Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Intervensi Nilai-nilai Supernatural dan Harga Nyawa Manusia

22 Januari 2014   09:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penolong tidak mengkhawatirkan jika korbannya meninggal nanti masuk surga atau neraka. Si penolong tidak berusaha menghibur korban dengan kalimat-kalimat berkaitan dengan agama meski korban diasumsikan sudah dalam keadaan kritis dengan harapan hidup minim. Agama dan ketuhanan demikian jauh dari benak si penolong. Dan bahkan mungkin juga di benak korban. Pikiran rasionil mereka menghentikan pikiran di luar kenyataan riil. Masalah surga atau neraka adalah masalah pribadi individu masing-masing setelah meninggal. Sebuah masalah yang berada di luar kekuasaannya untuk mempengaruhinya. Selama ada di dunia, maka hukum-hukum duniawilah yang bicara. Mereka akan tetap berusaha menyelamatkan nyawa korban hingga korban dinyatakan meninggal.

Sementara itu, bagi masyarakat Indonesia yang religius dan beragama, tidak berarti tanpa usaha riil dalam menolong korban kecelakaan. Mereka merasa tahu di "batas" mana mereka harus berhenti berusaha untuk menolong dan saatnya nasib dipercayakan pada Sang Kuasa.

Ketika "batas" itu dirasa telah dilewati, maka nyawa sudah berada di luar jangkauan tangannya. Nyawa sudah jadi urusan di luar kekuasaannya. Maka tidak ada usaha lainnya yang dirasa lebih baik selain mengumandangkan kalimat-kalimat kitab suci untuk membantu korban menemui penciptanya. Dengan ketulusannya dalam menolong korban, mereka berasumsi bahwa agama si korban sama dengan agamanya. Maka kalimat-kalimat suci dari agamanya didengungkan pada korban.

Karena agama bagi individu adalah agama paling benar yang diyakininya, maka jika orang lain meski beda agama, jika dibacakan kalimat-kalimat suci agamanya akan punya nasib sama. Yakni mendapat pengampunan dari Tuhan dan mendapat keringanan atas dosa-dosanya.

Masalah yang bisa diperdebatkan adalah tentang definisi "batas" yang diketahui dalam usahanya menyelamatkan nyawa korban. Batas di mana si penolong merasa tidak lagi kuasa untuk menyelamatkan nyawa si korban. Karena pengetahuan medis yang terbatas, mungkin saja "batas" itu tidak tepat. Namun sudah keburu menyerahkan pada kekuatan di luar kemampuan dirinya. Pada titik inilah yang membedakan antara pemikiran rasionil dan sekuler dengan pemikiran religius agama dalam usaha menyelamatkan nyawa seorang manusia.

Jika kedua korban di atas ternyata keduanya meninggal, maka kebenaran menjadi urusan masing-masing individu. Penolong di negara sekuler merasa benar dan demikian juga penolong di dunia religius beragama. Bedanya, penolong sekuler usahanya dalam menolong tersebut berhenti di dunia. Mereka merasa gagal dalam usahanya menolong korban. Sementara penolong religius beragama merasa bahwa pertolongan mereka berlanjut meski korban meninggal. Mereka merasa berhasil dalam menolong korban untuk mempersiapkan diri menghadap Tuhannya. Gagal menolong di dunia namun masih punya harapan sukses menolong korban di alam kubur. Meski hal ini amat sulit dibuktikan karena hanya berdasar keyakinan agama.

Betapa "agama" atau kepercayaan tentang kekuatan supernatural telah menggeser sikap kita tentang arti sebuah nyawa. Kepercayaan adanya sebuah kekuatan di luar kekuatan manusia melahirkan konsep dan pandangan baru dalam menilai sebuah nyawa. Bahkan dalam kasus tertentu kekuasaan "Tuhan" jauh melebihi harga sebuah nyawa.

Dalam peradaban-peradaban kuno, persembahan nyawa manusia kepada kekuasaan di luar kekuasaan manusia dilakukan oleh kelompok manusia pengikutnya. Nyawa manusia dijadikan tumbal bagi kesejahteraan manusia lainnya. Tumbal nyawa manusia seolah bisa membahagiakan kekuatan supernatural yang dipercayai akan memihak kepada pengikutnya. Seolah tindakan menghilangkan nyawa manusia lain mengalami pembenaran karena adanya kekuatan supernatural yang "diyakini" memihak padanya.

Manusia tidak akan pernah bisa menghilangkan instingnya sebagai mahluk yang lebih rendah. Menghilangkan nyawa orang lain tak cukup hanya mematikannya, tapi harus disertai kesakitan demi alasan pembelajaran, balas dendam atau keadilan.

Hukuman mati adalah bentuk penghilangan nyawa manusia demi pembelajaran secara terlembaga. Hukuman mati dengan memakai gas nitrogen tanpa menimbulkan rasa sakit bahkan pesakitan menghalami euphoria beberapa detik sebelum meregang nyawa dianggap tidak cocok dengan tujuan hukuman mati itu sendiri (Sumber). Si pesakitan harus menderita sakit sebelum mati. Hutang nyawa dibayar nyawa. Itulah pembelajaran yang didapat dari hukuman mati. Hukuman adalah hukuman. Hukuman harus menyakitkan. Tidak ada hukuman yang sifatnya menyenangkan.*** (HBS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun