Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan di Perpustakaan dan Dongeng tentang Peramal

3 Agustus 2016   09:26 Diperbarui: 3 Agustus 2016   09:49 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin zodiaknya virgo, mungkin juga aries atau malah pisces. Entahlah. Kemungkinannya satu per dua belas. Aku belum menemukan satu pun artikel tentang orang-orang yang bisa menebak zodiak seseorang melalui pengamatan tanpa mengetahui tanggal lahirnya. Tetapi andai pun bisa, entah seseorang yang berada di belahan bumi mana, pastilah menebak zodiak seseorang tidak semudah menebak golongan darah yang dimilikinya meskipun yang ini juga sebenarnya tidak gampang-gampang amat. Sama tidak gampangnya menebak kepribadian orang melalui fitur wajah dan mempercayai hasil tebakannya, karena menurutku membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengamati seseorang lamat-lamat. Pengamatan “dua-detik” itu kok rasanya agak tidak adil.

Dengan banyaknya pengetahuan yang dibagikan secara cuma-cuma di internet, setiap orang bisa menjadi amatir. Meskipun tidak semua orang menganggapnya serius sebagai ilmu tetapi lebih seperti bumbu-bumbu obrolan yang menyenangkan dan lucu. Dan alangkah baiknya jika ia juga menganggapnya demikian.

Entah dua atau tiga tahun yang lalu, aku lupa tepatnya kapan. Aku bahkan tidak mengingatnya lagi jika bukan karena perempuan itu. Ini adalah dongeng tentang tiga tokoh saja. Salah satunya sebut saja sebagai seorang gadis—untuk membedakan istilah dengan perempuan itu—berusia delapan belas tahun, lalu seorang jejaka berusia dua puluh empat tahun dan seorang peramal yang usianya tidak pernah ada yang peduli. Ia tidak pernah menyebut dirinya sebagai amatir. Dan setiap orang yang bertemu dengannya tidak pernah mempedulikan berapa lama ia sudah mempelajari ilmu meramal dan bagaimana caranya.

Suatu hari takdir mempertemukan peramal dengan gadis dan jejaka itu. Mereka bertiga berada dalam komunitas yang sama—yang tentu saja tidak ada hubungannya dengan ramal meramal. Beberapa bulan bersama-sama, singkat cerita. Peramal mengatakan kepada sang gadis bahwa ia dan jejaka itu muncul sebagai pasangan ketika ia mereka-reka masa depan. Sang gadis menepisnya. Peramal itu tetap meyakinkannya bahwa itu akan terjadi.

Karena memikirkan keakraban antara ia dan jejaka saat itu, sang gadis pun tidak bisa menahan senyum yang tiba-tiba terlukis di wajahnya. Tangannya hendak menyentuh dadanya yang bergemuruh tetapi ditahannya. Di depan peramal itu ia menegaskan bahwa ia tidak pernah mempercayai ramalan. Kemudian berlalu meninggalkan peramal yang sempat melihat senyum yang dikembangkan sang gadis dan kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Dan entah dengan alasan apa peramal tidak pernah mengatakan apapun perihal yang dilihatnya sebagai masa depan itu kepada jejaka.

Sepulangnya dari bertemu peramal, malamnya sang gadis tidak bisa tidur. Tiba-tiba saja insomnia yang tidak pernah diidapnya seumur hidup, mendatanginya untuk pertama kali. Ia mencuri-curi lihat gambar jejaka itu dari foto-foto yang diunggah ke dunia maya. Isi kepalanya saat itu sarat dengan serentetan peristiwa yang pernah dilaluinya bersama jejaka. Seketika semua peristiwa yang diingatnya menjadi penuh bunga-bunga. Semua tempat dalam ingatannya berubah menjadi taman. Siang menjadi senja. Panas menjadi hujan rintik-rintik. Semua kata-kata adalah puisi. Embusan angin adalah denting gitar akustik. Pikirannya tidak lebih seperti bioskop pribadinya sendiri. Seperti ketika menonton film yang romantis, adegan-adegan tertentu yang disukainya ia ulang berkali-kali, berpuluh-puluh kali.

Setelah hari itu, di manapun sang gadis berjumpa dengan jejaka, cara menatapnya, cara berbicaranya, bahasa tubuhnya dipermanis seperti es balon yang diberi aspartam. Jejaka itu merasa tenggorokannya kecut. Perlahan tetapi pasti, selangkah demi selangkah ia memberi jarak. Sang gadis nyalinya ciut dan akhirnya kedua-duanya sama-sama menghilang dari kehidupan masing-masing. Dan kabar sampai pula kepada peramal.

Cerita di tutup dengan kisah sang gadis yang patah hati dan peramal yang merasa bersalah karena memberi tahukan sang gadis perihal yang seharusnya tidak ia ceritakan.

Lalu, apa yang terjadi sebenarnya?

Kemungkinan pertama. Peramal itu amatiran. Ia tidak benar-benar bisa mereka-reka masa depan.

Kemungkinan kedua dengan menganggap bahwa peramal itu benar-benar bisa mereka masa depan. Andai peramal tidak memberi tahukan perihal yang dilihatnya itu kepada sang gadis. Karena jejaka sepertinya merasa sang gadis menarik sejak awal—entah dengan hasrat untuk  berhubungan romantis atau tidak. Bisa jadi sang gadis dan jejaka itu benar-benar akan menjadi sepasang. Kemungkinannya satu per dua lebih sedikit. Seperti melempar koin ke udara yang peluang munculnya gambar dimanipulasi dengan cara tertentu agar lebih sering dibandingkan angka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun