Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Congkak Tanda Terbatasnya Kemampuan Diri

18 Maret 2014   01:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:49 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin bagi orang lain, kedengaran gampang untuk masalah sepele itu. Tapi tidak bagi saya. Karena saya harus mengingat materi training lainnya. Informasi yang saya terima begitu banyak. Hal-hal kecil begini bisa membuat saya gampang lupa jika tidak segera saya temukan jembatan keledainya.

Maka ketika orang yang mentraining saya itu jengkel, saya bisa mengerti. Menghapal letak kantor saja nggak becus, bagaimana bisa mengingat kerjaannya nanti?

Saya pun dipanggil oleh kepala departemen dan ditanya tentang training yang saya jalani. Apakah saya bisa mengikutinya? Kepala departemen itu pasti menerima laporan dari orang yang mentraining saya. Bahwa saya sulit menerima materi training. Daya dong saya rendah alias telmi atau telat mikirnya.

Maka saya jelaskan, proses cara berpikir saya dalam menerima materi training. Bahwa saya tidak bisa menerima begitu saja instruksi tanpa tahu latar belakangnya. Saya perlu tahu konsep latar belakangnya. Instruksi bisa macam-macam dan beda-beda. Tapi jika saya tahu konsep latar belakangnya, instruksi bagaimanapun beda bentuknya bisa saya mengerti. Dan jika ada yang salah, saya bisa memperbaikinya. Untungnya kepala departemen itu bisa mengerti alasan saya. Sempat juga membuat saya kuatir tidak jadi dikaryakan dalam perusahaan.

Akhirnya saya diterima kerja dan selamat melampaui masa uji coba selama tiga bulan. Saya pun diangkat jadi pegawai tetap perusahaan. Saya buktikan bahwa saya pekerja keras dan tahu dengan apa yang saya lakukan. Semakin lama saya kerja, makin bisa saya pahami konsepnya. Karena paham akan konsepnya, maka prosedur bisa saya rubah tanpa merubah konsepnya itu sendiri. Saya usulkan prosedur baru yang lebih praktis dan efisien pada kepala departemen. Dan usulan saya sering disetujui dan diterapkan di lapangan merubah prosedur yang ada.

Orang yang mentraining saya makin cemburu melihat kedekatan saya dengan kepala departemen. Dan juga prosedur-prosedur usulan saya yang merubah prosedur yang ada dan sudah dilakukan puluhan tahun tanpa ada yang mempertanyakan efektivitas dan efisiennya. Saya pun kemudian mendapat kepercayaan dari kepala departemen untuk menduduki posisi lebih tinggi.

Setelah beberapa tahun kerja di satu departemen, terasa mulai membosankan. Ketika saya minta cross training di departemen lain, saya pun diijinkan.

Masalah training itu kembali lagi merisaukan saya. Saya selalu sulit menerima materi training tanpa memahami konsepnya. Di departemen lain, saya sudah siap mental untuk dilecehkan. Demikian juga dengan training-training berikutnya. Saya sudah siap mental.

Ketika beberapa tahun kemudian saya pindah kerja, masalah training tidak lagi merisaukan saya. Karena makin tinggi posisinya, nampaknya orang makin menghargai. Lamban dalam menerima materi training tidak lagi dianggap bodoh. Karena tidak mungkin orang "bodoh" bisa sampai ke posisi yang dilamar. Kira-kira gitu alasan logisnya. Dan biasanya, orang yang mentraining untuk posisi tinggi tahu konsepnya juga. Jadi pertanyaan konseptual bisa dengan gampang saya peroleh. Dan ini mempermudah pemahaman saya. Dan lagi makin tinggi posisi biasanya tidak lagi melibatkan hal-hal yang praktis tapi lebih ke sisi teorinya terutama teori managemen dan kontrol.

Suatu saat tanpa sengaja, saya ketemu orang yang mentraining saya untuk pekerjaan pertama saya dulu. Orang itu ternyata masih bekerja di perusahaan sama dan masih pada posisi sama setelah saya tinggal tahunan. Dalam hati, dulu waktu mentraining saya lagaknya minta ampun. Kayak orang paling pinter sendiri. Tapi nyatanya tak pernah beringsut dari posisinya setelah tahunan. Sementara yang ditraining sudah berada di posisi jauh di atasnya.

Orang itu nampak kikuk sekali di hadapan saya. Ia sudah dengar prestasi saya ketika bekerja di perusahaan sama. Dan juga ketika saya pindah ke departemen lain untuk posisi beda. Kemudian pindah ke perusahaan lain untuk posisi lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun