Masa kampanye sebenarnya waktu amat baik bagi partai politik untuk mendidik masyarakat agar punya kesadaran politik yang santun. Dengan demikian dana kampanye yang menghabiskan milyaran rupiah itu tidak terbuang percuma hanya untuk memenangkan suara dan kursi legislatif.
Kampanye yang dilakukan serentak oleh semua partai politik mengikutkan jutaan masyarakat Indonesia dan menjangkau hingga pelosok desa jarang terjadi di luar masa itu. Sebuah kesempatan baik buat pendidikan politik masyarakat hingga paling bawah. Jika saja semua partai politik bersedia mengendalikan diri demi kemajuan bangsa di masa depan, pendidikan politik tersebut akan berjalan amat efektif. Tidak untuk memenuhi kebutuhan praktis dan sesaat yakni memenangkan pemilu.
Untuk memenangkan pemilu, partai politik cenderung mengambil jalan pintas dan sesaat. Secara serentak tujuan utamanya adalah berusaha memenangkan suara. Jalan apapun akan ditempuh. Kebutuhan singkat tersebut sebenarnya dalam jangka panjang tidak menguntungkan sebuah partai. Tidak ada fungsi kaderisasi dijalankan. Yang penting menarik perhatian masyarakat secara acak dengan harapan mereka memilih partai mereka. Kegiatan kampanye adalah kegiatan sporadis untuk menggaet suara rakyat sebanyak mungkin.
Maka begitu kegiatan kampanye selesai, rakyat kembali menjadi massa mengambang. Dan pada kegiatan kampanye berikutnya target penarikan suara itu berulang. Lebih banyak suara mengambang daripada suara yang telah terkaderisasi. Maka tidak heran jika kampanye partai politik terkesan sporadis tanpa terlihat jelas target audiencenya.
Kecenderungan untuk menggaet suara massa mengambang itu diperlukan usaha kampanye lebih keras dan dana lebih besar tiap tahunnya karena tidak ada antisipasi dalam jangka panjang. Mungkinkah sistem politik kita memang berusaha untuk menciptakan massa mengambang? Masyarakat dibiarkan sebagai massa mengambang sehingga tidak ada kekuatan politik solid yang bisa menciptakan partai politik revolusioner. Karena tujuan pemilu memang sederhana, yakni pesta demokrasi dan memilih anggota legislatif serta presiden. Karena siapapun yang menang, dari partai politik manapun, toh bisa dimusyarahkan. Semua kecipratan bagian. Semua bisa dibolak-balik dan dirubah. Dan hal ini hanya mungkin jika keanggotaan sebuah partai politik tidak punya ikatan solid dengan partainya.
Dikuatirkan jika terjadi penggumpalan solid pengikut partai bisa menciptakan kader-kader militan dan pada akhirnya mengalihkan kegiatan kepartaian mereka untuk perjuangan sebuah ideologi saingan. Dan skenario ini nampak mungkin terjadi. Jika sebuah partai politik menguasai secara mayoritas di legislatif, tentu saja progam-program partai akan lebih mulus untuk diloloskan. Kemungkinan untuk menjadi terlalu kuat bahkan cenderung bisa menjadi partai tunggal yang menguasai perpolitikan negara bisa menjadi kenyataan.
Kaderisasi partai politik memang tidak mudah. Kendala utamanya adalah ketakutan akan resikonya di masa depan. Pengalaman sejarah kita telah menorehkan luka dalam yang hingga saat ini belum sirna dari ingatan. Keterlibatan orang dalam sebuah partai politik bisa membawa resiko tidak ringan. Partai komunis yang pernah menjadi pemain utama dalam kancah politik Indonesia berakhir dengan tragis bagi para pengikutnya. Banyak dari anggota dan simpatisan partai komunis kehilangan nyawa mereka karena dituduh melakukan kegiatan makar.
Hal tersebut terjadi ketika perang dingin antar garis kapitalis Amerika dan komunis Rusia masih terjadi di dunia. Ideologi berdasar Pancasila belum diterima oleh semua partai. Namun ketika saat ini semua partai di Indonesia berdasar ideologi sama, yakni Pancasila sebenarnya resiko bagi sebuah partai untuk memperjuangkan ideologi saingan amat kecil karena bisa terdeteksi lebih dini. Kesadaran masyarakat untuk menerima Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara diperkirakan relatif sudah terbentuk di masyarakat luas. Memang tidak dipungkiri dengan adanya golongan-golongan yang punya aliran politik garis keras. Namun sifatnya masih sporadis dan diperlukan political will dari pemerintah untuk mengantisipasi dan mengeliminirnya. Untuk itulah peran militer sebagai pihak yang harus berada di luar partai amat penting.
Tapi nampaknya ketakutan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan politik itu sengaja diciptakan oleh hampir semua partai politik. Dalam kampanye mereka bersaing untuk saling menjatuhkan lawan politiknya dengan pamer kekuatan. Siapa yang kuat seolah yang benar. Seolah partai yang direstui negara. Dan partai lainnya adalah partai yang dimusuhi negara dan berkonotasi sebagai partai terlarang. Secara tidak langsung terjadi usaha-usaha menciptakan ketakutan pada masyarakat. Untuk sesaat masyarakat dipecah-pecah. Dan celakanya masyarakat yang minim kesadaran politik ini ikut arus saja. Bentrokan antar pendukung partai politik pun bisa terjadi hingga terjadi adu fisik. Inilah yang tidak mendidik masyarakat untuk punya kesadaran politik yang baik di masa datang.
Jika kegiatan kampanye partai politik diarahkan sebagai kesempatan untuk proses kaderisasi, maka kegiatan kampanye bisa dijalankan dengan lebih santun. Ruang-ruang untuk peran serta bagi masyarakat luas dalam berpolitik dibuka lebar. Diskusi-diskusi politik dibuka bersama untuk membicarakan kemungkinan berpartisipasi dalam politik. Pembentukan kantor-kantor perwakilan dan penerimaan anggota diluncurkan bersama. Program-program partai dijabarkan.
Kampanye lebih menitik beratkan pada segi kualitas. Meski dalam jangka pendek nampak tidak relevan dalam menggaet suara, namun dalam jangka panjang proses kaderisasi berjalan dan diharapkan dalam masa mendatang untuk menggaet suara akan jauh lebih mudah. Kampanye tidak perlu lagi dilakukan dengan pamer kekuatan namun cukup lewat komando terpusat dari partai lewat selebaran, surat keputusan dan terpaan media massa. Kegiatan kampanye lebih terarah, terlokasir dan lebih efektif.