Melihat fakta itu, tentu bukan perkara mudah bagi Opa Riedl dan anak asuhnya untuk dapat meredan atau mengatasi ketangguhan mereka (Thaliand). Namun ada yang perlu dipahami, dalam sepak bola itu sejatinya tidak hanya bicara taktik di atas kertas, selalu ada ruang di luar area teknik yang bisa merubah segalanya bagaimana sebuah tim untuk bisa tampil sebagai juara.
Kalau kita kembali ke tahun lalu melihat bagaimana fenomenalnya Leicester city yang sempat memukau dunia dengan apa yang mereka tampilkan pada kompetisi EPL sepakbola Ingris yang terkenal paling ketat di dunia itu.
Mereka memulainya dari peringkat paling buncit di kompetisi sebelumnya. Namun secara perlahan mereka bangkit dan berubah menjadi sebuah tim antah-brantah yang menakutkan dan berhasil  mengalahkan semua pesainya yang justru memiliki sejarah panjang sebagai pemilik trophy juara.
Padahal kalau kita selidiki lebih jauh sesungguhnya keberhasilan mereka (Leicester City) menjadi juara Liga Inggris musim 2015-2016 itu diraihnya bukanlah dengan sistem atau gaya bermain sepak bola indah seperti Barcelona atau Madrid dan tim-tim hebat lainya. Karena hal itu tentu menjadi sesuatu yang mustahil bagi mereka, The Foxes tidak memiliki skuat bertabur bintang seperti klub-klub hebat dunia tersebut..
Justru karena kejelian sang arsitek Claudio Rainieri yang melihat potensi pemainanlah yang menjadi kunci kesuksesan mereka. Fakta bahwa di sepanjang musim Leicester banyak memenangi duel-duel krusial melawan tim elite hanya dengan gaya bermain atau mengandalkan counter attack.
Mereka (Leicester City) membiarkan lawannya menguasai permainan, sembari menunggu waktu yang tepat untuk melakukan serangan balik yang mematikan dari pemain seperti Jamie Vardy, Shinji Okazaki, Danny Drinkwater, Riyad Mahrez, yang awalnya mereka hanya merupakan sekumpulan pemain yang dicap kelas semenjana, namun yang terjadi kemudian mereka menjelma menjadi momok menakutkan bagi tim-tim lawan.
Seperti yang pernah di sampaikan sang menejer Claudio Ranieri kala itu. "Saya sadar tidak mungkin memaksa pemain saya bermain terbuka. Kami bermain bertahan dan mengandalkan serangan balik. Saya punya pemain yang punya kelebihan dari sisi kecepatan. Memaksimalkan potensi terbaik mereka merupakan pilihan yang realistis," ujar Ranieri
Hal seperti itulah sesungguhnya yang dilakukan Opa Riedl dalam membawa timnas sampai menembus partai puncak Piala AFF 2016 ini. Berbagai situasi sulit berhasil mereka lewati ditengah adanya pandangan miring dari para pesaingnya. Hal itu tentu memperlihatkan gambaran bagaimana timnas  Indonesia yang pada awalnya terseok-seok, sempat berada di ujung tanduk. Namun mereka masih dapat bertahan dan malah justru mampu menutup kiprahnya lolos sampai ke babak final.
Sepanjang turnamen Tim Merah-Putih bisa dikatakan tak pernah mendominasi permainan. Namun berkat kejelian Opa Riedl dalam memilih taktik ‘direct football’ dengan mengeksploitasi pemain-pemain cepat seperti Boaz Solossa, Andik  Vermansah, Rizky Rizaldi Pora membuat semuanya berjalan dengan mulus.
Pola permainan seperti ini memang harus diakui tidak indah untuk ditonton. Apa lagi kalau kita (publik sepak bola) masih membayangkan indahnya sepak bola ala Timnas Indonesia U-19 besutan Indra Sjafri yang tampil menjadi jawara Piala AFF U-19 di tahun 2013 silam. Namun faktanya strategi seperti itulah yang meloloskan Timnas sampai ke babak final turnamen piala AFF kali ini.
Harus diakui bahwa Opa Riedl memang berada dalam situasi yang tidak mudah baginya untuk mewujudkan mimpi dari sekian juta pecinta sepakbola yang menginginkan agar timnas tampil sebagai juara. Dan mungkin saja Opa Riedl juga menginginkan hal yang sama sekaligus menjadi kado perpisahan terindah baginya sebelum menyatakan pensiun?