Mohon tunggu...
Hery Syofyan
Hery Syofyan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Banyak baca dapat menambah cakrawala pola pikir kita....suka bola & balap..

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

PSSI Baru Menyadari, Bahwa Legalitas Pemerintah itu Perlu

6 Januari 2016   08:16 Diperbarui: 6 Januari 2016   10:41 7243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto : soccer.sindonews.com

Alhamdulillah, apa yang menjadi harapan seluruh pecinta sepakbola Indonesia diawal tahun 2016 ini sudah mulai tampak adanya titik terang dari langkah penyelesaiaan konflik sepakbola yang memang terlihat semakin tak berujung ini. Seperti yang ramai diberitakan diberbagai media bahwa kini kedua lembaga Kemenpora dan PSSI kelihatanya mulai ada kata sepakat untuk sama-sama membenahi carut marut sepak bola nasional ini.  Menteri Pemuda dan Olah raga (Menpora) Imam Nahrawi akhirnya bersedia mempertimbangkan mencabut sanksi pembekuan terhadap PSSI yang dikeluarkan april 2015 lalu. Dimana kondisi itu membuat PSSI menjadi tak berdaya, terhenti segala aktifitasnya terutama yang berkaitan dengan kompetisi sepakbola nasinal di segala tingkatan.

Semua itu akan dimungkinkan dengan catatan apabila PSSI mau melakukan apa yang diinginkan pemerintah, yang sebetulnya hal itu memang sudah seharusnya dilakukan PSSI sebagai pemegang otoritas tertinggi persepakbolaan di negri ini. Hal ini menjadi penting dan menjadi sorotan Menpora karena banyak hal yang seharusnya dilakukan PSSI tapi pada kenyataanya tidak dilakukan. Seperti pengawasan terhadap klub sepakbola professional antara lain transparansi soal kontrak pemain, dan kasus penungakan gaji yang terus terjadi berulang-ulang dll. Untuk itu Menpora mengingatkan Jika dua persyaratan tersebut dapat diterima PSSI, maka Menpora berjanji akan mencabut SK Pembekuan. Seperti yang disampaikannya "Federasi (PSSI) harus mau bertindak tegas kepada klub, jadi tidak ada masalah atau keluhan lagi dari para pemain," kata Imam kepada wartawan.

Beruntung kali ini apa yang disampaikan Pemerintah itu direspon dengan baik oleh PSSI, tidak seperti yang selama ini terjadi dimana PSSI terlihat lebih cendrung mengajak pemerintah untuk konfrontasi ketimbang mendengar apa maunya pemerintah. PSSI juga seakan alergi terhadap apa yang disampaikan pemerintah karena mereka merasa lebih tahu dan paham tentang sepakbola. Selalu merasa tak bisa disentuh (untouchable) dengan berlindung di balik statutanya padahal status legalitasnya telah diberangus pemerintah dengan dijatuhkannya sanksi pembekuan oleh pemerintah. Fakta dari apa yang dikoarkan selama ini mengatakan bahwa tak butuh pemerintah atau tidak ada urusan dengan kemenpora dan banyak lagi hal lain yang terlihat melecehkan pemerintah. Justru telah membuat PSSI menjadi tak berdaya lumpuh dari segala kegiatanya selain hanya bisa berkoar2 di media.

Tentu pertanyaanya kenapa hal ini baru dilakukan PSSI sekarang? Mengapa tidak dari kemaren-kemaren? kalau saja hal seperti ini dilakukan dari dulu tentu persoalan kisruh sepakbola ini tidak akan berlarut-larut seperti sekarang ini, toh ada pribahasa yang mengatakan apa salahnya “Mengalah Untuk Menang”, yang perlu dilakukan PSSI yang penting target besarnya adalah persepakbolaan kembali pulih tercapai. Tapi Ok…lah itu dulu sekarang PSSI sudah mulai menyadari bahwa Legalitas dimata pemerintah itu menjadi penting dan PSSI mulai bisa menerima apa maunya pemerintah.

Pentingnya Profesionalisme dan Legalitas dimata Pemerintah

Kenapa persoalan profesionalisme tata kelola sepakbola menjadi perhatian dan penting dimata pemerintah dan kenapa pula legalitas keberadaannya menjadi penting bagi PSSI? untuk mengetahui kedua hal diatas mari kita coba melihatnya dari sisi kepentingan sepakbola persepakbolaan nasional.

Seperti yang sudah disampaikan diatas bahwa Menpora sudah bersedia untuk  mempertimbangkan mencabut sanksi pembekuan terhadap PSSI. Adapun poin pentingnya adalah bagaimana sikap klub dan kepengurusan PSSI seharunya dalam menatakelola persepakbolaan yang cendrung terlihat jauh dari sikap profesionalisme ini. Pemerintah sangat tegas menginginkan bahwa hal-hal negatif terkait dengan  persepakbolaan nasional jangan sampai terulang kembali "Apabila sanksi (pembekuan PSSI) dicabut, kontrak pemain harus terbuka," dan Menpora juga menambahkan "Berandai-andai apabila terjadi masalah yang sama seperti sebelumnya, berarti reformasi ini gagal. Kita seakan-akan hanya tambal sulam soal permasalahan sepakbola," kata Imam Nahrawi.

sumber foto : ask.fm

Profesionalisme, Belajar dari apa yang terjadi pada klub sepakbola profesional Italia Parma yang akhirnya dinyatakan bangkrut, Penyebabnya utamanya ternyata kesalahan itu berasal dari pihak manajemen klub itu sendiri. Salah satunya adalah dalam melakukan pembelian pemain baru, sementara gaji pemainnya sendiri berbulan-bulan belum terbayarkan. terkait dengan hal itu federasi sepak bola Italia (FIGC) dinilai abai atas kondisi Parma saat itu.

Padahal sudah sangat jelas di kompetisi Seri-A sepakbola Italia setiap klub wajib membuktikan stabilitas keuangannya sebelum kompetisi dimulai. Pertanyaanya tentu mengapa Parma bisa ikut kompetisi Serie A saat itu? (2014-2015)? Jawabanya jelas ini tentu menjadi kesalahan federasi sepakbola italia (FIGC). seharusnya mereka tak mengabaikan sinyal UEFA. Terkait kondisis Parma tersebut. Akhirnya Konfederasi sepak bola Eropa itu mencabut izin Parma dapat tampil Europa karena masih menunggak gaji dan pajak.

Kejadia di atas ternyata tidak jauh berbeda dan sama buruknya dengan apa yang terjadi pada sepakbola di negri ini. Hal itu dapat diketahui ketika Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) menemukan banyaknya permasalahan yang terjadi di klub peserta liga ISL tahun lalu itu, seperti masalah pajak, keuangan, dan administrasi.

Padahal seharusnya hal itu adalah menjadi tugas dan wewenang dari PT Liga selaku pengelola ISL memverifikasinya sama seperti apa yang dilakukan pengelola liga pro di seluruh dunia. Pertanyaanya mengapa hal seperti itu tidak dilakukan atau sampai terjadi? Jawabannya sudah jelas bahwa PSSI/PT Liga tidak pernah memberlakukan aturan yang sudah mereka buat sendiri itu dengan tegas. seperti mewajibkan klub punya NPWP? aturan main pemegang saham klub dan tata kelola keuangan klub dll, dan kondisi ini diperparah lagi karena klubpun tidak berinisiatif untuk menjadi benar-benar professional.

Terkait dengan apa yang dilakukan BOPI malah mereka beramai-ramai menyalahkan BOPI dan mengecam bahwa tindakan BOPI itu tidak sesuai aturan dan atas kepentingan pihak tertentu atau bersifat politislah dll. Padahal apa yang dilakukan BOPI itu sudah sesuai menurut Pasal 37 ayat 2 dan 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007, dimana disitu dinyatakan bahwa BOPI sebagai Badan Olahraga Profesional Indonesia memang berwenang sebagai kepanjangan tangan pemerintah (Menpora).

Menariknya Fakta yang terjadi saat dilakukan verifikasi oleh BOPI kala itu hampir dari seluruh klub ISL 2015 belum menunjukkan bukti laporan pajak yang merupakan salah satu dari enam syarat verifikasi. Selain itu masih ada juga klub yang belum mempunyai badan usaha atau PT. padahal kalau semua klub sudah berbentuk PT tentu mereka akan punya izin usaha, NPWP beserta laporan pajaknya dll. Contoh kasus Arema Cronus yang sudah malang melintang di liga ISL ternyata  merka baru saja diawal tahun 2016 ini mendirikan PT PT. Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia(PT AABBI). DISINI adapun alasan yang dikemukakannya adalah untuk mempermudah pengelolaan di tengah konflik kepemilikan yang masih terjadi dihadapi hingga saat ini termasuk juga akan menyelesaikan kewajiban pajaknya.

Profesional juga tidak bisa hanya dilihat dari berapa banyak brand di jersey para klub itu, contoh kasus Persib Bandung yang dikatakan klub paling professional di negri ini jersey nya dipenuhi iklan produk, ada satu kasus tahun lalu dimana mereka masih keliru memasang foto ID Card pada pemainnya pada partai playoff Liga Champions Asia yahun lalu. sehingga si pemain dilarang tampi padahal sang pemain Yandi Sofyan adalah pemain andalan dari strategi yang sudah dirancang pelatih. Itulah bukti lain bahwa klub Indonesia masih belum profesional dalam hal mengerjakan yang sepele  saja seperti memasang foto pemain itu saja Persib masih melakukan kesalahan. Akibatnya Yandi Sofyan, batal masuk Starting XI seperti yang disampaikan menejer persib kala itu "Ada masalah teknis yang juga mengganggu ya. Foto pada kartu identitas pemain Yandi ternyata adalah foto Abdul Rahman. Jadi foto Abdul Rahman itu ada dua, di id card Rahman dan id card Yandi. Akhirnya Yandi tidak bisa main," terang Umuh usai laga. 

Belum lagi persoalan nunggak gaji pemain ketika pemain menyampaikan masalah hutang gajinya maka klub akan mengaitkannya dengan performa buruk sipemain. seperti kasus pemain belakang Munhar yang mengungkap masalah piutang gajinya dari bekas klub, Arema, tentu hal itu menjadi kontraproduktif. Utang gaji hal lain, sementara untuk urusan performa tentu soal lain lagi. Dengan demikian akan beda urusannya bila klausul itu memang masuk dan tercantum jelas dalam kontrak antara klub dan pemain.

Terakhir kasus pelatih fisik Surabaya United, Toni Ho dipecat oleh timnya Surabaya United. Dikatakan Manajemen Surabaya United memecat Toni Ho, karena kesal Toni Ho curhat di media belum mendapat upah kerjanya. "Iya benar, saya sudah dipecat sejak dua hari lalu. Manajemen sempat marah karena saya curhat. Tapi saya harus menuntut hak yang harusnya saya dapatkan," (7/12/2015). Dan menambahkan memang dia belum mendapat bayaran dari manajemen Surabaya United sejak Desember 2014. Jika ditotal, gaji yang ditunggak Surabaya United sebesar Rp 230 juta. "Mereka baru bayar Rp 200 juta. Sisanya kata manajemen tidak ada. Tapi saya akan kejar yang Rp 30 juta karena itu hak saya," dia menegaskan.

Memang repot jika profesional hanya sebatas jargon. menunggak gaji akhirnya menjadi hal biasa yang dilakukan klub-klub di Indonesia. Dari pemberitaak terakhir (bulan lalu) juga masih diberitakan bahwa Surabaya United dan Persija Jakarta ternyata masih berhutang gaji pada pemainya dan anehnya keduaklub itu jor joran dalam merekrut pemainnya, mereka bisa belanja pemain dengan harga yang tinggi. Memang harus diakui sebuah kegiatan usaha, utang bukanlah barang haram untuk dilakukan. Tapi tentu lain stratanya kalau untuk utang gaji pemain. Dalam ranah sepakbola profesional, bayaran (gaji) tentu adalah menjadi syarat utama. Dalam Terminologi kata “profesional” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keahlian profesi dan bayaran bagi pelakunya (untuk membedakannya dengan amatir).

Legalitas, dengan adanya kesamaan visi dari kedua pimpinan lembaga Pemerintah dalam hal ini Menpora dan PSSI ini, tentu membuat keberadaan atau status dari PSSI sebagai pemegang otoritas tertinggi sepakbola akan kembali kepada seharusnya atau fungsinyam, dan dengan demikian tentu dapat diharapkan kondisi ini akan menjadi titik terang bagi nasib sepakbola nasional. Harus diakui dan dipahami juga bahwa Keharmonisan Pemerintah dan PSSI tentu sangat dibutuhkan untuk dapat kembali membawa Indonesia ke panggung sepakbola dunia. Karena selama sepakbola itu mati suri, maka dengan sendirinya selama itu pulalah peringkat Indonesia akan terus melorot di kancah persepakbolaan dunia. tanpa adanya eksistensi dari tim nasional bukan tidak mungkin sepakbola hanya akan berkutat pada unsur kedaerahan, bukan lagi menjadai unsur kebangaan sebagai sebuah  bangsa……….selamat menikmati.

Borneo 06 Januari 2015

Salam Olah Raga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun