Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dibuka Lowongan Kerja Presiden RI

21 Mei 2014   14:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:17 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jokowi presiden, attitude positif, karakter presiden

Lowongan kerja dibutuhkan tenaga yang punya attitude dan karakter positif.

MENYELEKSI kandidat pekerja untuk lowongan kerja baru bisa amat pelik penuh liku. Pelamarnya bisa lebih dari sepuluh hanya untuk satu posisi kerja yang ditawarkan. Pilihan kandidat pada tahab awal disaring dari resume yang dikirim tentang latar belakang pengalaman kerjanya. Pada tahab ini relatif mudah. Tinggal mencoret pelamar yang tidak mempunyai pengalaman kerja cukup. Alasannya sederhana, tanpa pengalaman cukup akan sulit bisa diharapkan bisa bekerja sesuai standard. Waktu untuk mentraining guna mempersiapkan pekerjaan yang akan dilakukan bisa makan waktu cukup lama. Makin tinggi posisi makin mustahil untuk menerima pelamar dengan minim pengalaman. Makin tinggi posisi, makin diperlukan pengalaman matang.

Tapi kadang kalau terlalu pengalaman, kita juga ragu untuk tidak mencoretnya. Pekerja yang punya pengalaman melebihi dari posisi yang ditawarkan secara teori berpotensial untuk tidak bisa tahan lama. Atau kadang malah mempersulit atasannya karena merasa punya pengalaman lebih. Bahkan pelamar dengan kualifikasi pengalaman lebih biasanya rewel. Mengkritik sana-sini membuat tempat kerja jadi tidak nyaman. Ibaratnya seperti naik kapal. Pekerja baru itu akan menggoyang kapal terlalu keras. Bisa-bisa membuat kapalnya tenggelem. "Don't shake the boat too hard," begitu orang Australia akan memperingatkan jika ada seorang pekerja yang suka bikin ulah.

Maka pilihan terbaik adalah mencari seorang yang punya pengalaman "cukup" dan sesuai dengan posisi pekerjaan yang ditawarkan. Definisi "cukup" itu kadang diterjemahkan secara subyektif. Kadang bisa setahun pengalaman, kadang bisa juga cukup beberapa bulan. Atau bahkan cuma sekedar pernah mengecamnya tanpa ukuran waktu yang pasti. Tergantung posisi yang ditawarkan. Untuk posisi pekerja di garis bawah, pengalaman kerja tidaklah begitu dituntut yang tinggi-tinggi.

Jika kandidat sudah ditentukan, tahab berikutnya adalah wawancara. Banyak teknik dikembangkan dalam melakukan wawancara ini guna menyaring kandidat yang pas. Pengalaman dan penguasaan teknik wawancara amat diperlukan dan penting bagi seorang pewawancara untuk menghindari salah pilih karena adanya kebenaran yang disembunyikan atau dipalsukan dalam resume kandidat yang diwawancarai. Untuk itulah, biasanya dilakukan oleh orang yang kompeten dari departemen human resourse. Dan wawancara biasanya didampingi oleh orang lain. Biasanya kepala departemen yang membuka lowongan kerja agar ia bisa ikut menentukan calon pas karyawan barunya.

Jika kandidat yang melamar punya kualifikasi merata, makin sulitlah untuk memutuskan kandidat-kandidat mana yang cocok sesuai apa yang dibutuhkan perusahaan. Biasanya wawancara akan dilakukan lebih dari sekali untuk memastikan ketepatan penilaian kandidat.

Dalam posisi kritis inilah, kadang penilaian bisa amat subyektif. Karena semua syarat administrasi sudah terpenuhi, maka penilaian berikutnya bisa saja "hanya" berdasar selera pribadi si pewawancara. Penilaian pribadi ini tergantung dari orangnya. Jika pewawancara bisa berpikir rasional, maka ukuran-ukuran penilaian sedikit banyak bisa lebih logis.

Tapi bisa juga pewawancara memutuskan untuk memilih seorang kandidat karena alasan-alasan sederhana. Misalnya karena suka cara berdandannya, suka bentuk fisiknya, suka keramahannya, suka dengan obrolannya, suka cara duduknya, suka kesopanannya, suka karena terkesan ia gampang diatur, suka ketegasannya dan sebagainya. Kadang seorang kandidat gagal mendapatkan posisi hanya karena ia terkesan arogan. Atau sebaliknya terkesan tidak menunjukkan kemauan kerasnya, tidak tegas, tidak bisa memutuskan dengan cepat, lamban cara berpikirnya dan seterusnya. Penilaian lebih mengarah pada kualitas psikologi atau kepribadian kandidat.

Pengetahuan tentang pribadi para kandidat disimpulkan dalam waktu singkat saat wawancara muka ke muka. Tidak mungkin bisa mengenal pribadi para kandidat dalam sekali atau dua kali wawancara saja. Sementara keputusan harus diambil secepatnya.

Karena pendeknya waktu yang diperoleh, bisa mengakibatkan salah kesimpulan jika tidak hati-hati. Kandidat yang nampak kurang tegas, mungkin saja karena cara berpikirnya lebih dalam. Penuh pertimbangan dan hati-hati dalam memutuskan. Orang yang nampak tegas dalam wawancara belum tentu bisa tegas jika dihadapkan pada persoalan nyata di depannya. Karena berbagai aspek perlu dipertimbangkan sebelum melahirkan keputusan yang efektif, adil dan memuaskan banyak pihak. Kalau asal tegas, semua orang hampir pasti bisa melakukannya. Tapi masalahnya adalah, ketegasan yang membabi buta tidak cocok lagi dalam budaya kerja yang demokratis dan egaliter.

Pentingnya Attitude

Setuju sekali dengan kata-kata mutiara ini: "For success, attitude is equally as important as ability." - Walter Scott. Pengalaman kerja atau kualitas formal lainnya sama pentingnya dengan attitude atau sikap mental seseorang. Pengalaman kerja atau kemampuannya bisa saja amat mengesankan, tapi tanpa sikap mental pas, kualitas itu tidak banyak faedahnya. Karena pengalaman kerjanya yang prima, orang bisa gegabah, besar kepala, congkak, main kritik dan seterusnya. Perusahaan akan kesulitan mengatur orang-orang yang tidak punya sikap mental pas. Perusahaan memerlukan karyawan yang bisa bekerja sama dan saling melengkapi untuk mengejar target yang ditentukan perusahaan. Diperlukan karyawan yang bisa bekerja sebagai team. Kualitas formal individu bisa tak ada harganya jika tidak didukung oleh teamnya.

Dalam kehidupan sehari-hari kita pernah mendengar keluhan orang di sekitar kita tentang saudara mereka sendiri jika diserahi sebuah tanggung jawab. Karena tabiat, sikap mental atau karakter dari orang lain itu melebihi saudaranya sendiri. Aliran darah bukan ukuran untuk menyerah-terimakan sebuah tanggung jawab. Hubungan sedarah bisa saja jauh lebih menjengkelkan dibanding dengan hubungan dengan orang lain yang telah membuktikan bahwa ia punya attitude atau sikap yang baik dalam menghadapi sebuah masalah.

"Kadang tetangga atau teman malah lebih baik dari keluarga sendiri," itu kata beberapa orang karena merasa kecewa dengan saudaranya sendiri dalam masalah tertentu dalam keluarga. Pada saat inilah seseorang menilai orang lain berdasar pada hal-hal yang tidak formal. Pendidikan, pengalaman kerja atau ketrampilan menjadi tidak relevan.

Attitude yang benar akan membuka pintu-pintu kesempatan dimana pendidikan tinggi gagal menembusnya. Itu kata pepatah. Kesuksesan lebih banyak disebabkan oleh masalah sederhana ini yakni attitude. Sikap mental positif menentukan cara pandang orang dalam menghadapi problema di depannya. Problem sama akan dihadapi beda dan menghasilkan keputusan beda karena selisih sedikit saja dalam perbedaan attitudenya.

Jika dua orang pelamar punya pengalaman kerja sama dan tingkat pendidikan setara, kita akan cenderung memilih orang yang punya sikap baik. Attitudenya dalam menghadapi persoalan dilakukan secara positif. Karena attitude sifatnya lebih psikologis - menyangkut perasaan, kepercayaan akan sikapnya, prinsip hidup, tingkah laku dan sebagainya, maka tidak bisa dipelajari atau ditiru dengan mudah oleh orang lain. Sebuah pandangan dan sikap hidup yang sudah terinternalisasi dalam kepribadian seseorang.

Pengalaman kerja, pendidikan, ketrampilan kerja dan sebagainya yang bersifat formal bisa dipelajari. Bisa saja butuh waktu untuk menguasainya, tapi setiap orang bisa mempelajari sebuah pengalaman kerja, pendidikan, ketrampilan yang sifatnya formal asal diberi kesempatan dan ada kemauan untuk belajar. Jadi bukan harga mati dan tertutup kemungkinannya bagi seseorang. Lain halnya dengan attitude yang tidak bisa didapat dari bangku sekolah atau pendidikan formal, tapi dari bangku kehidupan. Attitude seseorang relatif stabil dalam jangka panjang. Apalagi jika attitude itu telah teruji dan terbukti di lapangan. Karena untuk menilai attitude seseorang sebenarnya tidak diperlukan waktu lama kalau orangnya jeli dalam melakukan penilaian. Cukup diamati tindakan, sikap, pendapat dan perasaannya selintas saja dalam beberapa masalah sosial terdekat. Seseorang yang punya attitude positif biasanya punya karakter positif pula. Dan cenderung punya integritas cukup baik.

Seorang teman di tempat kerja bilang, "Saya tak keberatan menerima karyawan tanpa pengalaman kerja sekalipun asal dia menunjukkan sikap positif dan ada kemauan untuk belajar. Bahkan saya lebih suka yang jenis begini. Karena saya bisa mentrainingnya sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan. Ibaratnya, karena dia masih berupa tanah liat lunak yang belum berbentuk, saya bisa mencetaknya sesuai dengan budaya perusahaan. Ia bisa menjadi aset positif bagi perusahaan nantinya."*** (HBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun