Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Australia Banyak Orang Tidak Punya Uang Tunai

5 Januari 2014   06:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAGI sebagian banyak orang, mungkin tidak percaya kalau diberitahu bahwa banyak orang Australia yang tidak punya uang. Bagaimana mungkin? Negara yang makmur dan pengangguran diberi tunjangan kok nggak punya uang?

Banyak orang Australia yang hidup kesehariannya gali lubang tutup lubang meski gaya hidupnya nampak mewah. Pergi ke pub tiap minggu, baju perlente, mobil terbaru, parfum ternama, tas trendy, mobile phone edisi terbaru dan sebagainya.

Ketika seorang teman mengeluh saat gajinya belum ia terima, penulis sempat ikut senewen juga. Bagaimana mungkin di Australia perusahaan terlambat membayar gaji karyawannya? Ternyata gaji itu terlambat ditransfer cuma beberapa jam saja karena masalah teknis. Meski hanya beberapa jam, ternyata sempat membuat teman tersebut panik. Ia kuatir terlambat mencicil credit mobilnya dan kena denda karena itu. Padahal transfer itu cuma terlambat dua jam. Kalau terlambat sehari mungkin bisa senewen berat.

Ada juga seorang teman lainnya yang sempat pinjam uang karena gaji mingguannya sehari lagi baru diterima. Ia sudah kehabisan uang sebelum menerima gaji berikutnya. Penulis tak habis pikir padahal gajinya cukup besar dibanding gaji rata-rata karyawan biasa. Tentu saja penulis menolak memberinya pinjaman uang. Jangan sekali-kali kasih pinjam uang di Sydney. Bakal nggak kembali. Itulah pengalaman penulis selama ini.

Kasus lainnya cukup banyak yang bisa dijadikan contoh. Orang bisa berdebat panjang tentang $1.20 tagihan yang dikenakan padanya. Meski legitimasi tagihan itu nyata dan bisa dibuktikan, tetap saja mereka mencoba mengingkari bukti dan menolak membayar. Mungkin masalah prinsip atau memang nggak mau keluar uang ekstra?

Melihat penampilan mereka, orang bakal tidak menyangka kalau mereka tidak punya uang. Mereka mengendarai mobil model terakhir, rumahnya besar dan baru, gaya bicaranya pun meyakinkan. Tapi begitu diminta untuk mengeluarkan uang, amat sulit sekali.

Tidak Miskin

Tidak punya uang bukan berarti mereka miskin, tapi uang sebagai liquid capital memang amat diminimkan. Uang tunai dianggap sebuah kesia-siaan karena daripada dibawa kesana-kemari, uang bisa ditaruh di bank untuk tambahan cicilan credit mobil atau rumah.

Penulis pernah bincang-bincang dengan sopir truk sampah yang mengambil sampah compactor dari perusahaan setiap minggu. Orang Australia berumur 55 tahunan. Badannya sehat dan kekar. Bagi penulis, orang Australia yang tidak punya kesulitan dalam masalah bahasa dan budaya, merasa heran mendapati orang seperti dia melakukan pekerjaan yang di Indonesia dianggap pekerjaannya seseorang yang tak punya latar pendidikan cukup dan tidak punya kesempatan.

"Someone has to do the job," begitu katanya bergurau ketika ditanya sudah berapa tahun ia bekerja sebagai tenaga pengambil sampah.

Tak tanggung-tanggung ia sudah bekerja puluhan tahun dan suka dengan pekerjaan itu. Alasannya, tidak ada bos yang menguntitnya terus menerus dan fleksibel dengan waktunya. Ia juga merasa sehat karena selalu aktif secara fisik dan berada di luar ruang.

Orang bule yang selalu memakai celana pendek dan nampak kumuh tersebut ternyata punya rumah dan tanah pertanian amat luas. Beratus-ratus hektar. Memang tidak aneh jika penduduk asli Australia biasanya punya tanah ratusan hektar. Tapi kenapa ia masih melakukan pekerjaan sebagai sopir truk sampah?

"I need cash," katanya singkat.

Ternyata apa yang diomongkan masuk akal juga. Meskipun ia punya tanah luas, tapi tidak punya uang tunai. Tanahnya yang luas tersebut tidak bisa menghasilkan uang dengan cepat. Harus nunggu waktunya panen atau uang sewa tanahnya dibayar. Padahal kalau tanah dan rumahnya dijual, bisa laku jutaan dolar. Apalagi harga rumah dan tanah di Australia sekarang ini melambung tinggi.

Kehidupan keluarga petani di Australia dan Indonesia sepertinya punya masalah sama cuma beda secara kuantitas. Penghasilan keduanya tergantung pada musim. Hasil panen akan melimpah jika musimnya bagus. Jika tidak, maka hidupnya bakal mepet hingga pada musim panen berikutnya. Petani perseorangan di Indonesia tanahnya tidak seluas tanah petani Australia.

Tanah luas dengan sendirinya perlu peralatan pertanian untuk bisa mengolahnya dengan baik. Maka tidak aneh jika petani perseorang di Australia punya banyak alat-alat berat untuk mengolah tanahnya. Alat-alat berat itu harganya bisa jutaan dolar. Dan biasanya mereka dapat pinjaman dari bank untuk membelinya. Sekali sukses panen, hasilnya melimpah. Tapi hutangnya di bank juga besar. Ketika tanah pertanian mereka dilanda banjir atau paceklik, banyak petani bisa bangkrut (sumber).

Bagi para imigran yang datang ke Australia, kebutuhan rumah dan isinya merupakan kebutuhan yang menempati urutan pertama. Sewa rumah (median rata-rata $285 per minggu) atau flat makin tahun makin mahal. Demikian juga harga rumah. Maka, bisa memiliki rumah sendiri secepatnya adalah tujuan utama imigran sebelum harganya makin tak terjangkau. Rumah bisa diangsur maksimum selama 25 tahun. Jika rajin nabung dan membayar cicilan utama, rumah bisa dilunasi di bawah lima tahun. Median cicilan rumah tiap bulannya sekitar $1800. Dan median pendapatan per individu $577.00 (sumber).

Karena alasan di atas, para imigran begitu masuk Australia langsung kerja membanting tulang agar bisa membeli rumah impian mereka dan melunasi cicilannya secepat mungkin. Harga-harga rumah di sekitar Sydney makin tahun makin tak terjangkau masyarakat umum. Harus membeli agak jauh dari lingkaran kota Sydney untuk rumah yang berharga lebih murah dan sesuai dengan pendapatan mereka.

Jika sebagian besar gaji dipakai mencicil rumah, maka tidak heran jika uang tunai mereka sangat minim. Belum lagi kalau mereka juga harus mencicil pembayaran mobil atau cicilan credit card untuk keperluan lain mereka.

Negara kaya memang dikenal oleh masyarakat kita bahwa masyarakatnya hidup sejahtera dan kecukupan. Atau menurut tetangga desa saya dibilang sebagai negara yang "sarwo tinuku" dan "gemah ripah loh jinawi". Anggapan tersebut tidak benar sepenuhnya. Meski di negara kaya yang masyarakatnya terlindungi jaminan sosial dan kesehatannya, tapi tanpa uang tunai secukupnya mereka tetap saja "sengsara".

Nabung Masa Tua

Menurut sensus tahun 2011, 32,1% penduduk Australia yang jumlahnya 21.507.717 jiwa sudah punya rumah sendiri, 34,9% dalam proses pembayaran dan 29,6% masih menyewa (sumber). Median harga rumah di NSW sebesar $637.400. Rata-rata kredit pemilikan rumah di NSW sebesar $307.000. (sumber)

Menurut laporan koran SMH, 3 Januari 2012, harga rumah di NSW dalam jangka 10 tahun terakhir telah meningkat 147% sementara penghasilan individu hanya naik sebesar 57%. Maka tidak mengherankan jika angka penyitaan rumah oleh bank karena tidak sanggup mencicil kredit rumahnya cukup tinggi di NSW yakni sebesar 22.5% (sumber).

Membeli rumah di Australia bukanlah urusan gampang. Diperlukan komitment sepanjang hidup. Siap-siap mengatur pengeluaran dan rajin menabung bila tak ingin terjebak pada masalah yang lebih ruwet.

Ada orang bilang, "Jika sudah kredit beli rumah, jangan merenovasinya kalau tidak ingin perkawinannya berakhir dengan perceraian". Kata-kata yang bernada guyonan tersebut amat masuk akal dan bisa menjadi kenyataan. Karena begitu rumah direnovasi dengan beaya tambahan tersebut, cicilan hutangnya makin membengkak dan mengalami kesulitan membayarnya. Masa bulan madu memiliki rumah baru kadang membuat orang kehilangan akal sehat.

Pengeluaran terbesar bagi masyarakat Australia yang belum punya rumah adalah membayar sewa yang besarnya kadang bisa sepertiga sampai setengah penghasilan setiap minggunya hanya untuk bayar sewa. Belum dipotong lagi dengan beaya kebutuhan hidup sehari-hari. Maka di akhir gajian berikutnya, tak banyak lagi yang bisa ditabung. Uang tunai di tangan makin tipis.

Yang paling enak memang orang yang sudah lunas cicilan rumahnya. Sebagian besar gaji bisa ditabung untuk pensiun masa tua tanpa mikir membayar uang sewa rumah. Meski setiap warga negara Australia berhak mendapat pensiun dari pemerintah, namun jumlah uang pensiun tersebut tidak bisa diandalkan untuk menikmati hidup dengan tenang. Jika punya tabungan cukup untuk pensiun, orang bisa santai dan kerjanya cuma plesiran kesana-kemari.

Bekerja keras di masa muda dan rajin menabung adalah salah satu jalan agar bisa hidup di hari tua dengan nyaman. Uang pensiun hasil keringat sendiri jauh lebih memberi kepuasan hidup daripada menggantungkan pensiun dari kebaikan pemerintah. Tentu saja lebih jauh lebih nyaman lagi jika bukan dari hasil korupsi. Maka, tidak mengherankan jika ada pendapat bahwa orang barat itu cepat tua di masa muda tapi awet tua di masa tuanya. Coba bandingkan dengan masyarakat Indonesia yang awet muda di masa muda tapi cepat tua di masa tua. Angka harapan hidup orang Australia rata-rata di atas 80 tahun (sumber) dan Indonesia sekitar 70 tahun (sumber).*** (HBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun