MELIHAT penampilan Jokowi pada debat pilpres seminggu lalu (15 Juni 2014) rasanya ada yang kurang pas dengan Jokowi. Ia tidak sebagaimana biasanya yang terkesan santai, guyon dan meluber dengan orang-orang yang mengerumuni. Dalam debat itu Jokowi nampak tegang, stres, banyak mikir, kaku dan seperti terasing dengan dirinya sendiri. Lain sekali ketika melihat Jokowi ketika bicara di depan wartawan, di depan masyarakat, di forum diskuksi atau di panggung kampanye. Jokowi nampak jauh berpenampilan natural dan alamiah.
Mungkin karena dia berada di panggung sendirian berhadapan langsung dengan rival politiknya. Atau mungkin ia demikian konsentrasinya memikirkan pertanyaan, jawaban dan penampilannya di depan puluhan orang di studio dan jutaan rakyat Indonesia yang menonton debatnya.
Setting panggung pun nampak lengang. Jarak fisik mimbar kedua capres begitu jauh. Demikian jarak mereka dengan mimbar moderator. Kelengangan itu membuat Jokowi berada di tempat asing. Jokowi sebagai orang lapangan terbiasa di berada kerumunan banyak orang. Di tempat yang lapang itu ia merasa sendirian.
Setting panggung juga terasa aneh. Susah menentukan di mana sebenarnya pegangan anglenya. Di mana kamera secara alamiah mewakili alur mata pemirsa. Moderator membelakangi penonton dan letaknya sejajar dengan kontestan. Membelakangi penonton tak masalah, sebagaimana di acara Indonesian Idol. Tapi letak panggung membedakan titik tekan sudut pandang kamera. Ada kerancuan dalam menentukan angle dari mana mata pemirsa secara alamiah bisa menikmati shoot-shoot yang diambil sehingga terasa ada kedekatan, keterlibatan, personalisasi, nyaman dan mengalir. Singkatnya, mata kamera adalah wakil mata penonton.
Apakah setting panggung membuat kontrol panggung Jokowi melemah? Tidak terasa nyaman? Atau ada hal-hal teknis lain yang membuatnya seperti kaku dalam penampilan? Saya curiga jangan-jangan Jokowi terlalu serius dengan titipan teknis pemenangan debat dari penasehat tim suksesnya dan kurang konsentrasi dengan dirinya sendiri?
Mungkin saja tim sukses Jokowi meniru pola-pola kampanye partai politik di negara barat dan mungkin tidak cocok dengan budaya Indonesia. Kampanye diolah sedemikian rupa dengan melibatkan banyak ahli dan terdiri dari berbagai tim khusus strategi kampanye. Bagaimana mengeksploitasi simbol, logo, penampilan, image, karakter dan lain-lain agar menang kampanye? Kampanye politik didesain sedemikian rupa memakai jasa orang-orang yang dianggap kompeten dalam menciptakan image. Ahli-ahli iklan dan image building digaji tidak sedikit untuk menciptakan image yang disukai masyarakat. Jika Jokowi terjebak dalam masalah teknis ini karena titipan tim suksesnya, maka tidak heran Jokowi nampak begitu tegang, pikiran terpecah dan konsentrasi yang terbagi. Karena settingan itu berlawanan dengan sifat dasar Jokowi yang mengedepankan sikap apa adanya dan punya latar belakang budaya Jawa yang lembah manah dan andap asor. Budaya Indonesia jauh lebih kontemplatif dan pintar dalam mengutak-atik apa-apa yang tersirat daripada yang tersurat.
Be Yourself Pak Jokowi
Kekuatan Jokowi adalah dalam ekspresi kejujuran karakternya. Jokowi juga terkenal selalu berada di lapangan melakukan blusukan. Jokowi adalah pekerja lapangan dan bukan orang yang suka duduk-duduk di kantor. Jokowi juga bukan orang yang tergolong lincah untuk mengolah kata-kata pidato. Kenapa hal-hal yang menjadi keistimewaan dan karakter khas milik Jokowi ini tak ditonjolkan dalam memenangkan simpati rakyat saat berdebat? Dan untuk ini tidak perlu beaya mahal untuk menyewa ahli image building atau tips-tips yang dirumuskan oleh tim penasehat Jokowi. Tapi cukup dengan membiarkan Jokowi untuk menjadi dirinya sendiri.
Dari pengalaman menonton debat pilpres kemarin, rasanya kok ingin sekali menyumbangkan saran buat pak Jokowi. Saran itu menyangkut dalam beberapa point berikut ini:
1. Bahasa kita termasuk bahasa high context
2. Perkuat data sebagai orang lapangan untuk menyajikan fakta
3. Utarakan dengan jelas pertanyaan
4. Jauhkan usaha-usaha mendeskreditkan masalah pribadi
5. Lemparkan ide baru dan orisinil
Sebagaimana kita semua ketahui, bahasa Indonesia dan juga bahasa Jawa adalah termasuk bahasa high context (baca keterangan singkat dalam hal ini di sini). Artinya perlu penggunaan kata-kata lebih banyak untuk menjelaskan pesan atau isi komunikasi yang hendak kita sampaikan. Bahasa kita sering muter-muter untuk menjelaskan masalah yang sebenarnya cukup sederhana. Jika tidak, maka kemungkinan untuk diinterpretasikan lain lebih terbuka. Belum lagi kalau menyertakan unsur emosi pada penerimanya.
Maka sebaiknya dihindarkan penggunaan kata-kata yang perlu penjelasan panjang. Hindarkan pula pesan-pesan yang perlu penafsiran sendiri. Menyindir dengan halus adalah contoh penyampaian pesan terselubung. Gunakan strategi untuk memakai kata-kata direct atau langsung sebagaimana bahasa dalam kontrak atau perjanjian hukum. Ringkas, padat dan jelas. Strategi ini amat bagus untuk melawan jenis komunikasi yang mengarah pada retorika yang memang diarahkan untuk memotivasi atau membangkitkan hati dengan penggunaan kata-kata yang sarat kandungan emosinya. Kata-kata yang terbuka untuk dijelajahi dan diresapi secara subyektif dan personal.
Sebagai orang lapangan, Jokowi lebih kenal dengan data-data lapangan. Penyampaian data-data lapangan ini tidak saja bagus untuk mengeliminir keraguan tapi juga untuk menegaskan fakta dan membuktikan kompetensi diri. Penonton digiring untuk melihat fakta daripada retorika. Kenyataan daripada rencana. Kerja nyata dan bukan sekedar wacana.
Jika bertanya, rumuskan pertanyaan sejelas-jelasnya. Pastikan bahwa orang yang ditanyai mengerti apa yang ditanyakan. Hindarkan pertanyaan yang sloganistis karena akan mengundang jawaban yang sloganistis juga. Hindarkan pertanyaan yang bersifat prerogatif atau pertanyaan yang berandai-andai. Pertanyaan yang mengundang jawaban terbuka dan berandai-andai pula.
Pertanyaan sebaiknya menukik pada masalah sehingga didapat jawaban yang terperinci dan tepat sasaran. Tidak perlu pertanyaan yang berat-berat seolah makin berat makin membuktikan bahwa pikiran kita berbobot. Karena pertanyaan yang berat kadang punya efek bumerang. Seolah kita tak tahu masalah dan tak tahu bagaimana merumuskan pertanyaan. Pertanyaan lebih penting daripada jawaban. Kata pepatah pertanyaan adalah bingkai jawaban. Orang yang bertanya sebenarnya lebih tahu dari yang ditanya. Pertimbangkan juga masalah alokasi waktunya untuk menjawab.
Dan jangan bertanya terlalu sederhana yang berkesan melecehkan intelektual yang ditanya. Karena pertanyaan yang terlalu sederhana juga punya efek bumerang. Pertanyaan Jokowi tentang DAO, DAK dan TPID adalah jenis pertanyaan bermata dua yang bisa diartikan terlalu sederhana. JIka tahu singkatannya, maka pertanyaan bisa diklasifikasikan pertanyaan bagus. Tapi kalau tujuannya untuk menjebak kelemahan lawan lewat singkatan, maka pertanyaan menjadi amat sederhana dan kekanak-kanakan. Ketidak-tahuan atas jawaban bukan berarti kelemahan atau keterbatasan pengetahuan akan masalah. Tentu saja hal ini bukan sasaran dari debat. Debat adalah mencari tahu kebenaran dari masing-masing orang. To seek the truth of the matters. Bukan usaha untuk membungkam lawan lewat kepongahannya. Ini lebih dikenal dalam debat kusir. Yang dicari kemenangan dan bukan kebenaran.
Jokowi terkesan lebih elegan dan intelektual jika saja ia menjelaskan singkatan dan alasan kenapa hal itu ditanyakan. Pastikan pertanyaan yang dilemparkan dimengerti oleh yang ditanya. Ulangi pertanyaan jika memang perlu untuk meyakinkan. Bukankah tujuan bertanya adalah usaha menggali kebenaran? Bila pertanyaannya nggak jelas bagaimana kita memperoleh jawaban yang mengarah pencarian kebenaran? Biarkan yang ditanya menjawab pertanyaan yang sudah jelas. Pertanyaan jelas seharusnya jawabannya juga jelas. Selanjutnya biarkan penonton menilai dari jawaban yang diberikan.
Jauhkan usaha-usaha baik secara langsung atau tak langsung untuk mendiskreditkan masalah pribadi lawan. Tidak berkeluarga, duda, janda, gemuk, kurus, kerempeng dan lain-lain yang mengarah pada pribadi, sterotyping dan labelling. Masalah seperti ini berada di ranah pribadi dan tidak pantas dimunculkan dalam debat publik. Tidak ada nilai positifnya menjatuhkan orang lain karena penilaian ranah pribadi ini. Malah terkesan gosip dan murahan.
Jika Jokowi harus menyatakan ekspresi rasa cintanya pada isterinya, lakukan dengan kesungguhan dan menghargai perasaan orang lain. Duda atau janda bukan syarat kualifikasi untuk menjadi seorang presiden dan sebaiknya tidak dipandang sebagai sebuah kekurangan. Masalah kepemimpinan adalah masalah kualitas personal dan bukan yang lainnya.
Debat presiden kali ini menurut saya yang perlu ditekankan adalah masalah keikhlasan lawan ambisi, kejujuran lawan kecurangan, kesungguhan lawan polesan, kebenaran lawan kebohongan dan seterusnya. Itulah isu-isu yang aktual tersebar di masyarakat. Yang perlu dilakukan adalah penekanan nilai-nilai positif tanpa harus menjatuhkan penilaian negatif.
Jika Jokowi ikhlas dan tidak jadi masalah jika ia tak terpilih jadi presiden, maka hal ini perlu diaksentuasikan pula. Jokowi pernah bilang di berbagai kesempatan bahwa ketika ia diangkat jadi walikota adalah faktor kecelakaan. Demikian pula saat menjadi gubernur DKI. Dan juga untuk menjadi capres. Jokowi juga pernah menyatakan bahwa kerjasamanya dengan Ahok bisa lancar karena tidak adanya unsur kepentingan pribadi. Nilai-nilai positif khas Jokowi ini perlu digarap melawan perjuangan kekuasaan melulu demi kedudukan dan uang.
Dalam alam demokrasi dan budaya global, jenis pemerintahan yang diperlukan kini dan masa depan adalah pemerintahan yang melayani masyarakat. Jika Jokowi memang ikhlas sebaiknya tekanan dalam persaingan capres kali ini adalah mengajak pemerintah di bawah pimpinan siapapun untuk melayani masyarakat. Mengajak untuk bersama-sama berbuat positif buat masyarakat. Saingan merebutkan kursi presiden adalah persaingan sama-sama menggali hal positif dengan tawaran program-program unggulan masing-masing dan tidak saling menjatuhkan. Persaingan semacam inilah yang cocok dengan budaya kita.
Barangkali pertanyaan menarik yang perlu diajukan Jokowi pada pihak lawan adalah program pengangkatan kemiskinan masyarakat di luar Jawa. Program dan strategi Jokowi dalam hal toll laut amat bagus untuk dilemparkan dalam ajang debat meski sudah ditanyakan lawan. Berikutnya adalah balik bertanya sehingga penonton bisa membandingkan. Juga program JK untuk menjadikan kawasan luar Jawa sebagai tujuan pariwisata. Bahkan JK pernah bilang bahwa ia tidak keberatan digelari Bapak Komodo ketika kampanye di NTT. Dua isu ini jarang digarap selama ini padahal amat penting dan potensial. Jika Jokowi sudah punya konsep dan strateginya, amat menarik untuk dilemparkan ke arena debat karena keaktualan dan orisionilannya. Jangan lupa untuk berterimakasih pada tim yang telah membantu merumuskan. Jadi tidak terkesan dikangkangi sendiri sebagai ide pribadi.
Selamat berdebat, pak Jokowi. Be yourself.*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H