Informasi seks saat ini sudah demikian terbuka. Norma-norma sosial tentang seks mengalami kelonggaran. Apalagi semua orang kini punya akses ke internet dengan telepon pintar mereka. Bahkan anak SD sekarang sudah dibekali dengan telpon pintar oleh orangtuanya.
Kini gambar seks dan video porno bisa relatif dengan gampang diperoleh. Tidak lagi seperti dulu lagi. Perbincangan tentang seks dilakukan dengan lebih terbuka. Kasus-kasus kejahatan seks juga mulai terbuka dan tersebar berbagai di media massa melibatkan individu dari berbagai golongan umur, jenis pekerjaan, status sosial dan ekonomi, tingkat pendidikan dan bahkan di tingkat kelembagaan. Anak-anak juga beresiko lebih terekspose dengan seks.
Karena kelonggaran informasi masalah seks, norma sosial makin menjadi baur. Banyak kasus kejahatan seksual salah satunya disebabkan karena batas-batas yang baur antara dunia realita dan dunia maya. Sehabis nonton film porno memperkosa. Sehabis nonton film porno bereksperimen dan membikin film porno sendiri untuk kemudian disebarkan pada lingkungan sosial terdekatnya.
Kasus tukang sate yang terjerat hukum barangkali karena kesadaran norma sosial tentang seks yang makin baur. Bahkan sedemikian baurnya sehingga tanpa sadar dicampurkan pula dalam ranah debat politik dengan ekspresi politik sedemikian vulgar. Pro dan kontra betebaran di media. Tukang sate versus presiden, orang berkuasa versus rakyat cilik, revolusi mental versus penindasan, kediktatoran versus demokrasi, koruptor versus maling ayam, dan seterusnya bisa dideretkan pendapat pro dan kontra itu.
Pendapat paling menonjol adalah presiden versus tukang sate. Pro rakyat cilik versus penindas rakyat cilik. Beberapa kalangan berharap presiden tidak menghukum si tukang sate. Undang-undang tentang penghinaan terhadap presiden telah dihapus. Maka tidak ada alasan kuat untuk menghukum si penghina presiden. Presiden seharusnya lebih berkonsentrasi menangani korupsi kelas kakap yang dilakukan oleh elit politik daripada menghukum seorang tukang sate lulusan SMP dan jadi tulang punggung kehidupan keluarga.
Menyebarkan foto porno dan adegan seks seseorang mungkin dianggap biasa bagi kita saat ini. Keterbukaan informasi lewat internet membuat kita terbiasa dalam masalah ini. Seks dan pornografi jadi makanan keseharian. Bisa diakses kapan saja kita mau. Namun tidak demikian halnya dengan nilai sosial yang mengikat kita dalam rasa hormat. Nilai sosial rasa hormat tidak secepat norma sosial dalam masalah seks dalam menyesuaikan diri. Meski juga mengalami pergeseran. Rasa hormat pada sesama, orang yang kita tuakan, pejabat dan orangtua sedikit banyak mengalami pergeseran namun tidak serevoluisioner norma sosial yang berkaitan dengan seks. Budaya seksual kita lebih permisif dibanding dengan budaya rasa hormat. Perkembangan kedua budaya yang tak seirama ini bisa menyebabkan perbenturan jika tidak disikapi dengan hati-hati. Celakanya, pada saat ini kita lagi kebingungan secara budaya dalam menaruh rasa hormat ini.
Rasa hormat tidak lagi mengacu pada nilai tradisionil, misalnya karena faktor usia atau dituakan, tapi lebih pada penampilan fisik, wajah, attribut ekonomi dan lain-lain yang bersifat praktis dan mengikuti budaya konsumerisme. Polisi menangkap tukang sate itu tidak berdasar pada kritikan pada presiden, tapi masalah foto porno yang disebarkan. Si tukang sate melanggar undang-undang pornografi. Tapi alasan polisi ini tidak begitu saja dengan gampang diterima banyak orang. Toh, gambar porno semerbak bertebaran di internet dan media sosial? Edit foto juga sudah jamak lumrah terjadi. Bahkan isteri presiden SBY pun pernah dituduh mengedit foto? Apa bedanya dengan edit foto seksual? Kepatutan sosial ternyata telah bergeser atau mungkin berada di daerah abu-abu.
Gambar si "Bambang" dan si "Endang" yang "cuma" bergandengan tangan itu sudah bisa membuat marah si "Bambang". Apalagi jika digambarkan keduanya berhubungan seks? Tidak saja si "Bambang" yang marah besar tapi juga bagi siapapun yang melihatnya. Kata seks pun ditulis dengan kata "Pol" bahasa slank anak-anak kala itu yang tidak dimengerti oleh orang tua mereka. Bayangkan jika gambar si "Endang" itu diganti dengan gambar yang mengarah pada wanita yang dihormati oleh si "Bambang"? Misalnya, ibu guru atau ibu kandung si "Bambang" sendiri? Bayangkan jika foto adegan seks yang disebarkan tukang sate itu diedit dengan wajah kita dan wajah wanita yang kita hormati? Wajah adik atau kakak perempuan kita atau ibu kita sendiri, misalnya? Atau wajah ibu RT, Lurah, mbah Juru Kunci? Lalu disebarkan ke khalayak umum yang kenal keluarga kita? Kalau tidak marah, berarti mental kita atau masyarakat sekitar perlu direvolusi.*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H