Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Orang Hilang

22 April 2016   00:23 Diperbarui: 22 April 2016   00:40 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Orang-orang yang ada bersamamu di dalam foto itu adalah wajah-wajah yang memang seharusnya tak asing bagimu, orang-orang yang pernah berdiri bersisian denganmu. Jemarimu mengetuk-ketuk pinggiran album dan wajahmu terlihat seperti menggali ingatan tentang sebuah nama yang mestinya muncul saat kamu melihat wajah-wajah itu. Dahulu, kamu pasti sering menyebut nama-nama mereka dalam sebuah sapa, dalam sebuah canda, dalam sebuah cerita di suatu masa yang ada sebagai bagian dari sejarah hidupmu.

Jika menganggap kehidupan ini sebagai sebuah drama, kamu dan mereka pernah dipertemukan dalam sebuah babak, berlakon dengan peran masing-masing meskipun dalam drama ini mungkin kamu dan mereka tidak sepakat dengan jenis peran yang kalian mainkan. Tapi aku akan melihat drama ini dengan suatu sudut pandang yaitu kamu sebagai peran utamanya. Saat ini, aku hanya seperti seorang penonton saja yang mengamati lakumu di layar TV, turut penasaran siapakah orang-orang itu, turut larut dalam emosi yang kamu tunjukkan saat tak ada satupun nama yang kamu ingat.

Dan sekali lagi, siapa orang-orang itu? Kamu tahu bahwa dalam sebuah drama selalu ada orang-orang yang punya peran sebagai figuran yang meskipun ada dalam adegan yang sama dengan tokoh utama, mereka kadang tak punya interaksi dengannya atau jika pun ada, baik kedatangan maupun kepergiannya seringnya tak meninggalkan bekas dalam ingatan penonton. Kukatakan padamu bahwa mungkin saja mereka hanyalah tokoh figuran dalam drama kehidupanmu, yang oleh karena itu, kamu hanya mengingatnya sebagai orang-orang yang pernah ada—dalam adegan yang sama, yang nama dan wajahnya hanya tersimpan sebagai file-file yang mengusang, yang tak pernah ada lagi dalam daftar “recent files”mu, yang sebagian datanya mungkin telah rusak dimakan virus-virus waktu, yang saat mengingat mereka—anggaplah file dibuka dan kembali di tutup—hanya menjadi file lama yang sama sebab tak ada penambahan kata, yang hanya menunggu untuk diingat lagi entah kapan.

“Sepertinya tidak seperti itu”, sanggahmu.

Di balik foto itu tertulis tahun 2010, kira-kira 4 tahun yang lalu momen itu diabadikan oleh sebuah kamera. Aku pernah mengatakan padamu untuk mencoba mulai mengingatnya dari sana. Pergilah ke suatu tempat. Seperti duduk di sebuah cafe, pilihlah yang dekat dengan sebuah jendela, pesanlah secangkir teh lihatlah keluar. 

Berharaplah turun hujan karena katanya kita membutuhkan hujan untuk mengembalikan beberapa ingatan. Atau ke sebuah taman, berjalan-jalanlah menghirup segarnya udara di sana, segarkan juga matamu dengan hijaunya pepohonan sekitar, jika memungkinkan ikutlah bermain bersama anak-anak di sana. Aku pernah menemukan sesuatu yang hilang dengan cara-cara semacam itu. Mungkin kamu bisa mencobanya dengan cara yang sama.

“Aku tetap tak bisa mengingatnya”, katamu.

Kutawarkan padamu bagaimana jika kamu menganggap mereka sebagai orang-orang yang hilang. Orang-orang yang meskipun kamu pasang wajahnya pada daftar pencarian orang di kepolisian atau kamu cetak pada berlembar-lembar kertas HVS yang ditempel di tiang-tiang papan reklame, di dinding-dinding pinggir jalan atau pohon-pohon, atau kamu kirim ke surat kabar, majalah juga stasiun TV, tidak akan datang padamu atau meskipun datang dan mengaku sebagai pemilik wajah, bukanlah lagi orang yang sama dengan orang-orang yang di suatu masa pernah bersisian denganmu seperti di foto itu.

Nikmatilah hari yang cerah ini, taman tempatmu berada telah memberikan udara segar untuk kamu hirup. Sebelumnya cafe itu juga telah memberikan segala yang ia mampu untuk membuatmu merasa nyaman. Meskipun pada akhirnya, tak ada yang bisa kamu ingat. Di sebuah kursi taman yang ber cat putih yang bergaya Eropa, tak jauh dari tempat ini ada sebuah air mancur yang airnya mengalir tanpa pernah lelah. Lihatlah juga aku yang saat ini bersisian denganmu. Tahukah kamu bahwa hanya aku yang bisa menjadi seperti air itu yang tak akan pernah merasa lelah memberimu keindahan.

"Jika kamu adalah salah satu dari orang-orang di foto itu, apakah kamu juga hanya akan menganggapku hilang begitu saja?”, tanyamu.

Aku diam.

“Tak ada fotoku di tiang-tiang papan reklame itu, juga di pohon-pohon, tak juga muncul di surat kabar atau TV sebagai orang hilang”, kamu melanjutkan.

“Atau mungkin, aku memang sengaja dibuang?”, kamu bertanya lagi.

“Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun?”

“Aku merasakan sesuatu yang lain terhadap orang-orang di dalam foto ini meskipun tidak tahu apa itu.”

“Mengapa kamu tidak memberi tahuku siapa orang-orang itu?”

“Apakah aku bisa mempercayai cerita-ceritamu tentang aku?”

Didera tanyamu yang menyerbuku deras, aku hanya memelukmu erat-erat. Kamu semestinya melihat langit di belakangmu yang mulai memerah karena matahari pelan-pelan pergi dari adegan ini dan turut membawa serta cahaya yang memberi kehidupan bagi bumi. Dan kamu, sebagai matahari yang memberi cahaya bagi kehidupanku, haruskah turut pergi? Bila kamu kubiarkan pergi dan aku sabar menanti pagi, apakah kamu akan datang lagi esok hari? Di hadapan pungungmu, aku membuka kertas yang hampir lumat di tanganku, salah satu dari sekian yang nyaris kamu lihat. Meski telah basah oleh keringat dan kusut karena ku cengkeram erat-erat. Di sana masih tampak foto seseorang yang wajahnya tak asing. Dia lah seseorang yang sedang menangis dalam pelukanku sekarang. Di bagian paling atas tertuliskan “Orang Hilang”. Kuremat lagi kertas itu sebelum akhirnya ku lemparkan ke arah rerumputan.

“Sayang, kamu tak tahu betapa aku semakin takut kehilanganmu”, bisikku dalam hati.

Aku tak ingin hanya menjadi seorang penonton atau hanya menjadi figuran saja dalam drama kehidupanmu. Setelah hidup berpindah-pindah selama bertahun-tahun, aku kira sudah bisa menghapus masa lalu. Ah, seharusnya aku menyimpan foto itu di tempat yang aman atau ku buang saja waktu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun