[caption caption="Pilkada Pemulung"][/caption]
Banyak orang punya pikiran negatif pada pemulung. Memicingkan mata pada pekerjaan pencari barang bekas itu. Sering kita dapati peringatan di jalan masuk desa atau perumahan tentang larangan masuk bagi pemulung. Tapi pemulung sepertinya semacam penyakit kudis. Bagaimanapun kemajuan dunia pengobatan, kudis itu selalu muncul kembali di sana-sini menyelinap disela-sela kulit yang kotor.
Sewaktu tinggal beberapa hari di sebuah perumahan milik keluarga di kota Yogyakarta, kudapati para pemulung itu. Meski sudah ada di beberapa tempat diberi palang peringatan bahwa pemulung dilarang masuk, tapi mereka tetap saja menerobos tanpa sungkan. Pada pagi hari, paling tidak kulihat ada lima pemulung lewat depan rumah dan mengais-ngais sampah di halaman rumah dan rumah tetangga. Usia mereka bervariasi. Termuda sekitar umur 8 tahunan dan tertua sekitar 55 tahunan. Mereka tidak datang bersama tapi terpilah beberapa menit dan tidak selalu dari arah sama.
Keranjang kecil tempat sampah di depan rumah perumahan itu diaduk-aduk bergantian beberapa kali. Mengais-ngais rejeki yang mungkin dilewatkan oleh pemulung sebelumnya. Bala tentara para pemulung itu seperti tidak pernah lelah, apalagi menyerah. Karung lusuh dimana hasil pungutan dikumpulkan, terayung-ayun di punggungnya. Seperti sinterklas yang membawa hadiah untuk anak-anak kecil yang bertingkah laku baik.
Rejeki yang dikumpulkan dari sisa pembuangan itu, siapa sangka bisa menghidupi para pemulung dan keluarganya. Sebagai sumber nafkah untuk menjalani dari hari ke hari hidup mereka. Sebuah ladang pekerjaan yang hampir tidak pernah dipikirkan oleh kebanyakan orang. Sebuah pekerjaan yang jauh dari ukuran nalar kebanyakan orang. Sebuah pekerjaan diluar pakem. Tanpa modal, keahlian, aturan, pengalaman, seragam kerja atau tetek bengek lainnya. Diperlukan cuma dengkul yang bisa bekerja dengan baik.
Jika bala tentara para pemulung itu tidak menunjukkan tanda-tanda menyusut jumlahnya, maka bisa disimpulkan bahwa ladang rejeki di dunia itu pasti menguntungkan dan tidak pernah terkuras habis. Ia akan tetap bersumber bersamaan dengan kesenangan konsumtif manusia dan makin gemar bikin sampah. Para pemulung itu seperti pasukan penyapu ranjau serpihan rejeki yang tercecer.
Pemulung di Internet
Nampaknya pengais rejeki macam pemulung tersebut ada juga di dunia maya. Mereka mencoba mengais-ngais rejeki dengan mendaur ulang sisa tayangan orang lain di internet. Caranya macam-macam. Dari sekedar copy and paste yang murahan hingga pada tataran lebih dengan sedikit bumbu kecanggihan teknologi digital atau modifikasi sana-sini.
Uang receh yang didapat oleh pemulung pinggir jalan dibanding pemulung di internet mungkin jauh lebih sedikit. Uang di dapat dari internet bisa dari berbagai sumber. Modalnya cuma komputer dan sambungan ke internet serta sedikit pengetahuan tentang ilmu digital. Internet saat ini sudah menjadi ladang pencarian uang bagi banyak kalangan. Banyak perusahaan menawarkan program afiliasi dan membayar setiap "click". Selain itu ada juga program adclick, adfly atau adsense yang menanjikan bayaran sekian cent dolar untuk setiap "click" dari artikel, tulisan, gambar atau media yang ditayangkan di internet. Atau sekedar menghubungkan tayangannya ke situs pemberi uang semacam adlink.
Banyak cara bisa dipakai untuk mengundang pengguna internet untuk meng-"click" apa yang ditayangkan di internet. Meski kebanyakan dengan cara legal dan kesungguhan mencari rejeki halal, namun banyak juga yang memakai cara-cara murahan, menipu, asal-asalan, tanpa malu dalam mengundang orang lain untuk meng-"click" apa yang ditayangkan. Cara kedua inilah yang penulis sebut sebagai pemulung di dunia internet. Termasuk mengais-ngais sisa rejeki orang lain. Karena mereka tidak peduli dengan apa yang ditayangkan. Asal menghasilkan uang apapun akan mereka lakukan. Asal dapat "click".
Para pemulung di internet ini cukup pandai dalam melihat kelemahan pengguna internet. Mereka sepertinya tahu persis apa yang bakal menarik untuk di-"click" oleh pengguna internet. Karena tidak ada kerugian berarti, jika toh mereka salah, puluhan cara bisa dilakukan untuk menutup atau mengurangi kesalahan itu. Mereka membanjiri dengan segala trik dan umpan agar di-"click". Dari sepuluh umpan, diharapkan pasti ada satu atau dua yang mengena dan dapat click melimpah.
Barangkali kita semua - para pengguna internet, pernah termakan oleh umpan para pemulung internet ini. Pemulung internet ini operasinya menyebar ke mana-mana. Sebagaimana pemulung di dunia keseharian, jalan kampung, gang sempit dan juga jalan raya tak segan-segan akan dijelajahi semua. Perumahan kumuh, elite atau perumahan ekslusive bila perlu mereka terobos pula. Maka para pemulung di internet ini juga menjelajahi berbagai "strata sosial" di internet. Mereka ada di mana-mana. Mulai yang hanya bermodal laptop second murahan hingga komputer super high-end users.
Bila kita buka youtube untuk mengikuti berita terkini, begitu banyak tampilan berita yang sama mengisi halaman search engine youtube. Begitu kita klik ternyata isinya tidak ada apa-apanya. Cuma gambar dengan narasi seadanya bahkan tanpa narasi cuma sepotong foto juga ada. Bahkan beberapa video antara judul dan isi tidak ada sambungannya sama sekali.
Misalnya berita yang saat ini lagi ngetrend tentang pembunuhan tak berperikemanusian di Bali, begitu banyak video di youtube memakai judul berita ngetrend tersebut. Begitu kita klik bukan kepuasan kita dapat tapi malah kejengkelan. Juga berita tentang perseteruan antara Ahok dan BPK yang saat ini lagi hot. Bila kita tak hati-hati, kita bisa mengklik berita yang isinya sama sekali bukan keinginan kita untuk menontonnya. Berita tentang Ahok tapi isinya tentang Angeline. Video-video pemulung tersebut diupload dengan nama-nama yang mentereng seolah dari sumber berita resmi. Benar-benar menjengkelkan dan mengganggu sekali. Sayangnya di youtube tidak ada fasilitas laporan spam sebagaimana terdapat di facebook.
Media mainstream juga tak kalah genitnya. Satu berita yang sebenarnya cukup dimuat di satu halaman tapi dijadikan beberapa halaman. Pembaca harus meng-"click" lanjutan beritanya. Lalu muncul pop up iklan. Belum lagi foto-foto yang kadang bisa membuat pembaca penasaran dengan judul bombastis. Untuk melihat foto-foto harus mengklik satu persatu. Dan setiap klik muncul iklan.
Trend yang paling ramai adalah berita-berita hoax. Para pemulung ini tahu benar pikiran pengguna internet. Memanfaatkan peserta pemilu yang enggan "move on" dengan berita-berita hoax yang menggiring pada pembenaran aspirasi politik mereka. Berita hoax dan foto hoax tak akan ada hentinya menyelinap di halaman facebook kita. Para pemulung tersebut dengan sigapnya memanfaatkan keberadaan media sosial dengan pengguna jutaan orang. Uang pun seolah demikian gampang diraup. Sehabis diupload tinggal ongkang-ongkang sambil nunggu klik dapat uang. Dolar lagi. Maka, jangan berharap bahwa berita hoax akan berhenti. Karena uang didapat dari situ begitu menggiurkan. Mana tega para pemulung untuk melewatkan? Rejeki mengalir kok ditolak?*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H