Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Pakai Baju Pink atau Jalan Berangkulan di Sydney

11 Oktober 2013   07:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:42 2433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warna sesuai pilihan gender. Sumber foto: http://www.onlinecathy.com/wp-content/uploads/010-JeongMee-Yoon-2008The-Pink-Project-JeeYoo-and-Her-Pink-Things.jpg

BARANGKALI kepemilikan benda yang membedakan gender belumlah begitu ketat terjadi di Indonesia. Masih banyak orang kita lihat mengendarai sepeda tanpa pembedaan gender sepedanya. Sepeda yang sama dikendarai baik oleh laki-laki atau perempuan.

Dulu ada sepeda khusus untuk laki-laki. Bedanya, sepeda untuk laki-laki dengan perempuan adalah adanya besi melintang (palang) di bagian tengah sepeda. Palang itu membuat amat susah bagi wanita untuk mengendarainya jika memakai rok karena harus mengangkat tinggi-tinggi kakinya agar bisa mengendarai sepeda semestinya.  Sepeda yang memang khusus buat laki-laki.  Palang itu pada masa dulu, kadang dipakai untuk menyantolkan tas kerja.

Nampaknya hingga kini, sepeda yang sama dikendarai baik oleh laki-laki maupun perempuan tanpa membedakan bentuk atau warnanya.  Kesadaran pembedaan gender dalam penggunaan benda belumlah dilakukan dengan ketat di masyarakat Indonesia.

Demikian juga dalam hal warna. Warna pink yang diasosiasikan dengan jenis kelamin wanita, ternyata juga dipakai oleh laki-laki tanpa merasa bersalah.  Baju, sepeda, sepeda motor, mobil dan sebagainya yang berwarna pink atau agak pink masih bisa didapati dipakai oleh pria tanpa menarik perhatian orang lain.

Ketika penulis pada tahun-tahun pertama tinggal di Australia, kesadaran tentang pemakaian sepeda berdasar gender itu juga tidak begitu dirasa.  Sepeda pink, hitam, biru atau merah tidak ada bedanya.  Hanya sekedar warna, toh fungsinya sama yakni sebagai sepeda.

Pada waktu itu penulis pernah cerita pada seorang teman, bahwa penulis berencana hendak beli sepeda anak-anak.  Ketika tanya dimana bisa beli sepeda anak-anak, teman tersebut menawarkan sepeda putrinya yang sudah tidak dipakai lagi. Tentu saja tawaran teman itu penulis terima dengan senang hati.

Sepeda anak-anak pemberian teman tersebut berwarna pink. Kondisi sepeda anak-anak beroda dua itu masih bagus. Sepeda itu tidak lagi dipakai karena anak perempuan teman itu sudah besar dan membeli sepeda baru yang lebih besar ukurannya.

13814506711384787767
13814506711384787767
Interior mobil yang terkesan feminin. Sumber foto: http://www.onlinecathy.com/wp-content/uploads/016-women_drive_us_mad_25-A-girl-car.-.jpg

Putra kami baru berumur empat tahunan. Ketika mendapat sepeda itu tentu saja senang sekali.  Ketika roda kecil untuk bantuan belajar naik sepeda sudah dipasang di kiri dan kanan, langsung saja ia naiki dan putar-putar belajar menaikinya di halaman sekitar flat tempat kami tinggal.

Pada hari akhir pekan, penulis pergi ke taman dekat rumah yang ada jalur untuk naik sepeda.  Beberapa orangtua juga membawa anak-anak mereka laki-laki dan perempuan beserta sepedanya.  Anak-anak kecil cepat sekali akrab dan membaur. Beda warna kulit tidak membuat mereka canggung. Langsung saja mereka tertawa-tawa bercanda dan naik sepeda sama-sama dan mutar-mutar di taman.

Sampai kemudian penulis dengar ada anak yang berceloteh, "Your bike is for girl."  Celotehan anak laki-laki berambut pirang itu ditujukan pada putra kami.

Barulah penulis tersadar dan memperhatikan warna dan model yang dipakai masing-masing anak. Memang warna pink hanya dipakai anak perempuan.  Juga model sepeda yang dipakai anak laki-laki dan perempuan juga berbeda. Mungkinkah pembedaan gender sudah dilakukan sejak usia sedini ini di Australia?

Ternyata memang begitulah adanya. Sepeda anak-anak roda tiga pun sudah dibedakan kepemilikannya berdasar gender. Hal ini penulis ketahui ketika hendak membeli sepeda baru buat putra kami setelah mendapat kritikan dari anak kecil berambut pirang itu. Sepeda di toko itu dibedakan letaknya antara sepeda untuk girls dan untuk boys.

Kami putuskan untuk membeli sepeda baru sesuai gender karena sempat juga merasa malu di antara para orangtua yang mengantar anak mereka ke taman. Tidak mengira sama sekali bahwa pemilahan berdasar gender itu demikian ketatnya di Australia. Itu pendapat penulis waktu itu. Sebuah pemborosan yang tidak perlu sebenarnya.  Sepeda untuk anak kecil saja kok sudah dibeda-bedakan? Tapi apa boleh buat, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.

Ketika penulis kursus bahasa Inggris, punya teman dari Vietnam. Teman itu sudah lama tinggal di Australia, tapi entah kenapa ia masih perlu belajar bahasa Inggris lagi padahal bahasanya sudah cukup bagus.

Ketika sepulang kursus, teman itu berkomentar pada dua orang pria dari Asia yang berjalan berangkulan.  Katanya sambil cekikikan, bahwa mereka itu gay atau bencong. Pria yang tertarik dengan kelamin sejenis.

Pernyataannya itu sempat membuat penulis merasa aneh.  Padahal menurut penulis, kedua pria itu meski berangkulan tapi tidak terkesan bahwa mereka saling mencintai sebagaimana sepasang kekasih.  Tidak terkesan kemesraan di antara mereka berdua.

Penulis juga biasa saja melakukan hal itu ketika masih di SMA bersama sahabat.  Itu tanda keakraban kami sebagai seorang sahabat. Bahkan kami juga tidur seranjang waktu kami main ke rumah dan menginap. Tidak ada yang salah karena kami tidak melakukan perbuatan yang aneh-aneh. Kami biasa saja.  Ngobrol hingga larut malam sampai jatuh tertidur. Penulis juga melihat teman-teman lain juga berangkulan sesama teman laki-laki saat pulang sekolah atau saat keluar bareng-bareng ke toko atau main-main.  Tidak ada yang komentar dan biasa saja.

Tapi lama kelamaan penulis sadari, memang jarang sekali melihat dua orang pria berjalan berangkulan di Sydney meski sahabat karib sekali pun.  Hanya kaum homoseksual yang melakukannya. Bahkan mereka berciuman di muka umum pasangan sesama jenis itu.

Persamaan Hak

Dalam kehidupan pribadi, pembedaan berdasar gender tersebut sepertinya sudah biasa. Tapi tidak dalam hal formal. Lowongan kerja dianggap melawan hukum jika mengisyaratkan perbedaan gender. Lowongan pekerjaan diiklankan tanpa membedakan gender atau diskriminasi lainnya secara terselubung apalagi terang-terangan. Pekerjaan harus terbuka tanpa diskriminasi dalam hal umur, kulit, jenis kelamin, ras dan sebagainya. Pengumuman pekerjaan yang menyebut syarat diterima harus punya tinggi badan tertentu saja sudah dianggap menyiratkan diskriminasi dan bisa dituntut secara hukum.

Masalah diskriminasi di Australia dianggap sebagai masalah serius.  Hak azazi manusia dilindungi tanpa membedakan gender, umur atau SARA. Semua manusia diperlakukan sama dan diberi kesempatan yang sama pula. Hingga akhir-akhir ini, Perdana Menteri Australia yang baru terpilih Tony Abbott, mengakui perkawinan sesama jenis mengundang polemik dalam masyarakat. Kabinet Tony Abbott yang minim perempuan juga disorot masyarakat. Kesamaan hak sepertinya oleh pemerintah Australia mulai ditarik lebih panjang hingga menyentuh hak perkawinan sesama jenis.

Di tempat kerja, memperlakukan pilih kasih antara pekerja perempuan dan laki-laki secara terang-terangan adalah tabu.  Maka tidak aneh jika seorang cewek cantik pun rajin jadi tukang angkat-angkat kursi dan meja. Pekerjaan adalah pekerjaan tanpa membedakan apakah ia laki-laki atau perempuan. Tentu saja hal ini dilakukan secara fleksibel. Kadang pekerja laki-laki pengertian dan mengerjakan yang dianggap berat bagi seorang perempuan. Jadi berdasar inisiatif pribadi.  Tidak secara langsung diutarakan secara formal untuk menghindari jeratan hukum diskriminasi. Karyawan juga tidak bisa menolak pekerjaan yang diserahkan padanya karena alasan jenis kelaminnya.

Masalah orientasi seksual ini amat pelik sekali bagi penulis. Kadang susah membedakan antara mana lelaki atau perempuan yang tertarik dengan pasangan sejenis karena susah membedakan jika hanya berdasar penampilan belaka. Untuk bertanya tentang orientasi seksual mereka pun sudah merasa tidak kepenak dan kuatir dianggap rasis atau diskriminatif.

Orientasi seksual adalah hak pribadi bebas dari penilaian orang lain. Ketika ada karyawan sesama jenis dan saling jatuh cinta, kami tanggapi biasa-biasa saja. Meski ada bisik-bisik di belakang.  Kami seolah ikut merasa bahagia dengan hubungan mereka. Ketika ditanya hadiah apa yang paling bagus buat pasangannya, kami pun memberikan pendapat seolah mereka pasangan lain jenis yang saling jatuh cinta tanpa terdengar kesan berolok-olok, apalagi sambil cekikikan. Tidak sebagaimana pengalaman penulis selama di tanah air. Teman yang orientasi seksualnya tertarik dengan sesama jenis sering kami olok-olok dan jadi bahan tertawaan.

Toleransi antar sesama tanpa membeda-bedakan manusianya di Australia disosialisasikan sejak usia dini ketika anak mengenyam pendidikan awalnya di sekolah dasar.  Kelas-kelas sekolah di Australia memang kaya budaya karena latar belakang anak yang datang dari segala macam bangsa di dunia.  Beberapa sekolah malah merasa bangga jika di sekolahnya terdiri dari beragam manusia dan mempromosikan sebagai sekolah multikultural.

Peranan pemerintah dalam menggalang kehidupan demokratis tanpa memandang orientasi seksual manusia bisa dilihat dari ramainya perayaan dunia gay dan lesbian, "Mardi Gras" yang mengundang perhatian dunia internasional.  Perayaan yang diadakan tiap tahun bulan Februari hingga Maret selalu mengundang peserta dari berbagai dunia dan merupakan daya tarik turisme tersendiri.  Dewan kota di Sydney bahkan menyediakan dana sekitar AUD $110 ribu untuk mengecat zebra cross berwarna pelangi menyambut suasana festival Mardi Gras  tahun 2013.

13814507851841511175
13814507851841511175
Zebra Cross warna pelangi menyambut festival gay dan lesbian tingkat dunia Mardi Gras. Sumber foto: http://resources0.news.com.au/images/2012/12/18/1226534/053884-tayor-square.jpg

Meski festival Mardi Gras selalu berlangsung meriah, penulis tidak pernah pergi untuk menonton langsung. Ada perasaan aneh melihat festival tersebut meski hanya lewat siaran TV.  Mereka berdandan minim.  Nampak gagah dan cantik. Glamour dan penuh warna. Tapi kok tidak juga mendorong penulis untuk pergi menyaksikan pandangan mata secara langsung.

Penulis sibuk meneliti baju atau kaos yang barangkali mengandung warna pink untuk disendirikan, disisihkan dan dikeluarkan dari dalam almari.*** (HBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun