[caption id="attachment_316533" align="alignnone" width="614" caption="Caleg ritual di kali tempuran. Sumber foto: https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc1/t1.0-9/1780620_555228001265336_1488702456_n.jpg"][/caption]
Masyarakat kita sudah terbiasa dengan cara pikir klenik. Sejak kecil kita sudah kenal cara pikir ini. Bahkan beberapa orang tua kita masih menganut pola asuh yang menguatkan cara pikir klenik dan irasionil.
Kalau makan jangan di depan pintu, tidak baik. Gadis kalau bangunnya kesiangan dimakan betoro kolo dan susah jodoh. Kalau makan nggak dihabiskan, ayamnya mati. Bantal jangan diduduki nanti udunen. Dan lain-lain larangan yang tidak menjelaskan secara logis, masuk akal kenapa hal itu tidak boleh dilakukan.
Cara pikir itu hingga dewasa masih menyisakan jejaknya. Jika ada orang kaya, diisukan punya piaraan mahluk halus. Meski bila dianalisa, sebenarnya hasil kerja keras juga. Jampi-jampi yang diperoleh dari dukun sebenarnya secara psikologis mendorong orang untuk tidak malu bekerja keras dan berusaha. Oleh sang dukun tidak dijelaskan secara masuk akal kenapa perlu puasa, perlu berjalan mengengilingi tempat keramat bahkan hingga tiga kali. Perlu berendam di bak mandi orang lain malam hari. Dan lain-lain syarat dari si dukun.
Cara pikir itu ternyata kini juga terjadi di arena politik. Ketika Jokowi Ahok terpilih untuk duduk di gubernuran tanpa dana besar, masyarakat kita tak bisa menerima dengan akal sehat. Bahkan Jokowi Ahok mendapat sambutan positif dari masyarakat demikian luas. Menjadi media darling. Maka lahirlah klenik-klenik yang tidak rasionil. Misalnya, mereka didanai oleh pengusaha hitam. Didekte penguasa modal dari luar negeri. Disetir oleh penyandang dana. Dan banyak alasan lainnya yang mencoba mencari jawaban atas keadaan yang tidak bisa dicari alasan kepastiannya.
Juga beberapa calon legislatif yang mencoba mengadu nasib di pemilu melakukan hal yang lebih ekstrim lagi. Mereka berendam di kali tempuran yang dipercayai memberi berkah. Ketidak-pastian akan kemenangan di pemilu menggiring mereka untuk lari ke klenik dan pikiran irasionil.
Anehnya, kalangan yang percaya klenik dan mengkritik Jokowi-Ahok itu tidak bisa memberikan alternatif solusi yang dipandang lebih kena. Mereka mengajukan data-data yang bernuansa klenik lewat akun kloning atau tak jelas sumber asal muasalnya. Sikap ini bisa dipahami, karena apa yang diajukan secara klenik itu memang tidak diketahui kepastiannya. Ketidak-pastian itu memang sumber dari pemikiran ala klenik. Awalnya saja sudah klenik kok ditanyai kepastiannya. Kalau tahu kan nggak mungkin berpikiran cara klenik? Itulah kepandaian budaya kita. Menyembunyikan klenik lewat argumentasi-argumentasi yang seolah logis. Tapi pada dasar dan nyawanya tetap saja klenik.
Baiklah, katakan saja apa yang diajukan itu dari sumber terpercaya. Tapi kenapa hanya diarahkan pada Jokowi-Ahok? Kenapa tidak ke capres lainnya? Bisa dipastikan bahwa capres lainnya juga punya pendukung dana yang punya kepentingan strategis, didukung pengusaha hitam yang mencoba melindungi usahanya dan sebagainya. Bahkan secara empiris punya track record jelek. Pelanggaran HAM, perusak lingkungan hidup, koruptor dan lain-lainnya.
Kalau mau fair, seharusnya semua capres digali track recordnya. Siapa saja penyandang dananya? Siapa saja orang yang menaruh kepentingan di dalamnya? Dari mana saja dana didapat? Jika semua caleg digali track recordnya, maka akan memberikan pilihan-pilihan seimbang, rata dan adil sehingga rakyat bisa menilai jauh lebih baik terhadap masing-masing calon.
Monopoli Kepopuleran
Kita semua tentu sudah tahu bahwa banyak penilaian-penilain atau kritik-kritik negatif pada Jokowi Ahok di media sosial. Bahkan beberapa kalangan menuduh bahwa Jokowi Ahok menyebar tim maya atau tim sukses mereka untuk mendongkrak pencitraan Jokowi Ahok. Tim maya itu diisukan dibayar oleh pendukung dana kampanye Jokowi Ahok.
Media mainstream tidak lepas pula dari tuduhan negatif itu. Media mainstream telah disetir untuk mendongkrak popularitas Jokowi Ahok. Bahkan tuduhan melebar pada lembaga survey. Dikatakan bahwa survey mereka adalah survey bayaran yang diarahkan untuk mendongkrak popularitas Jokowi Ahok. Dan banyak lagi tuduhan-tuduhan miring tentang kepopuleran Jokowi Ahok.
Semua tuduhan itu mengarah hanya pada satu hal sama yakni mencoba menjatuhkan popularitas Jokowi Ahok. Mencoba mengerem laju Jokowi untuk jadi presiden.
Meski tuduhan mereka tidak sepenuhnya akurat namun perlu juga didengarkan. Mungkin ada latar belakang kebenarannya dalam tuduhan mereka. Yang perlu digaris-bawahi adalah semangat mereka dalam usahanya menggembosi kepopuleran Jokowi Ahok. Bahkan nampak terkesan revolusioner dan emosionil. Beberapa pengkritik bahkan sering bergerak di bawah tanah dengan menyembunyikan identitas mereka. Jika data yang mereka sertakan untuk menyerang kepopuleran Jokowi Ahok tidak diketahui sumber dan penulisnya, justru berefek bumerang pada mereka. Karena melahirkan kecurigaan-kecurigaan akan keaslian, kebenaran dan tujuan dasarnya.
Mereka seharusnya belajar dari fakta yang ada di lapangan. Jika mereka beranggapan bahwa Jokowi didukung oleh pengusaha hitam, koruptor, pemodal luar negeri dan sebagainya, tapi nyatanya gelindingan bola salju kepopuleran Jokowi Ahok tidak makin mengecil. Semakin dituduh, dikritik, diperkarakan, diancam, direndahkan, perlawanan dari pendukung Jokowi Ahok makin menguat. Jokowi Ahok makin mendapat legitimasi dari masyarakat.
Terlepas apakah Jokowi Ahok selama ini berusaha mendongkrak pencitraannya atau tidak, namun sangat jelas bahwa dukungan rakyat tidak menyurut. Jokowi dengan fenomena blusukannya menuai banyak pujian. Ahok dengan ceplas ceplos dan tranparansinya mengeruk dukungan.
Itulah kekuatan mereka. Dan sepertinya telah menjadi monopoli. Karena tidak ada elit politik lain melakukan hal sama. Monopoli itu makin meruncing manakala setiap blusukan Jokowi mendapat liputan dari media yang disaksikan oleh rakyat banyak. Rakyat merasa terlibat dan terinformasi. Inilah yang menguatkan dukungan buat Jokowi.
Sementara Ahok yang sering tinggal di kantor bersikap sama. Tidak diliput media mainstream namun menciptakan sebuah cara yang cerdas yakni, dengan mengupload kegiatannya di dalam kantor secara terbuka lewat youtube. Rakyat pun terinformasi dengan baik dan tahu bagaimana sosok Ahok itu. Tak kurang populernya dengan Jokowi yang dianggap sebagai media darling. Ahok juga melejit kepopulerannya.
Monopoli itulah kekuatan Jokowi Ahok dalam mendulang kepopuleran. Apakah hal ini tidak disadari oleh lawan politiknya? Apakah mereka tetap ngotot menggunakan strateginya dengan menyerang kepopuleran Jokowi Ahok dengan cara ala klenik?
Tidakkah mereka melihat fakta di lapangan? Tidakkah mereka mengkalkulasi kecenderungan ini? Tidakkah mereka mengevaluasi strategi mereka? Serangan mereka tidak melemahkan kepopuleran Jokowi Ahok, tapi malah sebaliknya. Serangan mereka makin menguatkan monopoli Jokowi Ahok. Makin gencar serangan mereka, makin menguatkan posisi Jokowi Ahok dalam monopoli kepopuleran.
Sedemikian populernya sehingga beberapa kalangan pendukung Jokowi Ahok sudah menganggap Jokowi Ahok bagai dewa tanpa salah? Tentu saja fenomena ini wajar. Lahir akibat keadaan yang diciptakan sendiri secara kondusif dari lawan politik Jokowi Ahok. Menyerang dari sisi salah. Ibaratnya memadamkan api dari sudut salah tanpa melihat arah angin. Kadang lebih parah pakai bahan pemadam salah, sehingga kobarannya malah makin menggila. Dewa api pun makin sulit dipadamkan. Seorang dewa tidak mungkin lagi diserang.
Senjata mereka telah tumpul. Mereka telah buntu pikiran dengan strateginya dan lari ke alam ala klenik? Membabi buta menyorongkan data-data hitam tentang Jokowi Ahok yang tidak jelas bisa ditelusuri kebenarannya? Akun-akun kloningan bertebaran di dunia maya dan ngotot memaparkan kejelekan Jokowi Ahok. Sementara informasi penyeimbang lainnya tidak disodorkan. Makin telaklah kesalahan mereka.
Dalam persaingan, memang tidak semua bisa bersaing dengan fair dan terbuka. Persaingan yang sehat adalah dengan menonjolkan kebaikan masing-masing dan tidak dengan menjelekkan pihak lain agar terlihat diri menonjol. Persaingan model gini banyak kita dapat dalam kehidupan sehari-hari. Dan inilah yang terjadi di kancah perpolitikan kita saat ini. Seolah dengan menjelekkan partai lain, bisa mengangkat image partainya sendiri. Apakah mereka sudah merasa kalah sebelum adu persaingan dengan menonjolkan kebaikan masing-masing? Atau memang tidak ada kebaikan yang ditawarkan? Yang penting adalah kemenangan, dapat posisi dan kelimpahan materi jika menang?
Menuju Kehidupan Politik Santun
Salah satu strategi untuk mengurangi kepopuleran Jokowi Ahok adalah dengan memecah-mecah monopolinya. Monopoli yang tidak dipecah akan menguatkan dukungan. Tidak saja dukungan dari Jokowi Ahok lover, namun juga aliran dana dari pengusaha hitam sebagaimana dituduhkan oleh lawan politik Jokowi. Monopoli yang meruncing ini makin menemukan daya tembusnya. Inilah yang tidak disadari oleh lawan politik Jokowi Ahok. Bahkan mereka tanpa sadar ikut meruncingkan monopoli itu.
Memecahkan monopoli kepopuleran itu dengan cara mengambil sebagian monopoli yang dikuasai Jokowi Ahok. Bisa sedikit, bisa juga banyak. Monopoli Jokowi misalnya dalam hal blusukan, keterpihakan pada rakyat, pengambilan keputusan cepat, perampingan birokrasi, manajemen kontrol dan kerendah-hatiannya. Monopoli Ahok dalam hal kelugasan, terus terang, patriotik, memegang teguh konstitusi, tidak takut berkata benar, lugas, logis, jujur, tidak korup dan sebagainya.
Monopoli mereka bisa digali lebih banyak. Monopoli itulah kekuatan mereka. Monopoli itulah aset mereka sehingga membuat mereka terkenal dan disanjung masyarakat banyak.
Jika pecahan aset Jokowi Ahok bisa diambil dan kemudian disesuaikan dengan agenda partai, maka dengan sendirinya masyarakat akan dihadapkan pada banyak alternatif. Aset yang diambil dari monopoli itu secara perlahan bisa diolah kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan partai secara perlahan. Jika monopoli itu diambil, masyarakat akan menilai lebih seimbang antar partai yang bertarung dan tidak lagi hitam putih. Selama ini masyarakat dihadapkan dua pilihan: baik atau jelek. Dan bukan pilihan: baik, lebih baik dan paling baik. Budaya politik kita sudah terbiasa main kotor dan saling menjatuhkan. Bukan adu kebaikan. Permainannya kasar dan tidak terkesan elegan. Permainan para preman. Main gertak dan ancaman. Jika Jokowi Ahok dianggap baik, maka yang lainnya pasti dianggap jelek.
Politik santun akan tercipta jika semua partai beradu tentang kebaikan. Masalahnya adalah siapkah partai lawan politik Jokowi Ahok memakai pecahan monopoli itu? Siapkah mereka melakukan sebagaimana yang dilakukan Jokowi Ahok? Siapkah mereka menghadapi keterbukaan? Siapkah mereka bekerja keras? Siapkah mereka jujur dan memihak rakyat?
Ternyata strategi yang nampak gampang ini tidak mudah dilakukan. Sementara menjelek-jelekkan Jokowi Ahok hanya akan menambah monopoli kepopuleran mereka. Mindset perlu dirombak kalau mau bertanding dengan seimbang. Bola fenomena Jokowi Ahok sudah terlanjur besar. Memanfaatkan kekuatan mereka dan mencoba memakainya sebagai senjata perlawanan adalah strategi masuk akal. Melawan kecenderungan arus umum hanya akan membuat makin terseret dan tenggelam.*** (HBS)
Mungkin Anda tertarik untuk membaca artikel sejenis:
Etika Itu Relatif dan Berstandar Ganda Buat Jokowi Ahok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H