Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bajigur, Diskusi Pilgub Makin Memanas dan Personal

19 Maret 2016   05:06 Diperbarui: 19 Maret 2016   08:07 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi penulis, bukan masalah sikap kasarnya yang menjadi persoalan, tapi pilihan kata-katanya. Sikap kasar tidak harus dibarengi dengan umpatan kata-kata kotor. Kata-kata kotor cenderung mengarah pada personal. Kata-kata yang menukik secara personal. Kata-kata itu memang diciptakan untuk menghina pribadi orang lain. Umpatan memang lahir dari kemarahan personal untuk menghina pribadi orang lain. Menempatkan orang lain pada posisi serendah-rendahnya. Semakin menyakitkan semakin baik. Semakin tajam makin puas. Semakin bisa membuat orang lain marah dan tersinggung semakin mantap. Itulah inti dari kata-kata umpatan.

Seharusnya Ahok mengganti umpatan kata-kata kotor itu dengan yang lebih umum jika memang dirasa harus mengumpat. Misalnya kata maling diganti begal, tai diganti najis, bajingan diganti bandit. Atau pakai kata plesetan yang lebih terkesan sopan. Misalnya bajingan diganti bajinguk. Waktu kecil saat berpuasa, karena dilarang berkata kotor, anak kecil begitu kreatif menciptakan kata ungkapan pengganti. Misalnya umpatan cangkem-mu pada sesama teman yang bikin marah diganti cangkirmu, asu diganti asem, dan lain-lain. Meski sama-sama umpatan tapi terkesan tidak begitu menghantam secara personal. Tapi tetap saja lebih baik jika kata-kata umpatan itu dihindari. Nilai-nilai baik tak bisa dipaksakan. Nilai baik yang dipaksakan bukan lagi nilai baik. Ketegasan bisa diucapkan dengan kata lemah lembut tapi "firm" tidak kalah efektif dibanding dengan penggunaan kata-kata kasar. Tapi hal ini juga tak mudah dilakukan jika memang sudah menjadi karakter seseorang dan bahkan terlanjur mulai disukai banyak orang.

Ahok di berbagai kesempatan sering menyatakan dirinya tidak takut mati untuk menegaskan sikapnya yang keras dan tanpa pandang bulu untuk menjaga amanah yang diembannya. Tapi perlu disadari bahwa yang tidak takut mati bukan Ahok seorang. Jika saling serang secara personal itu terlanjur meluas dan mencapai titik klimaks, bisa saja hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi. Pilgub DKI 2017 bisa dibarengi kerusuhan karena saling sulut emosi dengan memakai serangan personal, isu SARA dan bahkan penajaman antara si kaya dan si miskin.

Jika emosi sudah tersulut secara politik, banyak orang mengail di air keruh. Orang saling tatap mata saja bisa saling bunuh. Orang bersenggolan di jalan bisa tawuran. Hal-hal yang nampak sederhana dalam keseharian tiba-tiba bisa menyulut kerusuhan jika diprovokasi. Kita akan tercengang mendapati kenyataan bahwa ternyata banyak juga orang yang tidak takut mati. Mungkin Ahok tidak akan mati pada saat itu, tapi banyak orang yang telah benar-benar mati dan benar-benar terbukti tidak takut mati. Bukan karena alasan mengemban amanah dan tugas, tapi karena nasi bungkus.

Jika kita tak sadari mulai sekarang betapa jeleknya efek diskusi yang merambah pada serangan personal, apalagi dikait-kaitkan dengan isu politik, maka cepat atau lambat efek negatif itu bakal kita rasakan bersama. Bagi masyarakat yang telah dewasa budaya politiknya, serangan personal itu mungkin tak begitu berpengaruh. Banyak orang menganggap kata-kata umpatan sebagai sesuatu yang rasionil, demokratis, wajar dan bisa dihiraukan. Toh, di negara lain juga terjadi elit politik yang saling tukar bogem mentah dan lempar kursi dalam mempertahankan argumen masing-masing?

Tapi jangan lupa bahwa tidak semua orang sama. Banyak juga orang yang tidak bisa menerima begitu saja kata-kata kasar dan serangan personal apalagi serangan atas keimanannya. Ada orang yang dicuri sandalnya tak menganggapnya sebagai masalah. Tapi ada juga orang yang jadi gelap mata, karena pencuri sandal itu dianggap melecehkan pribadi pemiliknya. Bukan harga sandal yang dipermasalahkan, tapi menyangkut nilai arti sebuah hak milik dan harga diri.

Kita semua sebaiknya tidak "underestimate" sebuah kebodohan. Kejeniusan ada batasnya, tapi kebodohan tidak ada batasnya. Manusia bisa bertindak bodoh sebodoh-bodohnya, bahkan bisa melebihi sebodoh-bodohnya hewan sekalipun. Kita ini sebangsa dan setanah air.  Jangan sampai kemauan baik berakibat malah makin memperkeruh keadan dan terbengkalainya tatatan, hanya karena masing-masing tak mau menahan diri demi kebaikan bersama yang lebih luas.*** (HBS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun