Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Terapi Bakar Uang

18 Desember 2013   08:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:48 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_1097" align="alignnone" width="644" caption="Sumber foto: http://1.bp.blogspot.com/--RNnsFJR6hk/T4LBu0DVJpI/AAAAAAAACs4/obL0cCZ-VW0/s640/BurningThroughMoney.jpg"][/caption]

MUNGKINKAH membakar uang bisa menjadi terapi alternatif yang cukup efektif buat merubah cara pikir dan mentalitas kita dalam memandang hidup? Kedengarannya memang mengada-ada. Tapi sebenarnya masuk akal juga bila kita pertimbangkan beberapa hal tentang cara pandang kita terhadap uang.

Tapi perlu diingat bahwa membakar uang bisa dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum. uang dicetak atas beaya negara. Uang adalah nilai tukar resmi milik negara. Jadi kalau dibakar tentu saja melanggar hukum. Penulis tidak menyarankan perbuatan melanggar hukum ini.

Tapi jika ada yang sengaja membakar uang, bukti pelanggaran itu susah didapat jika uang dibakar hingga menjadi abu sehingga tidak meninggalkan bekas secuil pun.

Tulisan ini hanya sekedar ide berdasar analisa yang masuk akal bagi penulis. Mungkin tidak demikian halnya bagi orang lain. Tergantung dari masing-masing pribadi. Tulisan ini sifatnya hanya iseng. Dan tentu saja ditujukan hanya bagi orang yang menyiapkan diri untuk membuka cakrawala pikirnya dengan pengalaman baru.

Sebagaimana kita ketahui dan mengerti bersama, kita membutuhkan uang sejak kita tahu nilai uang hingga kita mati. Sejak kecil, ketika uang hanya sebagai uang saku sekolah, kita telah punya kesadaran bahwa uang bisa memberi kita kenikmatan dan kemudahan. Dengan uang tak seberapa itu kita tidak kelaparan ketika saatnya istirahat makan siang. Kita tinggal tukarkan lembaran kertas yang terselip dalam saku dengan nasi bungkus, es dan jajanan di kantin sekolah. Makin besar nilai uangnya makin nyamanlah kita.

Ketika kita belum sepenuhnya tergantung memakai uang sebagai nilai tukar, sistem perdagangan kita memakai sistem barter atau tukar-tukar barang, tentu saja analisa terapi bakar uang ini tak berguna. Sistem barter ini mungkin masih dipakai di beberapa tempat hingga saat ini. Misalnya di Suku Badui Dalam, Suku Asmat atau di kalangan penganut ajaran samin (Sedulur Sikep). Tapi bisa saja diganti dengan barang yang berfungsi sejenis uang.

Begitu kita berangkat dewasa, betapa uang makin kita sadari peranan nilai pentingnya. Bahkan begitu pentingnya sehingga mempengaruhi kita dalam berpikir, bersikap, bertindak dan menyikapi masa depan kita. Tanpa uang dalam jumlah cukup, kita tak mungkin merencanakan masa depan muluk-muluk. Tanpa uang cukup, tak mungkin kita mendapat apa yang kita inginkan. Bahkan karena kita merasa tidak punya uang cukup, kita batasi pergaulan. Ada uang ada rupa. Jer basuki mawa bea. Itulah beberapa kata pepatah betapa uang punya peranan penting dalam hidup kita.

Semua manusia butuh uang. Kita hargai uang sedemikian rupa seolah kita tidak bisa hidup tanpa uang. Ketergantungan pada uang demikian tinggi melebihi ketergantungan kita pada sesama manusia lain. Kita bisa hidup tanpa orang tua, teman, pacar, saudara dan hubungan sosial lain. Tapi kita merasa tidak bakal bisa hidup tanpa uang. Uang seolah lebih penting dari segalanya. Bahkan melebihi hidup kita sendiri. Demi uang kita berani menempuh resiko mematikan. Demi uang kita rela korbankan nyawa sendiri, apalagi nyawa orang lain.

Bahkan beberapa orang berkata dengan sinis, bahwa tuhannya manusia itu uang. Nabinya manusia itu uang. Presidennya manusia itu uang. Uang mengalahkan segalanya. Tanpa uang, segala hal tidak akan ada artinya bagi seorang manusia pada saat dunia saat ini begitu materialistik. Tidak ada manusia yang tidak butuh uang. Meski sepeser, pasti membutuhkannya.

Jumlah uang tidak perlu melimpah. Sedikit atau banyaknya uang amat relatif bagi seseorang. Tapi semua butuh uang. Uang seolah sumber kebahagiaan. Kata-kata bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan memang benar. Tapi dengan uang kita bisa membeli kenyamanan. Uang tidak dibawa mati, demikian kata pepatah lainnya. Tapi dengan uang kita sakit dengan nyaman. Tergolek di tempat tidur yang empuk, ditunggui oleh dokter pribadi atau perawat dan mati dengan nyaman. Tidak mati sendirian di gubuk reyot atau di bawah jembatan. Uang tidak bisa membeli persahabatan. Tapi dengan uang kita bisa bergaul dengan manusia lain lebih terbuka dan serba berkemungkinan.

Kita seolah tidak mampu menghindari lilitan uang dalam hidup. Hidup adalah uang. Uang adalah hidup. Tidak semua orang mampu melepaskan diri dari lilitan uang dengan kesadaran. Ada kisah-kisah yang menceritakan petualangan seseorang yang mencoba melepaskan diri dari kehidupan duniawi dengan hidup menyendiri di hutan karena demikian muaknya dengan dunia uang. Mereka mencoba hidup secara sederhana dan menggantungkan hidupnya dari sumber alam yang ada di sekitarnya. Mereka mencoba membuktikan bahwa mereka bisa hidup tanpa uang. Tapi jumlah orang yang sengaja melakukan hal ini amat terbatas. Kita semua sudah terlanjur terbelit dan kepenak dengan lilitan uang.

Bakar Uang

Mungkin ini ide gila. Uang kok dibakar? Berdasar analisa di atas, ide membakar uang memang gila. Uang demikian kita butuhkan melebihi segalanya kok dibakar sia-sia? Tapi inilah justru dasar penting dari ide gila ini. Kita mencoba memutus ketergantungan kita pada uang.

Uang yang dibakar tidak perlu dalam nominasi besar. Juga tidak harus dalam jumlah besar. Tergantung pada orangnya. Semakin uang itu dipandang punya nilai, makin baik untuk mencapai efek yang dikehendaki. Tergantung mindset kita terhadap uang.

Uang sudah terlanjur merasuki cara pikir kita tentang hidup. Uang kita perlakukan sebagai sesuatu yang melebihi nilai materinya. Bahkan uang kita anggap sakral. Seolah hidup berpusar pada uang. Membakar uang berarti menafikan hidup itu sendiri. Kita bisa berdosa atau kualat. Kita telah berani menolak rejeki pemberian yang maha kuasa. Bahkan tega menyia-nyiakan, menyepelekan, menghinanya dengan membakarnya. Dengan membakarnya, seolah kita tak butuh uang. Jangan-jangan uang bakal susah datangnya nanti? Barangkali itulah pikiran kita selama ini.

Jika kita siapkan mindset kita terhadap uang yang kita bakar, bahwa uang tersebut amat bernilai maka membakar uang yang punya nominal rendah sama efektifnya dengan yang punya nominal tinggi. Ketika kita hanya punya uang seribu dalam dompet dan kita membakarnya, maka itu sebuah keputusan amat berani. Efeknya akan amat terasa secara psikologis.

Dengan sengaja membakar uang, berarti kita mempersiapkan mental kita untuk memutus ikatan ketergantungan pada nilai-nilai yang sebenarnya bukan nilai hidup itu sendiri. Kita beranikan diri untuk mengambil jarak terhadap apa yang kita anggap bernilai dalam hidup kita. Kita beranikan diri untuk melepaskan diri dari sistem yang membelenggu mental kita. Kita memberanikan diri untuk menganggap apa yang kita percayai punya arti itu menjadi sesuatu yang tidak berarti sama sekali. Kita berani meninggalkan sejenak apa yang kita percayai punya nilai dalam hidup.

Uang akan terbakar dalam sekejab. Berbagai perasaan aneh menyelinap ke hati begitu kita melihat uang itu terbakar. Perasaan paling dominan adalah rasa kuatir bahwa kita telah menyia-nyiakan rejeki kita. Bakal kena hukum karma. Hidup kita bakal susah karena tindakan kita itu.

Kadang perasaan sesal, gundah, kuatir, bersalah dan sebagainya masih mengganjal di hati untuk beberapa waktu. Nikmati saja perasaan itu. Nanti akan hilang sendiri. Pada titik inilah, kita bisa merasa lega. Kita berhasil melakukan sesuatu yang sebelumnya kita anggap gila.

Setelah membakar uang, bila sudah siap, bisa dilanjut dengan membuang uang begitu saja tanpa lihat tempatnya. Pokoknya buang saja sembarangan melebihi kita dalam membuang sampah. Kita campakkan uang. Mudahnya memang uang logam. Kita bisa lempar ke mana saja kita suka. Seolah kita tak membutuhkan uang itu dan jangan mengharap uang itu akan kembali. Jika kita berani dan tega melakukan ini, maka pelajaran mental yang kita dapat bisa membuat kita terkesima. Bahwa apa yang kita anggap penting dalam hidup ternyata bisa juga kita campakkan. Ini sekedar arti simbolisnya saja.

Efek

Membakar uang punya arti simbolis. Bahwa kita mencoba untuk menarik diri dari apa yang dekat dan penting buat hidup kita. Kita berani menarik jarak terhadap apa yang kita yakini selama ini menguasai alam pikiran kita. Implikasi dari penarikan jarak ini amat luas bila kita mau merenungkannya lebih jauh.

Hal apa saja yang kita anggap penting dalam hidup dan mempengaruhi cara pikir kita dalam menikmati hidup kita? Hal apa saja yang membuat kita takut untuk mengambil jarak bahkan melepaskannya meski sekejab dan sementara?

Setiap orang akan berbeda dalam memandang hal-hal yang penting dalam hidup. Tapi apapun namanya, bila ada keberanian menarik diri dan membuat jarak meski hanya sebentar akan memberi kita sebuah cara pandang baru yang menyegarkan.

Kadang kita melakukan sesuatu karena tekanan sosial yang tidak kita sadari. Tekanan sosial itu demikian menyatunya dalam kepribadian kita sehingga tanpa sadar kita melakukannya dengan sukarela. Seolah tindakan itulah yang benar karena lingkungan sosial menekannya.

Kadang kita bertindak hanya atas dasar dogma yang kita terima tanpa kita sadari. Ketakutan ditanamkan sejak usia dini sehingga dogma diterima begitu saja tanpa tanya. Karena rasa takut yang tertanam ini, membuat kita tidak punya keberanian untuk mengingkarinya. Resiko untuk bagi yang ingkar dengan dogma terlalu menakutkan untuk kita hadapi secara psikologis. Sedemikian menakutkan sehingga membuat kita tanpa daya nalar secukupnya bisanya cuma menerima dan mematuhinya. Bahkan untuk mengambil jarak dan mencoba berpikir jernih menurut nalar kita sendiri pun sudah membuat kita ketakutan akan resikonya.*** (HBS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun