Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rasisme Tidak Sekedar Masalah Kulit

14 Juli 2015   12:21 Diperbarui: 14 Juli 2015   18:35 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemarin ada teman bercerita tentang keponakannya yang isterinya melahirkan di rumah sakit dua minggu sebelum waktunya. Karena diluar perkiraan dokter, maka semua berlangsung mendadak. Rumah sakit melayani pasien dadakan itu tanpa masalah. Teman saya kagum dengan pelayanan rumah sakit. Sangat ramah, bersahabat dan mengerjakan pekerjaannya secara profesional. Padahal mereka tak keluar beaya sepeserpun. Beaya rumah sakit pemerintah memang gratis bagi penduduk Australia.

Beda dengan di negaranya, India. Pelayanan tergantung dari jumlah uang yang dibayar. Tapi itupun bukan jaminan. Kadang pasien dikeruk uangnya dengan dalih medis. Perlu operasi caesar, misalnya. Padahal tak perlu. Karena tak mengerti urusan medis, si pasien nurut saja. Percaya saja sama apa kata dokter. Operasi perlu beaya tak sedikit. Mengada-ada biar pasien keluar uang. Dokternya dapat penghasilan tambahan, begitu ceritanya membandingkan keadaan.

Saya manggut-manggut mendengarnya. Ternyata negaranya tak beda jauh dengan negaraku sendiri. Kupikir kita sesama bangsa Asia malah justru saling main tikam. Kurasa dalam masalah dokter pasien itu bukan tergolong rasisme. Tapi kutangkap sikap membeda-bedakan manusia itu.

Rasisme ternyata tak terjadi hanya antar kulit hitam dan putih, tapi juga antar kulit putih dengan kulit putih. Antar kulit hitam dengan kulit hitam. Antar kulit coklat dengan kulit coklat. Antar kulit kuning dengan kulit kuning. Tapi tumpang tindih dan saling silang. Merasa rasnya paling baik dibanding ras lain.

Ada lagi fenomena lain yang dilakukan oleh bangsa Asia yang hidup lama di negara kulit putih. Bahasa Inggris dan budaya yang dianut milik bangsa kulit putih. Gaya hidup sehar-hari mungkin saja juga seperti bangsa kulit putih. Mereka merasa sudah jadi bagian dari bangsa kulit putih. Mereka merasa sudah diterima oleh bangsa kulit putih. Padahal kulitnya jelas-jelas coklat bangsa Asia.

Kadang saya dengar juga orang India yang menggurutu terhadap bangsanya sendiri. "Dasar orang India," katanya. Padahal ia sendiri orang India. Ia merasa jengkel dengan kelakuan bangsanya sendiri yang rasis. Referensi budayanya sudah tidak lagi menggunakan referensi budaya India, tapi budaya orang kulit putih.

Pauline Hanson dari partai One Nation pernah dianggap anti Asia. Pauline Hanson bilang orang yang tidak berasal dari negara demokratis akan susah diajak dan menyesuaikan dengan budaya demokratis yang ada di Australia. Benarkah anggapan Pauline Hanson tersebut? Perlu juga penelitian serius. Sebab banyak juga orang Asia yang menginginkan bisa hidup secara demokratis. Mereka muak dengan budaya kehidupan di masyarakatnya yang serba pilih-pilih, rasis dan penuh dengan diskriminasi di banyak bidang.

Salah satu teman saya lainnya, pernah mengeluh bahwa anaknya tidak menghormati dirinya sebagai ayah. Sebagai orang tua. Di negaranya Timur Tengah, anak amat patuh pada bapaknya. Tidak berani macam-macam. Anaknya yang sejak kecil berada di Australia tidak bersikap sama. Bahkan mengatakan ayahnya sebagai orang gila, karena sering dinasehati tentang kebiasaannya keluar malam tanpa tujuan jelas. Teman saya itu amat tersinggung sekali dengan ucapan anaknya itu. Ia sakit hati berat. Tapi tidak berkutik karena keberadaan hukum Australia yang melindungi semua orang. Termasuk anak-anak. Ia tak ingin berurusan secara hukum.

Teman satunya lagi yang berusia lebih muda dari Vietnam, malah menganggap bodoh orangtuanya karena tidak bisa bahasa Inggris dengan lancar. Segala urusan diselesaikan sendiri. Tidak pernah minta bantuan pada orangtuanya yang jualan di pasar Vietnam. Orangtuanya memang dekat dengan komunitas Vietnam, sehingga bahasa Inggrisnya tidak bisa berkembang dengan baik. Kesehariannya ngomong pakai bahasa Vietnam dengan komunitasnya.

Sering saya dilayani oleh bangsa Asia di Australia. Kadang sikap mereka dalam melayani amat menjengkelkan. Tidak semuanya memang. Tapi saya mengalami secara pribadi, betapa bedanya sikap orang Asia terhadap orang Asia sendiri dibanding terhadap orang kulit putih. Orang kulit putih memang ada juga yang ogah-ogahan melayani orang Asia. Tapi rasanya tidak senylekit jika dilakukan oleh orang se Asia, se ras sendiri.

Saya pernah dibentak ketika bertanya harga sebuah barang pada seorang penjual dari Thailand. Karena bahasa Inggrisnya kuat dialek Thailandnya, saya kesulitan menerimanya. Saya tanya lagi supaya jelas.

"Can't you speak English?", katanya ketus dengan logat Thailandnya. Orang yang tidak bisa bahasa Inggris memang sering dianggap bodoh di Australia.

Dalam hati saya bilang, "Apa bahasa Inggrismu sudah cas cis cus apa? Sudah kayak bahasa Inggrisnya orang Aussie?".

Mungkin dia merasa sudah kayak orang Aussie karena sudah lama berimigrasi ke Australia. Ngomong bahasa Inggris sudah tidak masalah. Tapi bagi saya, bahasa Inggrisnya jauh lebih sulit ditangkap dibanding jika diucapkan oleh bangsa Australia sendiri karena logat Thailandnya yang cukup kental. Mungkin bahasa Inggris yang diucapkannya didengarnya sudah seperti orang Aussie tulen. Ia bangga sekali punya kemampuan itu di hadapan orang Asia lain.  

Rasisme memang tidak cuma sekedar masalah kulit, tapi juga ego dan identitas diri.*** (HBS)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun