Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Enaknya Menikah Dijodohkan Orangtua

14 Desember 2013   13:10 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 4334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sisi dari kedua jenis perkawinan tersebut sepertinya bertentangan. Tapi sebenarnya tidak selalu demikian. Banyak orang berpendapat bahwa dasar dari sebuah perkawinan adalah adanya rasa saling mencintai. Bagaimana mungkin bisa menikah tanpa saling mencintai? Pendapat itu benar. Cuma saja, rasa cinta itu diletakkan pada awal sebelum terjadinya perkawinan. Padahal rasa cinta bisa saja tumbuh setelah terjadinya perkawinan. Maka kedua jenis perkawinan tersebut sebenarnya sama saja. Yakni mendasarkan keberlangsungannya atas dasar cinta. Cuma tumbuhnya cinta itu yang beda waktunya. Berkembangnya rasa cinta setelah perkawinan memang bisa beda. Kebahagiaan perkawinan juga tergantung dari pelakukunya masing-masing.

Rasa cinta yang berbunga-bunga pada masa pacaran bisa saja makin pudar setelah terjadinya perkawinan. Dan sebaliknya, tiadanya rasa cinta di awal perkawinan bisa saja makin tumbuh subur setelah perkawinan. Bagi yang beruntung tentu saja yang menikah atas dasar saling cinta, kemudian makin cinta setelah perkawinan. Bila saja pasangan yang dijodohkan bisa bersikap realistis - tidak menilai terlalu berlebihan bahwa pasangannya berwajah molek dan kepribadian prima, maka pasangan hasil perjodohan orangtua bisa saja memperoleh kebahagiaan perkawinan sama.

Sukses tidaknya perkawinan memang tidak bisa diukur secara statistik. Terutama jika ukurannya menyangkut kebahagiaan. Tolok ukur suksesnya perkawinan mungkin hanya bisa dilihat dari statistik tingkat angka perceraian.

Angka perceraian di negara yang lebih banyak melakukan perkawinan atas pilihan sendiri ternyata cukup tinggi jika dibanding di negara yang banyak melakukan perkawinan atas dasar pilihan orangtua. Di USA dan Australia angka perceraian sekitar 40%-50% (lihat sumber). Bagaimana mungkin perkawinan atas dasar cinta dan pilihan sendiri bisa punya angka perceraian demikian tinggi? Sementara di India yang menduduki angka tertinggi dalam melakukan perkawinan atas pilihan orangtua ternyata tingkat perceraian tergolong rendah sedunia yakni 1,1%. Perlu diketahui bahwa 90% perkawinan di India terjadi karena dijodohkan oleh orangtua. (sumber bisa dilihat di sini).

Fakta bahwa angka perceraian di India demikian rendah memang bisa diperdebatkan karena tergantung dari banyak sisi. Bisa saja angkanya rendah karena pengaruh tekanan sosial yang berakibat orang tidak gampang untuk bercerai. Di masyarakat yang kental kekerabatan sosialnya, masalah perkawinan bukan hanya menyangkut individu tapi juga sosial. Perkawinan bukan saja perkawinan yang melibatkan antar individu tapi juga merupakan perkawinan sosial.

Lain dengan masyarakat Barat, perkawinan adalah masalah antar individu yang menikah. Mereka bercerai tanpa mempertimbangkan masalah sosial keluarga masing-masing. Tapi bukan berarti bahwa untuk bercerai itu mudah. Karena aturan-aturan untuk bercerai yang njlimet itu harus dilewati sebelum benar-benar resmi bercerai dan setelah bercerai.

Di Australia, pemerintah menyediakan fasilitas konseling bertingkat-tingkat sebelum perceraian dilaksanakan. Karena pemerintah menyadari efek bagi individu setelah perceraian kadang amat tragis baik secara finansial maupun psikologis. Kasus kriminal dan bunuh diri lebih banyak bersumber dari masalah perkawinan yang gagal ini. (baca detailnya di sini). Demikian juga di India, pembunuhan yang bermotive cinta menduduki di ranking ketiga kejahatan di seluruh India. Bahkan di negara bagian India, pembunuhan atas dasar cinta menduduki ranking teratas. Demikian menurut statistik India tahun 2012. (Lengkapnya baca di sini).

Melihat angka-angka statistik di atas, nampaknya kedua jenis perkawinan punya kecenderungan sama dalam masalah kesuksesannya. Semua dikembalikan pada pelaku masing-masing dari perkawinan. Yang perlu digaris-bawahi adalah stigma negatif terhadap perkawinan yang diatur oleh orangtua. Bahwa tidak semua perkawinan yang diatur oleh orangtua adalah hal yang jelek, kolot, ketinggalan jaman atau merugikan. Ada sisi-sisi positif dari perkawinan yang dijodohkan orangtua ini.

Apakah tinggi atau rendahnya tingkat perceraian ada hubungannya dengan jenis perkawinan? Apakah perkawinan atas dasar cinta atau pilihan sendiri cenderung punya tingkat perceraian tinggi dan perkawinan karena dijodohkan orangtua punya angka perceraian rendah? Pertanyaan ini tidak gampang dijawab. Perlu penelitian tersendiri yang lebih detail.

Dijodohkan Orangtua

Banyak contoh perkawinan yang diatur orangtua yang berlangsung sukses. Perkawinan atas usaha orangtua di Indonesia lebih banyak terjadi di masa lampau. Pada saat kekerabatan sosial masih kental. Peranan orangtua sebagai figur yang harus dihormat dan dituruti kemauannya oleh anak masih merupakan faktor penting dalam sistem sosial kala itu. Kini pada saat kekerabatan sosial makin melonggar menyesuaikan perkembangan budaya modern, peranan orangtua dalam pemilihan jodoh anaknya makin berkurang. Dan anak lebih senang dengan pilihannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun