Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tukang Sate yang Kebablasan

31 Oktober 2014   10:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:04 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_350911" align="alignnone" width="601" caption="Grafiti seks anak-anak. (Ilustrasi oleh penulis)"][/caption]

Dulu waktu kecil saat tinggal di kampung dan masih sekolah di SD, anak-anak kampung sering memacok-macokkan atau menjodoh-jodohkan teman sesekolah. Entah apa maksud dibalik tindakan itu. Yang jelas bukan untuk menjodohkan mereka agar jadi pacar.  Sesuatu bagi kaum dewasa sebagai sesuatu yang lucu. Pada saat kecil tindakan itu lain sekali maknanya.  Bahkan bisa membuat marah si anak.  Merasa dipermalukan.

Waktu kecil, menjodohkan teman dengan teman perempuan lain biasanya untuk mengolok-olok. Bahkan kadang bernada menghina. Termasuk dalam kategori mengolok-olok jika kita melihat seorang teman laki-laki nampak akrab dengan teman wanita lain. Teman laki-laki itu nampak akrab dan sering minjamkan sesuatu pada teman wanita. Kita olok-olok agar mereka malu. Menyatakan suasana emosi secara terbuka pada orang lain bagi budaya kita memang memalukan.  Rasa senang pada lain jenis, apalagi baru taraf sekedar naksir atau nampak lagi naksir sudah bisa membikin jengah atau malu jika diketahui oleh orang lain.  Tentu tambah malu jika diketahui oleh banyak orang.

Kita menghina seorang teman laki-laki dengan memacok-macokkan teman wanita lain yang punya kondite kurang "normal".  Misalnya wanita itu bodoh, jelek, penyakitan, cacat, bau dan sebagainya. Kita pacokkan dengan wanita yang kurang bisa diterima secara sosial di lingkungan pergaulan anak-anak. Teman yang menjadi sasaran olok-olok itu biasanya akan marah sekali.

Memacok-macokkan teman lain bisa dilakukan secara langsung atau dengan cara lain misalnya dengan bernyanyi memelesetkan kata-kata dalam lagu.  Lagu yang populer saat penulis masih kecil adalah begini bunyinya: Mas Bambang karo Mbak Endang mlebu kandang ditepang karo jepang...".  Mlebu kandang artinya masuk kandang, kata-kata yang punya konotasi negatif. Masuk kandang untuk melakukan hubungan seks.

Salah satu jalan lainnya yang cukup populer di kalangan anak-anak waktu itu adalah lewat gambar-gambar grafiti di tembok.  Di tempat-tempat umum yang sering dilalui oleh teman yang menjadi sasaran olokan. Atau tempat di mana teman-teman lain sering berkumpul. Tujuannya agar gambar grafiti tersebut bisa dilihat oleh teman-teman lain biar tambah malu. Tapi kadang juga ditulis atau digambar di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang. Di tembok tempat dimana anak laki-laki biasanya suka kencing di situ.

Jika yang diolok-olok itu melihat gambar di tembok, reaksinya akan langsung.  Menghapus gambar itu dan menuliskan grafiti balasan. Kadang teman yang menjadi sasaran olokan itu tahu siapa yang menggambar atau menulis grafiti di tembok. Kalau tidak tahu, ia akan diam-diam membalas menulis grafiti di tembok sama dan mengolok-olok teman lain yang dicurigai telah mengolok-oloknya.

Dalam gambar, tergambar seorang laki-laki dan seorang perempuan bergandengan tangan.  Di atasnya tertulis nama mereka "Bambang" dan "Endang".  Bagi si "Bambang" meski gambar itu cuma bergandengan tangan, sudah bisa membuatnya marah. Dan si "Bambang" membalas dengan menulis di tembok sama dengan tulisan: "Eko + Dewi Pol 1000X".  Dalam bahasa slank anak-anak di daerah kami, arti "Pol" adalah berhubungan seks. Jadi si "Eko" dan si "Dewi" telah berhubungan seks sebanyak 1000 kali.  Kadang kalau demikian marah angka nol itu bisa ditambah berderet-deret panjangnya.  Jadi, seolah bisa jutaan atau milyaran kali si "Eko" dan si "Dewi" berhubungan seks. Makin banyak angka nol-nya makin marahlah si "Eko".

Tukang Sate

Berbicara seks memang menyenangkan terutama bagi kalangan yang sudah mengalami berhubungan seks.  Kadang tidak peduli bagaimana jenis hubungan seks itu asal masih tergolong "normal" dan tidak vulgar dalam memperbincangkannya.  Tapi banyak juga kalangan yang suka membicarakan seks dan tidak peduli bagaimana jenisnya.  Bahkan ada yang cekikikan dengan cerita seks vulgar.

Budaya saat ini jauh berbeda dibanding dengan budaya saat penulis masih kecil. Bicara seks tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebuah obyek yang tabu untuk diperbincangkan.  Bahkan dianggap omongan kotor.  Karena dianggap omongan kotor maka kadang dipakai untuk mengolok-olok teman kecil lainnya.

Informasi seks saat ini sudah demikian terbuka.  Norma-norma sosial tentang seks mengalami kelonggaran. Apalagi semua orang kini punya akses ke internet dengan telepon pintar mereka.  Bahkan anak SD sekarang sudah dibekali dengan telpon pintar oleh orangtuanya.

Kini gambar seks dan video porno bisa relatif dengan gampang diperoleh. Tidak lagi seperti dulu lagi.  Perbincangan tentang seks dilakukan dengan lebih terbuka. Kasus-kasus kejahatan seks juga mulai terbuka dan tersebar berbagai di media massa melibatkan individu dari berbagai golongan umur, jenis pekerjaan, status sosial dan ekonomi, tingkat pendidikan dan bahkan di tingkat kelembagaan.  Anak-anak juga  beresiko lebih terekspose dengan seks.

Karena kelonggaran informasi masalah seks, norma sosial makin menjadi baur. Banyak kasus kejahatan seksual salah satunya disebabkan karena batas-batas yang baur antara dunia realita dan dunia maya. Sehabis nonton film porno memperkosa.  Sehabis nonton film porno bereksperimen dan membikin film porno sendiri untuk kemudian disebarkan pada lingkungan sosial terdekatnya.

Kasus tukang sate yang terjerat hukum barangkali karena kesadaran norma sosial tentang seks yang makin baur. Bahkan sedemikian baurnya sehingga tanpa sadar dicampurkan pula dalam ranah debat politik dengan ekspresi politik sedemikian vulgar. Pro dan kontra betebaran di media. Tukang sate versus presiden, orang berkuasa versus rakyat cilik, revolusi mental versus penindasan, kediktatoran versus demokrasi, koruptor versus maling ayam, dan seterusnya bisa dideretkan pendapat pro dan kontra itu.

Pendapat paling menonjol adalah presiden versus tukang sate. Pro rakyat cilik versus penindas rakyat cilik.  Beberapa kalangan berharap presiden tidak menghukum si tukang sate.  Undang-undang tentang penghinaan terhadap presiden telah dihapus. Maka tidak ada alasan kuat untuk menghukum si penghina presiden. Presiden seharusnya lebih berkonsentrasi menangani korupsi kelas kakap yang dilakukan oleh elit politik daripada menghukum seorang tukang sate lulusan SMP dan jadi tulang punggung kehidupan keluarga.

Menyebarkan foto porno dan adegan seks seseorang mungkin dianggap biasa bagi kita saat ini.  Keterbukaan informasi lewat internet membuat kita terbiasa dalam masalah ini.  Seks dan pornografi jadi makanan keseharian. Bisa diakses kapan saja kita mau.  Namun tidak demikian halnya dengan nilai sosial yang mengikat kita dalam rasa hormat. Nilai sosial rasa hormat tidak secepat norma sosial dalam masalah seks dalam menyesuaikan diri.  Meski juga mengalami pergeseran. Rasa hormat pada sesama, orang yang kita tuakan, pejabat dan orangtua sedikit banyak mengalami pergeseran namun tidak serevoluisioner norma sosial yang berkaitan dengan seks. Budaya seksual kita lebih permisif dibanding dengan budaya rasa hormat. Perkembangan kedua budaya yang tak seirama ini bisa menyebabkan perbenturan jika tidak disikapi dengan hati-hati. Celakanya, pada saat ini kita lagi kebingungan secara budaya dalam menaruh rasa hormat ini.

Rasa hormat tidak lagi mengacu pada nilai tradisionil, misalnya karena faktor usia atau dituakan, tapi lebih pada penampilan fisik, wajah, attribut ekonomi dan lain-lain yang bersifat praktis dan mengikuti budaya konsumerisme. Polisi menangkap tukang sate itu tidak berdasar pada kritikan pada presiden, tapi masalah foto porno yang disebarkan. Si tukang sate melanggar undang-undang pornografi. Tapi alasan polisi ini tidak begitu saja dengan gampang diterima banyak orang. Toh, gambar porno semerbak bertebaran di internet dan media sosial?  Edit foto juga sudah jamak lumrah terjadi. Bahkan isteri presiden SBY pun pernah dituduh mengedit foto?  Apa bedanya dengan edit foto seksual?  Kepatutan sosial ternyata telah bergeser atau mungkin berada di daerah abu-abu.

Gambar si "Bambang" dan si "Endang" yang "cuma" bergandengan tangan itu sudah bisa membuat marah si "Bambang". Apalagi jika digambarkan keduanya berhubungan seks?  Tidak saja si "Bambang" yang marah besar tapi juga bagi siapapun yang melihatnya.  Kata seks pun ditulis dengan kata "Pol" bahasa slank anak-anak kala itu yang tidak dimengerti oleh orang tua mereka. Bayangkan jika  gambar si "Endang" itu diganti dengan gambar yang mengarah pada wanita yang dihormati oleh si "Bambang"? Misalnya, ibu guru atau ibu kandung si "Bambang" sendiri?  Bayangkan jika foto adegan seks yang disebarkan tukang sate itu diedit dengan wajah kita dan wajah wanita yang kita hormati?  Wajah adik atau kakak perempuan kita atau ibu kita sendiri, misalnya?  Atau wajah ibu RT, Lurah, mbah Juru Kunci? Lalu disebarkan ke khalayak umum yang kenal keluarga kita? Kalau tidak marah, berarti mental kita atau masyarakat sekitar perlu direvolusi.*** (HBS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun