Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Misi dan Visi Presiden Jokowi: Revolusi Mental Bangsa Indonesia

11 Mei 2014   15:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nenun, kerajinan tenun, bekerja di usia tua

Negativisme dan Pesimisme

Bagaimana mungkin bisa menatap secara positif masa depan jika tak ada kepastian sistemnya? Apakah sistem memberi kesempatan sama rata bagi setiap warga negara yang berhak? Jika sistem yang tercipta saat ini tidak adil, pilih kasih, maka jangan diharap orang akan punya pandangan positif dengan masa depannya. Jika perubahan struktur menyempit bahkan tertutup, jangan harap orang bisa merubah keadaannya.

Rakyat Indonesia sejak jaman Belanda sudah dianggap punya keuletan dalam menjalani hidup. Mereka hidup tanpa campur tangan pemerintahnya secara langsung dalam mengais kehidupan. Pada jaman Soekarno orang bisa hidup dengan uang seringgit? Pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1997, rakyat juga tetap bisa tersenyum menjalani hidup meski pemerintahnya bangkrut. Tidak banyak angka statistik yang mengabarkan jumlah kematian rakyat karena kelaparan. Rakyat bagaimanapun keadaan ekonomi negara, mereka tetap bisa makan. Karena keuletan dan cara pandang tentang hidup yang positif dalam menatap masa depan?

Bagaimana mungkin masyarakat Indonesia dikatakan punya mentalitas kurang positif jika daya juang hidup mereka melebihi kemampuan negara untuk mengatasinya? Atau kalau menurut Jokowi mentalitas negatif dan pesimis. Jika kita mau lebih terbuka, berapa angka tingkat pengangguran di Indonesia? Coba tengok sekeliling orang-orang sekitar Anda di kampung. Berapa generasi muda yang tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi dan susah mendapatkan pekerjaan? Mereka hidup dari pekerjaan serabutan seadaanya dan hidup. Tidak ada gejolak sosial yang meresahkan kalau tidak diprovokasi. Kalau mereka tidak punya mentalitas positif tentunya mereka sudah putus asa dan angka kriminalitas bakal melambung.

Penulis kenal dengan seorang pemuda di kampung penulis. Pemuda tersebut setelah lulus SMA punya kemauan kuat untuk kuliah. Tapi karena terbentur masalah beaya, pemuda tersebut membatalkan mimpinya untuk kuliah dan bekerja seadaanya untuk membantu orangtuanya. Pekerjaan yang dipunyai serabutan. Segala macam dikerjakan. Penghasilannya tidak tetap tiap bulannya. Namun karena berhemat, ia bisa juga membantu orangtuanya dan beli sepeda motor.

Ketika penulis bertanya pada pemuda tersebut tentang rencana masa depannya, pemuda itu nampak kebingungan. Alasan penulis bertanya adalah bagaimana mungkin ia bisa bertahan hidup jika mengandalkan gaji yang tidak tetap dan serabutan itu? Apalagi jika kelak harus membina keluarga sendiri.

Bertanya tentang masa depan pada pemuda yang punya nasib seperti itu, pastilah sedikit banyak menyinggung perasaannya. Pertanyaan tentang masa depan bisa amat menakutkan. Karena memang tidak ada yang bisa diraba. Bisa menyambung hidup dari hari ke hari itu saja sudah disyukurinya.

Ketika disarankan untuk kuliah, ternyata umurnya sudah terlalu tua beberapa tahun dari syarat usia masuk yang dicanangkan. Padahal ia termasuk pemuda cerdas kalau dilihat dari cara ngomong dan pekerjaan yang telah diselesaikannya. Otak cerdasnya itu amat disayangkan karena kemungkinan untuk ikut kuliah lagi benar-benar sudah tertutup baginya. Apa yang bisa ia lakukan adalah kursus-kursus ketrampilan non formal. Perubahan nasib lewat pendidikan formal sudah buntu. Untuk mendapatkan gaji memadai dengan demikian sudah tertutup pula. Syarat pelamar kerja untuk saat ini minim harus lulus D3. Untuk lulusan SMA dicari lulusan yang muda. Faktor umur juga selalu menjadi persyaratan lowongan kerja di Indonesia. Bahkan ada yang mencamtumkan syarat penampilan pelamarnya. Banyak lowongan kerja di Indonesia bersifat diskriminatif. Tidak terbuka secara luas berdasar pengalaman, ketrampilan dan lain-lain yang sifatnya formal dan terukur.

Jika Jokowi hendak merombak mentalitas yang dianggapnya negatif dan pesimis, sepertinya hal paling mendasar yang perlu dibenahi adalah pembenahan semua sistem dalam seluruh aspek kehidupan di Indonesia. Tanpa pembenahan sistem secara jelas, perombakan budaya negatif bakal jalan di tempat. Bahkan bisa mengundang ketidak-puasan sosial secara luas.

Bekerja dengan mental positif dan penuh kebanggaan. (Foto: Herry B Sancoko)

Untuk saat ini sistem pendidikan kita tidak memberi peluang bagi orang-orang yang kelewatan umurnya. Di Australia, sistem pendidikannya lebih terbuka. Perguruan tinggi masih membuka peluang bagi masyarakat berapapun usianya untuk ikut kuliah lewat persyaratan khusus yang disebut adult entry atau mature student. Maka tidak asing bagi kita jika membaca di media massa ada seorang nenek-nenek lulus perguruan tinggi. Atau seorang doktor yang pendidikan dasarnya cuma lulus SD. Perguruan tinggi membuka peluang bagi masyarakat secara setara berdasar kebutuhan, pengalaman, keahlian dan ukuran rasionil lainnya. Jadi umur bukan sebuah halangan untuk masuk perguruan tinggi. Sehingga perubahan nasib lebih memungkinkan bagi semua orang secara adil dan merata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun