Jika saja ada pertanyaan, kenapa harus berkerja? Yang pasti untuk mencari uang, demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apalagi jika dalam posisi sebagai kepala keluarga yang harus bertanggung jawab untuk mencukupi semua kebutuhan keluarganya.
Tuhan maha adil, rejeki setiap hamba-hambanya sudah di atur sebaik mungkin. Namun walaupun begitu, rejeki tidak bisa datang begitu saja, semua harus ada usahanya untuk mendapatkannya dan usaha untuk mengais rejeki itu adalah dengan cara bekerja.
Begitu juga dengan pak Lamidi, lelaki berusia 50 tahun yang kemarin tak sengaja bertemu di SPBU wilangan Nganjuk. Pak Lamidi adalah seorang pedagang asongan, ia menjual tahu goreng dan kacang rebus yang sudah dikemas didalam plastik dan dijual dengan harga 2 ribu rupiah perbijinya.
Di situlah awal pertemuan saya dengan pak Lamidi. Hati rasanya tak tega, melihat seorang pedagang asongan dengan kondisi fisik yang maaf agak sedikit bedha dengan orang pada umumnya, tinggi tubuh pak Lamidi hanya sekitar setinggi dada orang dewasa.
Saya senang sekali, tahu goreng dagangan Pak Lamidi hari ini terlihat laris manis terjual, terlihat juga beberapa pengemudi kendaraan yang turun untuk membeli dagangannya, untuk dimakan ditempat maupun untuk dimakan di dalam kendaraan selama perjalanan.
Saat ingin mencoba berkenalan dengan Pak Lamidi, saya merasakan hal yang sedikit aneh, raut mukanya seperti ada ketakutan dan kekawatiran, terlebih saat ia tahu kamera handphone saya mulai menjepret ke arahnya. Saya benar-benar tidak tahu dengan apa yang di pikirkan oleh Pak Lamidi.
Namun emosi saya seketika memuncak saat Pak Lamidi bercerita, pernah ada seseroang yang saya sendiri tidak tahu hatinya terbuat dari apa, ingin memanfaatkan kondisi fisik Pak Lamidi untuk mengharap belas kasihan  orang lain dengan cara mengajak untuk mengemis atau meminta minta, di tempat yang tidak mau disebutkan dimana tempatnya. Mungkin hal ini yang membuat Pak Lamidi seperti ketakutan dengan kedatangan saya.
"Riyen niku nate mas, enten tiyang mandap saking mobil etok-etok tumbas dagangan kulo nanging akhir-akhire malah kulo badhe di jak ngemis duko teng pundi, nggih langsung kulo tolak mawon"Â cerita Pak Lamidi kepada saya dengan menggunakan Bahasa Jawa.
Pak Lamidi menceritakan, pernah ada seseorang yang turun dari mobil, kemudian pura-pura membeli dagangannya, namun pada akhirnya membujuknya agar mau diajak menjadi pengemis, beruntung Pak Lamidi langsung menolaknya begitu saja.
Sayangnya tidak banyak waktu bagi saya untuk mengobrol dengan Pak Lamidi, karena saya juga harus harus mengajar waktu, bus yang saya niaki juga sudah selesei mengisi bahan bakar dan sudah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.
Bicara perihal mengemis, bukankah mengemis itu adalah hal yang sangat bagus, Â namun bagus bagi orang yang tak tau hatinya diletakkan di mana. Terlebih jika memanfaatkan kondisi atau kekurangan seseorang untuk mengharap belas kasihan orang lain.
Saya yakin seyakin yakinnya jika tidak semua orang berpandangan seperti itu. Seperti contohnya adalah Pak Lamidi, belum tentu semua orang yang membeli dagangannya dilandasi atas dasar kasihan kepada Pak Lamidi.
Saya juga sangat yakin, jika Pak Lamidi benar-benar berniat mencari rejeki secara halal dengan cara menjual dagangannya, Â bukan dengan cara memanfaatkan kondisi fisiknya agar dikasihani kemudian banyak yang membeli. Bukan.. saya sangat yakin bukan dengan cara itu.
Apa lagi jika hal itu dimanfaatkan untuk mengemis bukannya mendapatkan keuntungan tapi justru membuat seseorang itu menjadi sangat hina. Belum lagi jika harus diamankan oleh petugas karena mengotori keindahan dan citra pada sebuah  kota, justru akan menambah masalah dalam hidup ini.
Mengemis sama halnya dangan menjual harga diri. Mengemis bukanlah solusi, untuk mencari rejeki, apalagi jika hasilnya untuk kebutuhan anak istri, mengemis adalah pekerjaan yang jauh lebih kotor daripada polusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H