Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jokowi Jadi Sasaran Empuk Bulan-bulanan

23 Januari 2014   07:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:33 1722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MASYARAKAT Indonesia itu terkenal dengan masyarakat yang murah senyum, ramah dan bersahabat. Itulah sebabnya, Jokowi sering menjadi bulan-bulanan dari orang-orang yang punya sifat seperti itu.

Orang-orang yang suka senyum, ramah dan bersahabat itu sebenarnya mencari pelampiasan karena tak puas dengan dirinya sendiri, tak puas dengan hidupnya sendiri, tak puas dengan keadaan sekitarnya dan ketidak-puasan lainnya. Ketidak puasan itu menghalangi mereka untuk murah senyum, ramah dan bersahabat. Ketidak-puasan yang bertumpuk-tumpuk itu bisa salah sasaran dalam pelampiasannya. Sedikit saja ada yang salah dan ada orang yang bisa jadi sasaran empuk, jadilah ia bulan-bulanan kesalahan.

Lihat saja kerusuhan-kerusuhan atau protes-protes sosial di Indonesia. Protes sosial itu kadang tidak realistis. Sepertinya rekayasa karena hasutan orang-orang yang punya kepentingan. Karena sudah nggak bisa senyum, tidak bisa lagi dengan kepenak jadi orang peramah dan bersahabat, makanya mereka gampang dihasut. Karena rasa pegelnya yang selama ini ditahan saja hingga sampai ke ubun-ubun.

Keinginan pingin murah senyum dan peramah itu sering terhalang, jadinya serba mangkel melulu. Pinginnya ngumpat-ngumpat. Mereka tidak bisa mengumpat ke udara. Harus ada sasaran empuknya. Dan Jokowi enak sekali dijadikan sasaran empuk. Karena apa? Karena Jokowi telah dianggap sebagai orang dekat mereka. Sudah dianggap sebagai orang yang baik hati dan tak akan marah kalau diumpatin. Mereka tahu jika Jokowi dimarahi, Jokowi akan merajuk mereka. Dan ini membuat mereka senang. Puas. Merasa berada di atas angin. Merasa terhibur. Merasa benar. Merasa dihargai. Merasa penting.

Masyarakat kita itu sering kalau dikasih hati suka minta rempelo. Kadang mereka marah-marah bukan pada masalah atau orang lain yang menciptakan masalah, tapi pada orang yang justru dekat di hati. Lihat saja contohnya, kita beraninya memarahi suami atau isteri tapi nggak berani memarahi saudara sendiri yang sebenarnya sumber penyakitnya. Apalagi memarahi mertua!

Di kantor juga gitu. Yang bikin mangkel itu bos yang suka merintah, tapi marahnya sama anak buah yang rajin dan selalu membantunya. Orang-orang yang dekat itu justru jadi korban pelampiasan kejengkelan mereka. Karena mereka tahu, orang yang dekat itu nggak mungkin akan balik menyakiti. Orang dekat itu tahu tabiat mereka. Mereka berasumsi bahwa orang dekat tersebutlah yang bisa mengerti kejengkelannya. Jadi jengkelnya itu tidak perlu semua diomongkan. Yang penting-penting saja. Tidak mulai semuanya dari nol, karena orang yang dekat sudah tahu. Mana berani marah sama bos? Orang dekat itulah sasarannya.

Mereka beraninya memarahi orang-orang terdekat karena yakin setelah marah-marah hubungan baik itu bisa dibina kembali tanpa susah. Memarahi orang dekat itu resikonya kecil. Kalau memarahi orang jauh dan tidak kenal, bisa-bisa salah paham dan kena bogem mentah.

Jokowi belum tahu kebiasaan masyarakat kita yang suka membully orang-orang yang tulus dan jujur? Karena orang yang tulus dan jujur adalah sosok aneh. Mereka dianggap sebagai sampah masyarakat. Nlyeneh. Tidak ngikuti pakem.

Kenapa masalah banjir nggak selesai-selesai dan bisanya menyalahkan? Alasannya sama saja. Karena kita suka senyum, ramah dan bersahabat. Lihat saja siaran TV. Pembaca beritanya tetap saja pasang senyum di kulum saat membacakan berita bencana, kecelakaan, kesengsaraan, penderitaan dan lain-lain nasib sial yang menimpa manusia lain. Apapun keadaannya, masyarakat kita selalu mencoba untuk tersenyum, tetap ramah dan bersahabat.

Terkena banjir juga begitu. Masyarakat masih saja suka tersenyum dan bersahabat. Mencoba bersikap sabar. Banjir dianggap bukan bencana tapi cobaan hidup. Kesabaran mereka dalam menerima bencana dan kesengsaraan sudah tidak realistis lagi. Kepasrahan pada nasib sudah menjadi fatalisme.

Semua diserahkan pada yang bikin hidup dan mereka merasa tinggal menjalani saja ujian cobaan itu dengan tabah. Dan tetap dijalani dengan senyuman, keramahan dan jangan sampai kehilangan tali silaturahmi dan lupa diri. Cobaan dari yang kuasa ada batasnya. Pasti nanti bakal mereda sendiri. Badai pasti berlalu. Cobaan jangan sampai membuat orang menjadi kafir. Justru harus lebih mendekatkan diri pada yang Kuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun