Sesaat setelah aku berada di dalam bus jurusan Bandung yang berangkat dari Bengkulu empat jam yang lalu, kulihat adik melambaikan tangannya padaku. Aku menatapnya yang semakin lama tak tampak lagi beserta pertokoan dan lain-lainnya yang melatari potret terakhir pertemuan kita. Ah, adik masih begitu muda. Ia baru berusia lima tahun saat pernikahan itu. Dia sangat senang memiliki ibu sebab sejak saat itu lukisan keluarganya lengkap terhitung pula penambahanku sebagai kakak perempuannya di sana. Sementara aku sedang menghabiskan tahun terakhirku di SMA. Umurku tujuh belas tahun. Aku mendapatkan KTP dan SIM pertamaku serta dimulainya tanggung jawab dengan segala keputusan-keputusan yang diambil dalam hidupku. Keputusan untuk menjadi apa, minat dan bakat apa yang akan kukembangkan beberapa tahun ke depan dan keputusan tentang apa yang harus aku hadapi hari ini.
Terbiasa sendiri terkadang membuat seseorang menjadi seorang introvert. Namun, orang tidak akan setuju bila kukatakan demikian terhadapku. Ya, terkadang orang menjadikan keterbukaan sebagai upaya untuk menutupi apa yang sebenarnya tersembunyi di dalam hatinya. Kau adalah teman bicaraku untuk masalah-masalah yang tersembunyi itu. Pertama kali dalam hidupku ada seseorang yang sangat peduli tentang apa yang aku inginkan dan yang sebenarnya aku rasakan. Perhatian semacam itu membuatku terkesan. Sebab tak banyak orang yang bisa melakukannya dengan sepenuh hati. Setelah itu, entah kenapa selalu saja ada yang mengganggu pikiranku, maka aku akan datang padamu. Dan segalanya selesai begitu saja hanya dengan melihatmu. Ajaib.
***
Pernikahanmu dengan ibu beberapa tahun silam mengajarkanku banyak hal tentang cinta. Cintaku kepada ibu yang memaksaku untuk berpura-pura bahagia dihadapannya dan di dalam sebuah figura yang sekarang menggantung di dinding rumah. Cintaku terhadap Pencipta menghindarkanku untuk tidak jatuh di hadapanmu dengan mengatasnamakan cinta yang lain. Cinta kepada seorang kekasih alih-alih cinta kepada seseorang yang menjadi seorang ayah. Dan cintaku terhadap diriku sendiri membuatku membangun dinding-dinding yang membatasi kebersamaan dan menciptakan ruang yang memisahkan kita.
Aku masih mengingatnya. Saat itu aku, kau dan ibu sedang makan malam di sebuah cafe.
“Aku tak menyangka bisa bertemu lagi dengan ibumu setelah masa lalu yang memaksa kami terpisah.”
Kau yang mencoba memulai obrolan pertama kali.
“Kakek dan nenekmu tidak menyetujui hubungan kami.”
“Kami sudah berencana untuk kawin lari, tetapi gagal karena keburu ketahuan.”
“Kau sudah pernah mendengar ibu menceritakannya, bukan?”
“Dia lah orang itu.”