Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Enaknya Menikah Dijodohkan Orangtua

14 Desember 2013   13:10 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 4334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BUDAYA Jawa dalam memilih jodoh berpegang pada tiga hal yang secara tradisionil perlu dipertimbangkan yakni bibit, bobot dan bebet. Bibit artinya harafiahnya adalah benih, bobot arti harafiahnya adalah ukuran berat dan bebet arti harafiahnya adalah kain penutup tubuh. Namun dalam masalah pemilihan pasangan hidup tidak segampang memilih perabotan rumah-tangga. Memilih jodoh adalah masalah pelik dan harus ditanggung putusan pilihan tersebut seumur hidup. Bahkan banyak orang menganggap bahwa masalah pemilihan jodoh ini kayak judi. Jadi ada faktor keberuntungan yang memainkan peranan.

Dalam pemilihan jodoh atau pasangan hidup arti bibit adalah dengan menyimak asal-usul keturunan. Asal usul keturunan ini bukan saja secara fisik tapi juga sosial dan moral. Kalau bibit asalnya jenis unggul, maka keturunannya dipastikan juga bermutu unggul. Bobot diartikan sebagai seberapa jauh calon pasangan itu punya kemantapan atau kemapanan dalam hidupnya. Bobot ini juga menyangkut kualitas pribadinya. Makin berbobot berarti orangnya tegar, tegas, tekun, sabar dan sebagainya. Ukuran bobot ini tergantung dari orang yang menerjemahkan. Tergantung dari apa yang dicari dari pasangannya. Bebet bisa diartikan dari sudut tinjau sosial apakah pasangan itu status sosial yang layak. Bebet juga bisa diartikan dari segi kualitas moralnya.

Meski bisa saja secara ketat mengikuti falsafah Jawa tradisional tersebut, belum tentu pernikahan akan sukses. Karena manusia adalah mahluk hidup dan berkembang. Kemampuan manusia untuk belajar dan menyesuaikan keadaan tiap orang beda. Secara hal yang dapat diraba, keadaan orang bisa berubah. Kekayaan tidak abadi. Kehidupan tidak menjamin bahwa kesuksesan akan abadi. Secara psikologis perkembangan kedewasaan atau intelektual orang juga beda-beda. Maka makin tahun bisa saja masing-masing pribadi berkembang dengan kecepatan, kualitas, kelebaran dan lain-lain secara khas berbeda. Bisa juga perkembangan itu selaras. Namun bisa juga perkembangan itu makin meninggalkan kesenjangan makin lebar. Yang satu makin matang dan dewasa, sementara yang satunya masih saja seperti bujangan bahkan seperti masih di SMA cara berpikirnya.

Menikah dengan seseorang atas pilihan orangtua adalah pilihan alternatif lain yang cukup aman. Karena orangtua punya pengalaman hidup lebih matang. Mereka telah mengenyam pengalaman dalam urusan menikah dan pilihan pasangan. Mereka juga punya pengalaman bagaimana seseorang itu akhirnya berangkat dewasa. Mereka bisa menilai pribadi orang lain jauh lebih baik dan bijaksana. Tentu saja hal ini tergantung orangtua masing-masing. Sebab ada juga orangtua yang tidak punya kualitas pengalaman hidup sehingga kurang bisa menilai orang lain secara tepat. Tapi pada saat jasa biro perjodohan marak di media massa, perlu juga dipertimbangkan apakah lebih percaya pada biro jasa atau terhadap orangtua?

Dalam melakukan pilihan teman jodoh, orangtua bersikap lebih obyektif daripada atas pilihan sendiri. Sebab ketika seseorang jatuh cinta, peranan logika bisa dipertanyakan. Penilaian-penilaian lebih banyak tertutupi oleh kabut emosional. Kalau sudah cinta, tahi kucing pun berasa coklat. Begitu kira-kira sebagaimana dikatakan dalam sebuah lagu.

Banyak kalangan menilai bahwa pernikahan karena dijodohkan orangtua adalah kuno, ketinggalan jaman dan mengekang kebebasan pribadi. Karena sebaik apapun pilihan orangtua, mereka bukanlah pihak yang menjalani perkawinan itu sendiri. Jadi apa hak mereka untuk menentukan pilihan jodoh ini, sementara mereka tak menjalani sendiri pilihan yang dilakukan. Banyak juga yang menganggap pilihan orangtua sudah tak sesuai lagi dengan jaman. Nilai-nilai yang dipakai orangtua sudah tak lagi terupdate dengan keadaan dan perkembangan jaman. Perlu diingat bagaimanapun tingginya pendidikan anak, tapi sebagai seorang anak tidak akan bisa menandingi orangtua dalam masalah pengalaman hidup dan terutama dalam hal berumah-tangga.

Dr. Robert Epstein, seorang peneliti senior psikologi di American Institute for Behavior Research and Technology di Vista, California, penulis buku "How Love Emerges in Arranged Marriages", menyimpulkan bahwa peranan orangtua amat vital dalam memilih calon pasangan. Mereka berfungsi semacam penyaring untuk menentukan mana-mana yang cocok dan tidak. Mereka mempertimbangkan hal-hal yang memungkinkan perkawinan tidak berlangsung mulus yang bisa memisahkan masing-masing pasangan. (Sumber di sini). Menurutnya, banyak pasangan perkawinan bukan pilihan sendiri merasa bahagia dan sukses karena peranan penting orangtua mereka dalam menyaring para calonnya.

Pernikahan atas pilihan sendiri berdasar cinta dianggap ideal dan sesuai dengan perkembangan peradaban. Meletakkan tanggungjawab pilihan hidup atas pribadi masing-masing. Dengan tingkat pendidikan makin merata, kesadaran individu akan hak-haknya sudah menjadi kewajaran bahkan keharusan. Maka perkawinan dengan pasangan atas pilihan orangtua secara logika sulit diterima. Bagaimana mungkin bisa hidup bersama dengan orang lain yang tidak dikenalnya?

Tingkat Sukses

Pilihan jodoh atas dasar cinta memang lebih membahagiakan secara pribadi. Pasangannya sesuai dengan pilihan yang dikehendaki lengkap beserta atribut yang melekat sekalian, baik yang positif maupun negatif. Perkawinan diawali dengan rasa saling cinta dan berharap cinta itu berkembang subur setelah perkawinan.

Lain halnya dengan pernikahan karena dijodohkan orangtua. Pasangan berangkat dari ketiadaan rasa cinta. Bahkan ada ada rasa benci dan keengganan untuk melakukannya. Rasa cinta diharapkan bersemi setelah perkawinan. Pasangan tidak berharap terlalu banyak kecuali menurut perintah orangtuanya.

Sisi dari kedua jenis perkawinan tersebut sepertinya bertentangan. Tapi sebenarnya tidak selalu demikian. Banyak orang berpendapat bahwa dasar dari sebuah perkawinan adalah adanya rasa saling mencintai. Bagaimana mungkin bisa menikah tanpa saling mencintai? Pendapat itu benar. Cuma saja, rasa cinta itu diletakkan pada awal sebelum terjadinya perkawinan. Padahal rasa cinta bisa saja tumbuh setelah terjadinya perkawinan. Maka kedua jenis perkawinan tersebut sebenarnya sama saja. Yakni mendasarkan keberlangsungannya atas dasar cinta. Cuma tumbuhnya cinta itu yang beda waktunya. Berkembangnya rasa cinta setelah perkawinan memang bisa beda. Kebahagiaan perkawinan juga tergantung dari pelakukunya masing-masing.

Rasa cinta yang berbunga-bunga pada masa pacaran bisa saja makin pudar setelah terjadinya perkawinan. Dan sebaliknya, tiadanya rasa cinta di awal perkawinan bisa saja makin tumbuh subur setelah perkawinan. Bagi yang beruntung tentu saja yang menikah atas dasar saling cinta, kemudian makin cinta setelah perkawinan. Bila saja pasangan yang dijodohkan bisa bersikap realistis - tidak menilai terlalu berlebihan bahwa pasangannya berwajah molek dan kepribadian prima, maka pasangan hasil perjodohan orangtua bisa saja memperoleh kebahagiaan perkawinan sama.

Sukses tidaknya perkawinan memang tidak bisa diukur secara statistik. Terutama jika ukurannya menyangkut kebahagiaan. Tolok ukur suksesnya perkawinan mungkin hanya bisa dilihat dari statistik tingkat angka perceraian.

Angka perceraian di negara yang lebih banyak melakukan perkawinan atas pilihan sendiri ternyata cukup tinggi jika dibanding di negara yang banyak melakukan perkawinan atas dasar pilihan orangtua. Di USA dan Australia angka perceraian sekitar 40%-50% (lihat sumber). Bagaimana mungkin perkawinan atas dasar cinta dan pilihan sendiri bisa punya angka perceraian demikian tinggi? Sementara di India yang menduduki angka tertinggi dalam melakukan perkawinan atas pilihan orangtua ternyata tingkat perceraian tergolong rendah sedunia yakni 1,1%. Perlu diketahui bahwa 90% perkawinan di India terjadi karena dijodohkan oleh orangtua. (sumber bisa dilihat di sini).

Fakta bahwa angka perceraian di India demikian rendah memang bisa diperdebatkan karena tergantung dari banyak sisi. Bisa saja angkanya rendah karena pengaruh tekanan sosial yang berakibat orang tidak gampang untuk bercerai. Di masyarakat yang kental kekerabatan sosialnya, masalah perkawinan bukan hanya menyangkut individu tapi juga sosial. Perkawinan bukan saja perkawinan yang melibatkan antar individu tapi juga merupakan perkawinan sosial.

Lain dengan masyarakat Barat, perkawinan adalah masalah antar individu yang menikah. Mereka bercerai tanpa mempertimbangkan masalah sosial keluarga masing-masing. Tapi bukan berarti bahwa untuk bercerai itu mudah. Karena aturan-aturan untuk bercerai yang njlimet itu harus dilewati sebelum benar-benar resmi bercerai dan setelah bercerai.

Di Australia, pemerintah menyediakan fasilitas konseling bertingkat-tingkat sebelum perceraian dilaksanakan. Karena pemerintah menyadari efek bagi individu setelah perceraian kadang amat tragis baik secara finansial maupun psikologis. Kasus kriminal dan bunuh diri lebih banyak bersumber dari masalah perkawinan yang gagal ini. (baca detailnya di sini). Demikian juga di India, pembunuhan yang bermotive cinta menduduki di ranking ketiga kejahatan di seluruh India. Bahkan di negara bagian India, pembunuhan atas dasar cinta menduduki ranking teratas. Demikian menurut statistik India tahun 2012. (Lengkapnya baca di sini).

Melihat angka-angka statistik di atas, nampaknya kedua jenis perkawinan punya kecenderungan sama dalam masalah kesuksesannya. Semua dikembalikan pada pelaku masing-masing dari perkawinan. Yang perlu digaris-bawahi adalah stigma negatif terhadap perkawinan yang diatur oleh orangtua. Bahwa tidak semua perkawinan yang diatur oleh orangtua adalah hal yang jelek, kolot, ketinggalan jaman atau merugikan. Ada sisi-sisi positif dari perkawinan yang dijodohkan orangtua ini.

Apakah tinggi atau rendahnya tingkat perceraian ada hubungannya dengan jenis perkawinan? Apakah perkawinan atas dasar cinta atau pilihan sendiri cenderung punya tingkat perceraian tinggi dan perkawinan karena dijodohkan orangtua punya angka perceraian rendah? Pertanyaan ini tidak gampang dijawab. Perlu penelitian tersendiri yang lebih detail.

Dijodohkan Orangtua

Banyak contoh perkawinan yang diatur orangtua yang berlangsung sukses. Perkawinan atas usaha orangtua di Indonesia lebih banyak terjadi di masa lampau. Pada saat kekerabatan sosial masih kental. Peranan orangtua sebagai figur yang harus dihormat dan dituruti kemauannya oleh anak masih merupakan faktor penting dalam sistem sosial kala itu. Kini pada saat kekerabatan sosial makin melonggar menyesuaikan perkembangan budaya modern, peranan orangtua dalam pemilihan jodoh anaknya makin berkurang. Dan anak lebih senang dengan pilihannya sendiri.

Pada saat pergaulan beda jenis yang lebih demokratis saat ini, berperanan untuk memperbesar kesempatan pasangan untuk saling mengenal pribadi masing-masing. Lain dengan masa generasi dulu yang lebih ketat dalam membatasi pergaulan sosial antar beda jenis kelamin. Bahkan memimpikan kekasih pun sudah merasa berdosa, begitu kata lagu populer tempo dulu. Sementara lagu-lagu populer generasi kini sudah biasa terang-terangan membicarakan masalah cinta dan seks.

Kakek dan nenek penulis adalah salah satu dari sekian contoh dari perkawinan yang dijodohkan oleh orangtua. Kakek dan nenek penulis hidup rukun hingga mereka meninggal di usia di atas 80 tahun. Mereka jarang bertengkar. Dan selalu terlihat saling menghormati. Bahkan kakek selalu kasih nasehat pada cucu-cucunya, "Dengarkan omongan nenekmu. Nenekmu itu orang pintar. Omongannya selalu benar. Kalau ingin baik, dengarkan nenekmu," begitu kata kakek setiap saat ketika cucu-cucunya dilihat berani menentang nasehat nenek mereka.

Di Sydney, penulis juga punya kenalan beberapa orang asal India yang dinikahkan atas pilihan orangtua. Penulis kenal dengan pasangan India yang telah menikah 30 tahun hasil dijodohkan oleh kedua orangtua mereka. Dan mereka hidup rukun, bahkan sepertinya bahagia.

Seorang kenalan lain yang masih single dan telah hidup empat tahun di Australia, mengambil cuti liburan sebulan beberapa bulan lalu. Sekembalinya dari liburan, ia nampak punya wajah bersinar. Ternyata ia pulang ke India untuk memenuhi panggilan orangtuanya. Ia hendak dipertemukan dengan seorang gadis sekampung yang kini tinggal di London, Inggris.

Kenalan tersebut cuma sekali melihat gadis itu saat di kampung mereka ada pernikahan beberapa tahun lalu sebelum kenalan tersebut berimigrasi ke Australia. Gadis itu datang ke pesta pernikahan tersebut bersama orangtuanya. Mereka tidak pernah bertegur sapa. Singkat cerita, kenalan itu mengabarkan bahwa bulan Maret tahun depan mereka akan menikah. Penulis terkesan sekali dengan pemberitahuan ini. Begitu cepat. Cuma sebulan liburan, enam bulan kemudian sudah direncanakan hendak menikah dengan pasangan atas pilihan orangtuanya. Kenalan tersebut nampak tidak sabar dengan pernikahannya. Ia baru-baru ini memamerkan kepala botaknya yang kini telah ditumbuhi rambut lembut hasil implantasi rambut di sebuah klinik.

Cerita menarik lain terjadi di Amerika tentang pasangan yang telah menikah selama 27 tahun hasil penjodohan orangtuanya. Khubani (25 tahun, kini 52 tahun), pemilik perusahaan Telebrands, di Fairfield, New Jersey merasa enggan pulang ke India hanya untuk memenuhi panggilan orangtuanya dan hendak dijodohkan dengan Israni, seorang gadis yang lagi populer sebagai bintang film di Bollywood. Baik Khubani maupun Israni sama-sama tidak siap untuk menikah karena pertimbangan karier mereka yang baru saja melejit.

Karena rasa hormat pada orangtuanya, mereka berdua bertemu juga. Keduanya sama-sama tidak punya perasaan tertarik terhadap satu sama lainnya. Tidak ada kesan tentang cinta pada pandangan pertama, begitu cerita Khubani sebagaimana diceritakan pada wartawan New York Times. (Cerita lengkapnya di sini).

Tapi keadaan itu berubah saat Khubani jatuh sakit dan Israni dengan telaten merawatnya. Ketlatenan merawat dan sikap santun elegan yang ditunjukkan oleh Israni telah mencairkan hati Khubani.

"Spending a couple of days in the room with her, alone, I fell in love with her," begitu kata Khubani.

Perasaan jatuh cinta pada orang yang dijodohkan hasil pilihan orangtua memang lebih gampang terjadi karena masing-masing pasangan tidak merasa cemas atau berpikir panjang lebar apakah pasangannya adalah pilihan yang tepat buatnya. Begitu alasan kenapa perkawinan pilihan orangtua bisa berjalan baik sebagaimana dikatakan oleh Brian J. Willoughby, seorang assistant professor, School of Family Life di Brigham Young University, Provo - Utah, Amerika.

Melihat kisah sukses tersebut di atas, sepertinya perkawinan atas pilihan orangtua tidaklah terlalu jelek bahkan terkesan lebih santai. Tidak ada perjuangan mati-matian merebut hati sang idaman. Cinta tumbuh dengan sendirinya jika memang ada kemauan membuka ladang di hati untuk siap disemai.*** (HBS)

Tulisan menarik lain:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun