“Tak ada fotoku di tiang-tiang papan reklame itu, juga di pohon-pohon, tak juga muncul di surat kabar atau TV sebagai orang hilang”, kamu melanjutkan.
“Atau mungkin, aku memang sengaja dibuang?”, kamu bertanya lagi.
“Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun?”
“Aku merasakan sesuatu yang lain terhadap orang-orang di dalam foto ini meskipun tidak tahu apa itu.”
“Mengapa kamu tidak memberi tahuku siapa orang-orang itu?”
“Apakah aku bisa mempercayai cerita-ceritamu tentang aku?”
Didera tanyamu yang menyerbuku deras, aku hanya memelukmu erat-erat. Kamu semestinya melihat langit di belakangmu yang mulai memerah karena matahari pelan-pelan pergi dari adegan ini dan turut membawa serta cahaya yang memberi kehidupan bagi bumi. Dan kamu, sebagai matahari yang memberi cahaya bagi kehidupanku, haruskah turut pergi? Bila kamu kubiarkan pergi dan aku sabar menanti pagi, apakah kamu akan datang lagi esok hari? Di hadapan pungungmu, aku membuka kertas yang hampir lumat di tanganku, salah satu dari sekian yang nyaris kamu lihat. Meski telah basah oleh keringat dan kusut karena ku cengkeram erat-erat. Di sana masih tampak foto seseorang yang wajahnya tak asing. Dia lah seseorang yang sedang menangis dalam pelukanku sekarang. Di bagian paling atas tertuliskan “Orang Hilang”. Kuremat lagi kertas itu sebelum akhirnya ku lemparkan ke arah rerumputan.
“Sayang, kamu tak tahu betapa aku semakin takut kehilanganmu”, bisikku dalam hati.
Aku tak ingin hanya menjadi seorang penonton atau hanya menjadi figuran saja dalam drama kehidupanmu. Setelah hidup berpindah-pindah selama bertahun-tahun, aku kira sudah bisa menghapus masa lalu. Ah, seharusnya aku menyimpan foto itu di tempat yang aman atau ku buang saja waktu itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H