Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jokowi Jadi Sasaran Empuk Bulan-bulanan

23 Januari 2014   07:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:33 1722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun akan beda jika banjir itu dipandang sebagai bencana yang tidak perlu. Banjir adalah bencana alam yang bisa diatasi. Mereka akan ramai-ramai berusaha menyelesaikan masalah itu bersama-sama. Bencana harus dihentikan dan bukan dipelihara untuk media hiburan. Bencana bukan alat untuk mendekatkan diri pada yang bikin hidup.

Bencana itu harus dihentikan agar bisa mendekatkan diri ke hadapan yang kuasa dengan lebih tenang. Ini bukan pemikiran orang yang benar keimanannya. Bencana itu kehendak alam, kok dilawan. Berarti melawan sang alam. Melawan yang bikin hidup. Melawan takdir. Orang begini harus banyak berdoa dan berintrospeksi. Orang yang sudah lupa dengan tuhannya. Orang yang sudah keblinger kehilangan ketaqwaannya. Orang yang kurang tawakal dan prihatin. Lemah iman.

Karena bencana dianggap cobaan hidup, masyarakat tidak pernah belajar mengatasi bencana. Yang mereka pelajari adalah orang harus selalu sabar, tawakal dan berserah diri pada tuhannya. Harus tabah menerima bencana agar dikasihi oleh sang kuasa. Itulah manusia yang beriman.

Bencana tidak ada hubungannya dengan kali yang tersumbat. Tidak ada hubungannya dengan buang sampah sembarangan. Tidak ada hubungannya dengan design arsitektur yang njlimet dan canggih untuk menangkal bencana. Apapun usaha manusia tidak akan bisa melawan sebuah bencana yang ditimpakan oleh sang kuasa. Bendungan dari beton berlapis-lapis akan jebol juga kalau sang kuasa menghendaki.

Kalau memang Jokowi sebagai manusia hebat melebihi kemampuan sang kuasa, pasti banjir itu bisa cepat diatasi. Tidak bertele-tele ngomong teori macam-macam. Apalagi ngomong managemen penanggulangan bencana segala. Apa itu?

Apapun kemampuan dan usaha Jokowi tidak akan bisa menghentikan sebuah bencana yang memang ditimpakan pada masyarakat yang sudah banyak dosanya. Para pemimpin harus bertobat dan minta ampunan pada yang kuasa. Kalau perlu bikin kenduri untuk seluruh penduduk Jakarta. Kasih sesaji pada leluhur. Bencana pasti tidak akan ditimpakan pada orang-orang yang tawakal.

Yang kuasa tak akan memberi ujian berat pada orang-orang yang selalu tersenyum, ramah dan bersahabat. Kesombongan manusialah yang membuat sang kuasa memberikan cobaan hidup bertubi-tubi. Sebagai pelajaran agar lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa.

Masyarakat kita memang masih perlu dididik untuk lebih bisa berpikir secara realistik, logis dan rasionil. Barangkali inilah kunci untuk menyelesaikan segala persoalan-persoalan yang ada di Indonesia saat ini. Mengajak masyarakat untuk berpikir rasionil memang banyak tantangannya. Perlu political will pemerintah untuk mencerdaskan masyarakat. Tidak malah menghiburnya dengan retorika-retorika kosong untuk menumpulkan logika sehat.

Usulan buat pak Jokowi, jika masyarakat enggan untuk bertindak dan berpartisipasi mengatasi banjir karena pikiran-pikiran yang tidak realistis, kasih saja setiap tempat pembuangan sampah sesaji kembang setaman. Undang para dukun untuk pasang sesaji di tempat-tempat strategis penyebab banjir. Masyarakat pasti takut menyinggung para leluhur di mana sesaji itu ada. Mereka tak akan buang sampah sembarangan di situ. Mereka takut kualat. Mereka takut kesambet. Mohon pak Jokowi coba usulan ini. Lihat saja nanti hasilnya. Sungai-sungai akan jadi bening dan keramat. Ikan yang ada di situ matanya bisa berkedip-kedip.*** (HBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun