Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Congkak Tanda Terbatasnya Kemampuan Diri

18 Maret 2014   01:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:49 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam bulan ini saya harus men-training lima orang. Hari ini sudah orang keempat saya training. Minggu depan orang kelima dan harus selesai sebelum akhir bulan.  Melelahkan juga mentraining orang secara maraton begini.  Tapi saya belajar banyak dalam hal ini.

Masing-masing orang yang punya posisi manager tingkat menengah itu punya daya tangkap beda. Meski konsep yang saya pakai sama, tapi tetap saya sesuaikan dengan kemampuan orangnya dengan berbagai improvisasi. Sebab saya tahu, cara belajar masing-masing orang berbeda. Kesimpulan yang menganggap bahwa orang yang pelan dalam menangkap materi training dianggap bodoh adalah salah besar. Dan sebaliknya, yang cepat menangkap materi training belum tentu pinter.

Ada orang yang demikian cepat menangkap materi training begitu dikasih tahu sekali saja cara mengerjakannya sudah bisa. Yang ini harus ditulis gini, untuk cari ini tekan tombol ini. Sering saya terkagum-kagum dengan kemampuannya. Begitu dikasih tahu caranya langsung bisa sendiri. Tidak perlu banyak waktu untuk membuatnya mengerti. Padahal dulu saya perlu berhari-hari untuk menguasainya.

Namun ada juga yang susah sekali menerima instruksi dalam materi training. Sudah dikasih tahu caranya dan ditunjukkan dengan praktek, tapi tidak juga bisa dimengerti. Kelihatannya sudah tahu, tapi begitu disuruh mengerjakannya tidak bisa. Kalau pun bisa tapi tidak memenuhi standard.

Saya ingat ketika dulu ditraining oleh orang lain ketika baru diterima masuk kerja pertama kali untuk posisi paling bawah. Saya termasuk orang yang lamban dalam menerima materi training. Training dalam masalah apapun, saya selalu pelan bisa menangkapnya dengan baik. Sampai orang yang mentraining saya dulu jengkel. Dan menganggap saya bukan kandidat yang tepat. Saya sempat ketar-ketir tidak bakal dipakai oleh perusahaan.

Kebiasaan saya dalam mempelajari sesuatu yang baru adalah dengan mencoba mengerti dasar atau konsepnya. Jika konsepnya saya mengerti, barulah saya bisa mengetrapkan masalah-masalah teknis pengerjaannya dengan baik. Karena konsepnya saya pahami, maka mengingat langkah-langkahnya akan lebih mudah. Langkah-langkah itu lahir dari sebuah pemahaman tentang konsepnya.

Dalam training, saya selalu bertanya kenapa kok diproses dengan cara begini? Alasan dan sebabnya apa? Kalau nggak diproses dengan cara itu gimana? Kenapa kok ini digolongkan ke sini? Apa kriterianya? Dan lain-lain pertanyaan yang tidak praktis dan terkesan teoritis untuk sebuah pekerjaan yang memang sifatnya praktis. Kalau pertanyaan saya tak bisa dijawab, saya berusaha mencari sendiri. Dan ini perlu waktu. Makanya saya lamban menerima materi training.

Sementara banyak orang tidak merasa perlu bertanya macam-macam. Pokoknya ketik ini, tulis ini, tekan tombol ini dan seterusnya. Mereka mengerjakan perintah praktis itu tanpa tanya. Pokoknya kalau A maka tekan C. Seperti robot yang bisa diprogram. Saya selalu terkagum-kagum dengan orang jenis begini. Cepat sekali daya tangkapnya.

Orang yang mentraining saya itu kadang sampai mengumpat-umpat saking jengkelnya. Saya merasa bersalah dan mengutuk kebodohan diri sendiri. Kenapa saya tidak bisa berpikir cepat dan tanpa tanya sing neko-neko? Tapi proses pencarian latar belakang konsepnya itu berjalan dengan sendirinya tanpa saya kuasai. Meski berusaha saya tekan pun tidak bisa. Semakin saya tekan dan berusaha menerima apa adanya dan nuruti perintah semakin membuat saya kebingungan. Keadaan akan makin parah. Saya harus tahu konsepnya.

Yang parah adalah saat menghapal dimana letak kantor Human Resources, Wakil General Manager, Sales dan sebagainya. Perusahaannya berlantai sebelas dan punya tiga lift. Sudah dikasih tahu ada dilantai dua, tiga dan sembilan serta dikasih petunjuknya, saya selalu bingung. Semua lantai nampak sama begitu keluar dari lift. Saya harus tahu denah lantai perusahaan. Itulah cara saya mengatasi kebingungan saya. Dan denah lantai itu tidak gampang didapat.

Atau saya bikin jembatan keledai. Lantai dua adalah kantornya hUmAn resources. Human kedengaran seperti Dua. Tiga adalah lantainya Wakil General Manager. Sama-sama pakai huruf G dalam tiGa dan General manaGer. Lantai sembilan adalah kantornya Sales. Sama-sama ada huruf S-nya. Begitu saya menemukan jembatan keledai itu, makin gampang mengingatnya.

Mungkin bagi orang lain, kedengaran gampang untuk masalah sepele itu. Tapi tidak bagi saya. Karena saya harus mengingat materi training lainnya. Informasi yang saya terima begitu banyak. Hal-hal kecil begini bisa membuat saya gampang lupa jika tidak segera saya temukan jembatan keledainya.

Maka ketika orang yang mentraining saya itu jengkel, saya bisa mengerti. Menghapal letak kantor saja nggak becus, bagaimana bisa mengingat kerjaannya nanti?

Saya pun dipanggil oleh kepala departemen dan ditanya tentang training yang saya jalani. Apakah saya bisa mengikutinya? Kepala departemen itu pasti menerima laporan dari orang yang mentraining saya. Bahwa saya sulit menerima materi training. Daya dong saya rendah alias telmi atau telat mikirnya.

Maka saya jelaskan, proses cara berpikir saya dalam menerima materi training. Bahwa saya tidak bisa menerima begitu saja instruksi tanpa tahu latar belakangnya. Saya perlu tahu konsep latar belakangnya. Instruksi bisa macam-macam dan beda-beda. Tapi jika saya tahu konsep latar belakangnya, instruksi bagaimanapun beda bentuknya bisa saya mengerti. Dan jika ada yang salah, saya bisa memperbaikinya. Untungnya kepala departemen itu bisa mengerti alasan saya. Sempat juga membuat saya kuatir tidak jadi dikaryakan dalam perusahaan.

Akhirnya saya diterima kerja dan selamat melampaui masa uji coba selama tiga bulan. Saya pun diangkat jadi pegawai tetap perusahaan. Saya buktikan bahwa saya pekerja keras dan tahu dengan apa yang saya lakukan. Semakin lama saya kerja, makin bisa saya pahami konsepnya. Karena paham akan konsepnya, maka prosedur bisa saya rubah tanpa merubah konsepnya itu sendiri. Saya usulkan prosedur baru yang lebih praktis dan efisien pada kepala departemen. Dan usulan saya sering disetujui dan diterapkan di lapangan merubah prosedur yang ada.

Orang yang mentraining saya makin cemburu melihat kedekatan saya dengan kepala departemen. Dan juga prosedur-prosedur usulan saya yang merubah prosedur yang ada dan sudah dilakukan puluhan tahun tanpa ada yang mempertanyakan efektivitas dan efisiennya. Saya pun kemudian mendapat kepercayaan dari kepala departemen untuk menduduki posisi lebih tinggi.

Setelah beberapa tahun kerja di satu departemen, terasa mulai membosankan. Ketika saya minta cross training di departemen lain, saya pun diijinkan.

Masalah training itu kembali lagi merisaukan saya. Saya selalu sulit menerima materi training tanpa memahami konsepnya. Di departemen lain, saya sudah siap mental untuk dilecehkan. Demikian juga dengan training-training berikutnya. Saya sudah siap mental.

Ketika beberapa tahun kemudian saya pindah kerja, masalah training tidak lagi merisaukan saya. Karena makin tinggi posisinya, nampaknya orang makin menghargai. Lamban dalam menerima materi training tidak lagi dianggap bodoh. Karena tidak mungkin orang "bodoh" bisa sampai ke posisi yang dilamar. Kira-kira gitu alasan logisnya. Dan biasanya, orang yang mentraining untuk posisi tinggi tahu konsepnya juga. Jadi pertanyaan konseptual bisa dengan gampang saya peroleh. Dan ini mempermudah pemahaman saya. Dan lagi makin tinggi posisi biasanya tidak lagi melibatkan hal-hal yang praktis tapi lebih ke sisi teorinya terutama teori managemen dan kontrol.

Suatu saat tanpa sengaja, saya ketemu orang yang mentraining saya untuk pekerjaan pertama saya dulu. Orang itu ternyata masih bekerja di perusahaan sama dan masih pada posisi sama setelah saya tinggal tahunan. Dalam hati, dulu waktu mentraining saya lagaknya minta ampun. Kayak orang paling pinter sendiri. Tapi nyatanya tak pernah beringsut dari posisinya setelah tahunan. Sementara yang ditraining sudah berada di posisi jauh di atasnya.

Orang itu nampak kikuk sekali di hadapan saya. Ia sudah dengar prestasi saya ketika bekerja di perusahaan sama. Dan juga ketika saya pindah ke departemen lain untuk posisi beda. Kemudian pindah ke perusahaan lain untuk posisi lainnya.

Saya merasa kasihan melihatnya. Ia kini nampak tua dan badannya makin kusut. Saya bersikap biasa saja. Berusaha menempatkan diri sebagaimana saat ia mentraining saya dulu. Bagaimanapun juga ia orang yang berjasa dalam mengantarkan saya ke posisi saat ini.

Kalau bukan dia, saya tak akan mendapat kesempatan ini. Maka sudah selayaknya saya tetap hormat padanya. Ia bagai seorang guru yang berhasil mengantar anak didiknya ke jenjang hidup lebih baik. Seperti seorang guru SD yang sudah tahunan mengajar dan murid-muridnya pun sudah ada yang sudah menjadi menteri bahkan seorang presiden. Ia tetap bangga sebagai guru SD.

Bedanya, seorang guru SD tidak akan mengumpat muridnya yang lamban menerima pelajaran. Apalagi sampai berpendapat bahwa murid itu tak pantas sekolah di tempatnya mengajar. Ia tidak akan bersikap congkak dan sok paling pinter. Ia akan menolongnya dengan baik. Itulah tugasnya. Dan ia tahu, setiap murid berbeda kemampuannya. Siapa tahu muridnya itu nantinya bakal punya posisi jauh di atasnya. Dan tidak dipandang sebagai saingannya dalam mempertahankan posisinya sebagai guru SD. Ia hanya bertugas mengantarkan muridnya agar nantinya punya kehidupan lebih baik. Meski jauh lebih dari dirinya sendiri.*** (HBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun