banyak orang mengail di air keruh. Orang saling tatap mata saja bisa saling bunuh. Orang bersenggolan di jalan bisa tawuran. Hal-hal yang nampak sederhana dalam keseharian tiba-tiba bisa menyulut kerusuhan jika diprovokasi. Kita akan tercengang mendapati kenyataan bahwa ternyata banyak juga orang yang tidak takut mati. Mungkin Ahok tidak akan mati pada saat itu, tapi banyak orang yang telah benar-benar mati dan benar-benar terbukti tidak takut mati. Bukan karena alasan mengemban amanah dan tugas, tapi karena nasi bungkus.

Jika kita tak sadari mulai sekarang betapa jeleknya efek diskusi yang merambah pada serangan personal, apalagi dikait-kaitkan dengan isu politik, maka cepat atau lambat efek negatif itu bakal kita rasakan bersama. Bagi masyarakat yang telah dewasa budaya politiknya, serangan personal itu mungkin tak begitu berpengaruh. Banyak orang menganggap kata-kata umpatan sebagai sesuatu yang rasionil, demokratis, wajar dan bisa dihiraukan. Toh, di negara lain juga terjadi elit politik yang saling tukar bogem mentah dan lempar kursi dalam mempertahankan argumen masing-masing?

Tapi jangan lupa bahwa tidak semua orang sama. Banyak juga orang yang tidak bisa menerima begitu saja kata-kata kasar dan serangan personal apalagi serangan atas keimanannya. Ada orang yang dicuri sandalnya tak menganggapnya sebagai masalah. Tapi ada juga orang yang jadi gelap mata, karena pencuri sandal itu dianggap melecehkan pribadi pemiliknya. Bukan harga sandal yang dipermasalahkan, tapi menyangkut nilai arti sebuah hak milik dan harga diri.

Kita semua sebaiknya tidak "underestimate" sebuah kebodohan. Kejeniusan ada batasnya, tapi kebodohan tidak ada batasnya. Manusia bisa bertindak bodoh sebodoh-bodohnya, bahkan bisa melebihi sebodoh-bodohnya hewan sekalipun. Kita ini sebangsa dan setanah air.  Jangan sampai kemauan baik berakibat malah makin memperkeruh keadan dan terbengkalainya tatatan, hanya karena masing-masing tak mau menahan diri demi kebaikan bersama yang lebih luas.*** (HBS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun