“Ah, sial,” kutuknya.
Sementara itu, ia berpikir alangkah baiknya jika makanan di atas meja ini bisa memprotes, mendemo dirinya karena gagal berselera. Menjadi seorang pemakan yang aniaya. Atau kursi dan meja yang bisa mengobrol dengannya. Menanyakan bagaimana pekerjaannya atau apakah ia bahagia. Dari pertanyaan yang remeh, yang sehari-hari, juga pertanyaan yang memerlukan pemikiran yang mendalam. Alangkah baiknya jika...
Pikirannya terus mengawang-awang entah apa jurusannya. Dan ia seperti sengaja tersesat di sana—entah di mana.
“Kami merindukanmu, Ibu.” Bisiknya lirih. Tepat ketika itu bola bening bergulir dari pinggiran mata kirinya dan seolah tak mau kalah satu matanya yang lain juga mengikuti berselang tak sampai sedetik setelahnya.
“Aku merindukanmu.” Bisiknya lagi sambil menenggelamkan wajahnya di atas tumpukan kedua tangannya di atas meja. Tiba-tiba. Gerakannya seperti menghempas, dan karenanya muncul riak-riak kecil air di dalam gelas di atas meja. Tetapi tak sedikitpun itu mencuri perhatiannya.
“Aku merindukanmu.” Bagai bola yang memantul di ruang pikirannya tanpa bisa ia tangkap dan tenangkan, menjadi satu-satunya gema yang meramaikan kepalanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H