Jokowi disorot lewat masalah etika karena meninggalkan posisi gubernur. Jokowi juga dikatakan tidak gentleman (sumber) karena tak mau mundur dari gubernur saat mencalonkan jadi capres PDI, Jokowi juga dikritik ingkar janji karena meninggalkan pekerjaannya sebagai gubernur sebelum usia masa jabatannya. "Jakarta Cuma Diberakin" demikian tema seni seorang seniman yang memprotes pencapresan Jokowi (sumber). Bahkan ada yang menggugat Jokowi (sumber). Dan lain-lain pandangan negatif masalah etika.
Sebenarnya kalau dipikir, banyak pemimpin yang etikanya jauh lebih negatif dari Jokowi. Gampangnya saja masalah korupsi. Etika sudah menjadi keranjang sampah. Dan banyak orang memilih diam dan membiarkan berlangsung hingga tahunan. Pekerjaannya pun tak beres. Mana ada janji yang dipenuhi? Tapi tak ada suara yang menagih janji.
Kita menerapkan etika pada orang lain secara berbeda-beda. Ibaratnya, kalau seorang yang jahat, etikanya punya level beda dibanding dengan orang yang tidak jahat. Etika berstandar ganda sudah biasa kita lakukan. Kita merasa kepenak saja melakukannya.
Dan anehnya, banyak celaan atau kritikan terhadap Jokowi muaranya cuma satu yakni, Jokowi mencalonkan diri jadi presiden di pemilu 2014.
Celaan itu sebenarnya lebih banyak menyuarakan rasa ketakutan akan sebuah kehilangan. Celaan itu menyiratkan betapa pentingnya peranan Jokowi bagi Indonesia dan terutama bagi para pencela dan pengkritik di Jakarta. Ibarat orang yang tak minum air segar tahunan, dan tiba-tiba mencicipi setitik air segar. Tentu saja nggak rela bila air segar itu diberikan dan dibagi-bagikan pada orang lain. Sementara dahaga itu belum terpuaskan.
Takut kehilangan itu demikian kuat sehingga orang berbuat semampunya untuk menghindarinya. Nah, di sinilah masalah etika berstandar ganda bertebaran. Beberapa celaan menyiratkan kejujuran akan sebuah rasa takut kehilangan. Namun banyak juga yang menyiratkan rasa ketakutan kehilangan dalam bentuk lain, yakni takut kehilangan kedudukan. Merasa keselamatan posisi atau jabatan yang diincar jadi terancam karena Jokowi ikut masuk dalam medan laga persaingan. Dan mereka merasa tak bakal menang.
Batas keduanya jadi baur. Mana yang benar-benar takut kehilangan pemimpinnya yang penuh perhatian dan mana-mana yang takut kehilangan posisi. Karena produknya nampak sama, yakni berupa celaan dan kritikan. Oleh orang yang punya kepentingan, kebauran itu dipolitisir.
Untuk membedakannya relatif cukup mudah sebenarnya. Kalau yang mengkritik punya kedudukan atau memperjuangkan perolehan kedudukan, pastilah tergolong yang ketakutan kehilangan kedudukannya. Kalau yang mencela tidak punya kedudukan, pastilah tergolong orang yang merasa takut kehilangan pemimpin yang dirasa bisa melindunginya.
Kalau saat ini banyak kalangan nagih janji pada Jokowi dan kenapa tidak pada politisi lain yang dulu juga ngobral janji? Barangkali sikap masyarakat tersebut merupakan imbas balik dari sikap keterbukaan yang dirintis Jokowi-Ahok sendiri. Mereka berani menagih janji secara terbuka dan bahkan lewat jalur hukum karena sosialisasi keterbukaan dan transparansi birokrasi yang dikenalkan oleh Jokowi-Ahok. Jadi semacam buah simalakama bagi Jokowi-Ahok. Tapi dalam hal ini punya arti positif. Buah simalakama yang menunjang kehidupan demokrasi yang lebih sehat di masa depan.
Kadang terasa aneh sekali cara orang dalam mencela Jokowi dengan menyerang aktivitas blusukannya sebagai pencitraan. Cara pandang kita memang sudah terbiasa melihat orang blusukan dengan maksud pencitraan. Maka tidak heran jika susah membedakan mana blusukan pencitraan dan mana yang bukan. Terbaca jelas sekali bahwa karakter Jokowi amat beda dengan politikus yang kita kenal selama ini. Terlepas apakah itu pencitraan atau bukan, dalam waktu singkat banyak daerah di DKI Jakarta sudah jelas-jelas terbenahi. Tidak mungkinlah kalau cuma pencitraan bisa menciptakan prestasi semacam itu.
Masalah di Jakarta amat rumit. Meski Jokowi berada di Jakarta 10 tahun pun belum tentu Jakarta bisa dibenahi. Seiring dengan bertambahnya waktu dalam waktu 10 tahun, penduduk berkembang, mobil bertambah, teknologi makin canggih, pendangkalan sungai terus berlangsung, persaingan hidup makin keras, urbanisasi tentunya juga meningkat dan lain-lain faktor. Maka janji pun tinggal janji. Kenyataan pahit yang harus diterima.