Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

LGBT- Logika Nggak Boleh Tegak

25 Februari 2016   07:21 Diperbarui: 25 Februari 2016   07:26 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Logika nggak boleh tegak. Logika harus bengkok. Logika yang benar adalah logika yang dibengkokkan menurut kepentingan, kelompok atau kroni. Ungkapan yang terkenal sering kita dengar bila berurusan dengan birokrasi salah satu contohnya adalah, "Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah".

Ungkapan bernada nyleneh ini merupakan salah satu contoh saja tentang adanya penyimpangan logika. Hal-hal yang sebenarnya mudah, malah dipersulit. Bertindak secara nalar ternyata tidak semua orang bisa melakukannya. Common sense ternyata tidak common. Dan nyatanya ungkapan itu ada benarnya dan dipraktekkan dalam sistem birokrasi pemerintah secara luas.

Penyimpangan logika ini bila kita bersedia perhatikan, ternyata tidak terjadi hanya pada birokrasi, tapi juga dalam banyak hal di kehidupan sehari-hari. Banyak orang melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak logis tanpa sadar. Ada yang karena terbiasa dan tidak tahu kalau tidak logis. Tapi ada juga yang tahu tidak logis tapi tetap saja dilakukan karena memang dasar berlogikanya menyimpang. Menurutnya benar-benar saja apa yang dilakukan tersebut.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah cara berlogika itu terjadi karena faktor keturunan atau pergaulan? Kalau berdasar keturunan, maka sulitlah merombak birokrasi kita tanpa harus mengganti orang-orang yang terlibat. Susah dibenahi karena cara berlogika keturunannya memang demikian.

Tapi dilain pihak, bila karena pengaruh lingkungan, kenapa cara berlogika yang menyimpang itu melanda di berbagai kelas sosial dan pendidikan. Status sosial atau terutama status pendidikan tinggi tentunya diharapkan punya cara pikir logis dan logika yang lempeng. Namun ternyata tidak demikian halnya. Banyak juga yang punya gelar akademik tinggi - bahkan tingkat profesor, punya logika menyimpang. Lihat saja para elite politik kita. Banyak nalarnya yang melenceng. Tidak masuk akal. Tidak memenuhi cara berpikir khalayak umum. Salah satunya, ketangkap korupsi malah cengar-cengir. Keputusan hakim, membakar hutan tidak merusak lingkungan. Lingkungan pendidikan tinggi tidak juga merubah cara berlogika. Pendidikan tidak sepenuhnya bisa meluruskan logika menyimpang.

Cara berpikir logis ternyata juga tidak selalu tergantung pada lingkungan sosial budaya masyarakat dimana orang bersangkutan tinggal dan hidup. Di Sydney misalnya, saya sering ketemu juga orang-orang yang tidak punya nalar sehat. Cara berlogikanya nyleneh. Menyimpang dari logika umum dari budaya masyarakat yang dikenal punya budaya liberal dan rasionil. Tidak mau bayar ongkos parkir dengan alasan karena tempat parkirnya banyak kosong. Menolak dituduh merokok dalam kamar hotel, padahal seluruh kamarnya benar-benar bau asap rokok dan ada puntung rokok di tempat sampah di kamar mandi. Alasan logis menurutnya, ia merokok di luar kamar lalu masuk kamar dan membuang puntung rokok itu di tempat sampah kamar mandi. Bau asap rokok dari bajunya.

Orang-orang yang anti sosial atau kriminal barangkali disebabkan karena logika yang menyimpang. Tidak merasa salah melakukan perbuatan melanggar hukum karena menurutnya perbuatan itu masuk akal dan bahkan bisa dibenarkan.


Cenderung Mengelompok

Apakah cara berlogika punya kecenderungan untuk mengumpul dalam satu kelompok karena kesamaan? Kecenderungan untuk berkumpul ini bisa dilihat dari kecenderungan-kecenderungan yang ada selama ini. Logika maling hanya cocok di lingkungan para maling. Logika penipu tentu saja hanya cocok di lingkungan para penipu. Dan seterusnya. Dan logika antar kumpulan itu bisa amat beda. Logika para maling pasti lebih banyak berbeda dengan logika para penipu.

Dalam kehidupan dunia maya, pemegang akun media sosial bisa dikelompokkan dalam berbagai kecenderungan. Logika kelompok pendukung Jokowi beda dengan logika kelompok pendukung Prabowo. Logika pendukung Ahok berbeda dengan logika kelompok penduduk lawan Ahok. Bahkan logika sesama muslim pun bisa beda. Logika pendukung muslim nusantara bisa beda dengan logika muslim pendukung PKS.

Nampaknya cara berlogika itu tidak tergantung pada status sosial dan pendidikan. Dalam satu kategori kelompok logika ternyata anggotanya bisa berasal dari berbagai tingkat jenjang pendidikan dan status sosial. Mereka cenderung punya kesamaan dalam berlogika. Logika pendukung Jokowi mati-matian banyak menyetujui langkah-langkah yang diambil oleh pemerintahan Jokowi. Sementara pendukung Prabowo menganggap pendukung Jokowi itu sudah tak punya logika lurus. Karena apapun yang dilakukan pemerintahan Jokowi selalu dianggap benar dan baik. Tapi, demikian juga sebaliknya. Pendukung Jokowi menganggap pendukung Prabowo merupakan kumpulan orang-orang yang berlogika bengkok karena tak mau move on.

Dasar logika masing-masing kelompok itu meski kadang menggelikan, namun toh pendukung masing-masing kelompok bersikukuh bahwa logika merekalah paling benar. Fakta apapun yang disajikan tidak bakal bisa ditelannya, secanggih apapun beberan sebuah fakta. Logika mereka menyangkal kebenaran sebuah fakta di luar kelompoknya. Kebenaran sebuah fakta tergantung dari kelompok mana fakta itu dimunculkan. Menginterpretasi sebuah fakta berdasar selera kelompok. Mereka hanya mau menerima fakta yang mendukung kelompok mereka sendiri. Di luar itu dianggapnya rekayasa atau pencitraan. Ada sikap "denial" terhadap fakta-fakta logis di luar kelompok masing-masing.


Sejarah

Selama pemerintahan rezim Soeharto, kita terbiasa dicekoki dengan nilai-nilai yang mendukung pemerintahan Soeharto. Senjata paling ampuh dalam menumpas lawan politik atau lawan berlogika adalah dengan memakai penggada besar. Sekali sapu meruntuhkan semuanya. Pemerintah Orba gampang sekali menuduh orang yang anti rezim penguasa sebagai kelompok anti pancasila atau antek PKI. Orang yang menolak tanahnya diganti rugi dianggap anti pancasila. Pengkritik kekuasaan dicap sebagai simpatisan PKI dan seterusnya. Kedua pola dalam penggunaan gada besar itu dibina secara sistematis lewat penataran dan program-program propaganda. Bahkan diselipkan lewat lembaga pendidikan dan ormas.

Masyarakat dipilahkan mana pendukung dan pro orde baru lawan mana yang kontra. Selama hampir 30 tahun pemerintahan orde baru berhasil mempertahankan kekuasaannya berdasar pemilahan ini. Logika para pro orde baru dan kontra orde baru bisa saja berseberangan, namun suara kelompok kontra berhasil diminimkan sehingga tak terdengar gaungnya. Cara logika umum yang menjadi kecenderungan adalah logika pro orde baru. Dan cara logika ini masih menyisakan pengaruhnya hingga kini pada saat kita telah berangkat ke masyarakat reformasi.

Pengaruh cara berlogika masa orde baru itu bisa dideteksi terutama lewat cara berlogika menurut kelompok dan kroni. Sebagaimana kita ketahui modus KKN demikian kental dalam masa Orba. Pemerintah dalam mempertahankan kekuasaannya adalah dengan menanamkan orang-orang yang dekat dengan pemegang kekuasaan. Bisa anak, cucu, mertua, menantu, keponakan, teman main dan seterusnya. Tidak peduli apakah mereka itu punya kualitas apa tidak, punya persyaratan memadai apa tidak. Yang penting mereka loyal terhadap penguasa. Bahkan, tidak peduli meski mereka preman dan idiot. Yang mendukung kekuasaanlah yang benar. Selain itu salah.

Hal yang paling potensial dalam hal KKN adalah di kalangan birokrasi pemerintahan. Semua pegawai negeri masuk partai Golongan Karya. Dari Gubernur hingga lurah, carik bahkan ketua RT adalah kaum purnawirawan ABRI pendukung penguasa. Mereka adalah kelompok loyal pendukung penguasa. Mereka adalah satu keluarga besar dengan logika sama. Adem ayem hidupnya. Mereka menikmati kenyamanan tanpa susah payah. Previledge yang mereka terima dalam banyak hal. Usaha bisnis lancar, ijin lancar, karier lancar, rejeki lancar, koneksi lancar dan seterusnya. Mereka merasa termasuk dalam golongan istimewa. Jangan harap orang yang berada di luar itu bisa masuk dalam lingkaran keluarga mereka dengan gampang. Rintangannya berlapis-lapis. Golkar pun menang pemilu dengan suara mayoritas dan berturut-turut.

Dan masyarakat umum karena begitu lamanya melihat kenyataan tersebut menjadikan mereka terbiasa dan seolah demikianlah yang benar. Meski para birokrat itu bekerja asal-asalan dan korup, masyarakat membiarkannya karena merasa terbiasa dan dianggapnya lumrah saja. Kebiasaan dan kelumrahan yang sebenarnya salah inilah yang menjadi logika di sebagian besar masyarakat kita hingga saat ini. Dan amat susah dikikis karena sudah terlanjur mengendap di alam bawah sadar mereka.


Fenomena Yang Kita Tuju

Ahok banyak memecat staf bawahannya dari tingkat eselon, lurah hingga staf biasa. Gelombang pemecatan ini hingga saat kini tak juga mereda. Ahok sebagai Gubernur berhadapan dengan banyak musuh. Tidak saja dengan stafnya sendiri, tapi juga dengan rakyat dan wakil rakyat. Fenomena logika Ahok atau Jokowi sebagai Presiden berseberangan dengan logika para staf yang dipecat dan juga logika sebagian rakyat dan beberapa wakil rakyat.

Kenapa Fenomena Ahok dan Jokowi? Karena mereka berdua mengedepankan kerja keras dan kejujuran. Semangat mengabdi pada masyarakat dan kepentingan umum. Tidak pada kepentingan kelompoknya sendiri. Tentu saja fenomena ini bisa dikedepankan oleh banyak orang. Namun tidak bisa diungkiri bahwa fenomena ini dipelopori dan dikuatkan oleh figur publik Ahok dan Jokowi dalam pemerintahan.

Akibat fenomena Ahok dan Jokowi adalah menyakitkan bagi orang-orang yang dulunya menikmati kenyamanan karena hasil KKN. Mereka yang tergolong kepenak hidupnya karena KKN merasa gerah. Merasa diungkit eksistensinya. Mereka dipaksa untuk membuktikan diri bahwa mereka mampu. Mereka dipaksa untuk bersaing melawan orang-orang yang berada diluar kelompoknya. Mereka dipaksa untuk berhadapan muka dengan orang-orang yang haus dengan kerja keras dan pembenahan yang berlomba untuk menduduki posisi mereka. Mereka dipaksa untuk berhadapan dengan hal-hal yang membuat mereka tak nyaman. Mereka dipaksa untuk benar-benar berkeringat dalam mempertahankan keistimewaan yang selama ini diperolehnya dengan duduk-duduk dan tiduran. Mereka gelisah kehilangan lingkaran kenyamanan. Mereka gelisah dengan masa depannya. Mereka kehilangan koneksi-koneksi yang bisa mereka andalkan dalam menolong mereka. Mereka gelisah satu persatu gantungan hidup mereka rontok berserakan. Mereka gelisah karena tidak hapal dengan jalan hidup realistis. Mereka gelisah karena tidak terbiasa dengan persaingan terbuka. Logika mereka resah karena nilai-nilai KKN mulai memudar, tidak bisa dipakai lagi.

Mereka terbiasa dengan fenomena ABS, asal bapak senang. Siapa yang nggak mau dibikin senang? Logikanya, mana ada orang kok nggak mau dibikin hatinya senang? Kedudukan empuk kok dilelang dan diberikan kepada orang yang tidak dikenal? Kok nggak diberikan pada sanak famili? Logikanya dimana? Ada duwit "nganggur" kok nggak dimanfaatkan bersama, logikanya dimana? Siapa yang nggak suka duwit yang datang sendiri tanpa minta? Logikanya dimana kok ada orang nggak senang duwit gampang? Dapat uang jasa dari menolong orang yang membutuhkan kok dituduh korupsi? Logikanya dimana?

Fenomena dalam menghargai kerja keras dan kejujuran barangkali fenomena yang pingin kita capai bersama dalam bernegara, bermasyarakat dan berurusan dengan birokrasi. Pelopor gerakan fenomena kerja keras dan kejujuran boleh siapa saja. Secara kebetulan saja fenomena kerja keras dan kejujuran itu saat ini dimotori oleh Ahok dan Jokowi dalam pemerintahan.

Kebenaran tidak mungkin ada dua, tiga atau empat. Logika berdasar kelompok. Kebenaran hanya satu. Kebenaran umum dan universal yang bisa diterima oleh semua orang dengan kewarasan akal sehat. Kebenaran atas nama kelompok bakal rontok disapu oleh kebenaran menurut kewarasan logis. Logika lempeng adalah logika universal yang bakal dirunut oleh banyak pihak. Bukan logika atas kroni.

Masyarakat awam adalah masa mengambang yang diperebutkan keterpihakan dan suaranya oleh pemegang kekuasaan dan para oposisi dalam merebut kekuasaan. Masyarakat awam yang punya logika tidak memihak partai politik adalah sasaran para pemeluk logika menyimpang. Masyarakat awam yang terkena dampak pembenahan birokrasi dan pemerintahan berusaha digiring logikanya agar mendukung logika kelompok masing-masing. Masyarakat mengambang ini tidak diketahui secara pasti prosentase jumlahnya dari total populasi. Mereka adalah golongan yang punya logika bagai kertas putih yang kosong. Mereka adalah para golput. Para golput ini lebih banyak menunggu dan memperhatikan. Syukur kalau bisa sabar menunggu prosesnya yang tidak singkat. Mereka butuh pembuktian kelurusan logika. Begitu mereka menemukan pembuktian itu, bisa menjadi pendobrak segala kemacetan. Daya dorongnya bisa amat luar biasa. Bagai gulungan ombak yang bakal menerjang siapa saja yang bengkok logikanya.***(HBS) 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun