Mohon tunggu...
Hendy GracianoPuttileihalat
Hendy GracianoPuttileihalat Mohon Tunggu... Lainnya - Rohaniwan

Cogito Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Inkarnasi Kristus sebagai Patron dalam Hidup Berjemaat

15 November 2020   11:33 Diperbarui: 15 November 2020   11:44 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Pendahuluan

Pada hari Rabu, 23 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo membacakan atau mengumumkan daftar menteri dan anggota kabinet Indonesia Maju 2019-2024 di halaman istana Presiden. 

Dalam pembacaan tersebut teradapat sejumlah nama yang terbilang baru dilibatkan dalam dunia politik, seperti Wishnutama (yang diangkat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), Eric Tohir (Menteri BUMN), Nadiem Makarim (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) serta beberapa 'wajah baru' lainnya dalam jajaran kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Pemilihan dan penetapan menteri beserta tugasnya sangat menarik perhatian sehingga tidak heran menimbulkan reaksi pro-kontra. 

Namun yang lebih menarik adalah closing statement Presiden Joko Widodo, yang salah satu pointnya berbunyi: "Tidak ada visi-misi menteri, yang ada hanya visi-misi Presiden." Closing statement ini terdengar menarik karena dari poin tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa patron para menteri dalam bertugas hanya visi-misi Presiden (dan tentu visi-misi Presiden adalah visi-misi rakyat dan untuk kepentingan rakyat), bukan yang lain. Bagaimana dengan gereja? 

Dalam Alkitab, khususnya Perjanjian Baru (dalam tulisan Paulus), rasul Paulus kerap telah lebih dulu menuliskan dan menegaskan hal yang sama meskipun dalam redaksi yang berbeda , yakni "ikutlah teladanku". Teladan yang dimaksud oleh Paulus ialah teladan yang lahir dari pergumulan dan relasinya dengan Allah sehingga dapat disimpulkan bahwa ketika Paulus berkata "ikutlah teladanku", Paulus sedang merujuk kepada teladan Kristus. Teladan Kristus merupakan patron serta cerminan utama dalam hidup berjemaat, hidup bergereja, bahkan hidup bermasyarakat. 

Teladan tersebut terefleksi dari karya penebusan yang dikerjakan Kristus di kayu salib, dengan didahului oleh inkarnasi-Nya ke dunia mengambil rupa seorang hamba. Apa makna inkarnasi Kristus? Bagaimana inkarnasi tersebut dijadikan patron dalam hidup berjemaat? Dan apa implikasinya? (Baca Filipi 2:1-11)

B. Isi

1. Inkarnasi Kristus

a. Humilitas (Kerendahan Hati Kristus - ay. 6-8)

- Transendensi Kristus ( )

Transendensi atau kata dasarnya transenden memiliki arti melampaui, tidak terbatas, dan tidak tergapai. Dalam dunia teologi Kristen istilah ini merujuk kepada pada sesuatu yang mulia, tinggi atau jauh melampaui manusia. Istilah ini sering dipakai untuk Allah sebagai Pribadi yang begitu mulia dan terpisah dari manusia. 

Dalam kaitannya dengan teks ini, khususnya ayat 6, Kristus disebut sebagai Pribadi yang transenden. Transendensi Kristus terefleksi dalam kata (huparcon) dan (morphe). Apa arti kedua kata tersebut dan relasinya dalam penjelasan transendensi Kristus? Kata (huparcon) dalam teks ini (TB: "dalam"; lit.:berada) berbentuk present tense dan dengan demikian menyatakan suatu kondisi yang terus menerus. Kata (morphe) dalam teks ini tidak hanya memiliki makna rupa (bentuk), melainkan dalam pengertian yang lebih luas berbicara tentang esensi atau hakekat dari pribadi yang dijelaskan dalam konteks penggunaan kata tersebut. 

Dalam penggunaan atau pemaknaannya pun, (morphe) tidak pernah dikaitkan dengan keadaan fisik (luar) melainkan lebih menekankan esensi, natur, atau keadaan sebenarnya yang tidak pernah berubah. Jika dilihat dari penggunaan kata (huparcon) dan (morphe) oleh rasul Paulus dalam teks ini, maka dapat disimpulkan bahwa transendensi Kristus berbicara tentang esensi atau hakikat Yesus Kristus sebagai atau adalah Allah tidak pernah berubah bahkan hilang, bahkan dalam masa inkarnasi-Nya. 

Kekekalan hakikat atau natur ilahi Yesus Kristus berkaitan erat dengan sifat hakikat keilahian yang tidak berubah. Transendensi Kristus (dalam hakikat atau natur ilahi-Nya) pun terlihat dan diperlihatkan oleh-Nya selama masa inkarnasi dalam beberapa peristiwa, misalnya: dalam berbagai kesempatan Kristus mengampuni dosa sehingga dianggap menghujat Allah orang-orang Yahudi; Yesus mengklaim kesatuan dengan Bapa sehingga Dia akan dirajam batu; Yesus menyatakan kekekalan keberadaan-Nya dan menyamakan diri sebagai YHWH di Perjanjian Lama (Yoh. 8:58: "before Abraham was, I am). 

Semua penjelasan tadi untuk membantu kita untuk memahami maksud rasul Paulus saat menjelaskan transendensi Kristus melalui kata (huparcon) dan (morphe). Meskipun dalam hakikat atau natur ilahinya Dia kekal, namun frase berikutnya pada ayat 6 mencatat bahwa Dia "tidak menganggap semua itu sebagai milik yang harus dipertahankan"; kalimat ini membawa kita pada bahasan selanjutnya yakni imanensi Kristus (baca ayat 7).

- Imanensi Kristus ( )

Imanensi atau kata dasarnya imanen kerap kali dikaitkan dengan dunia yang terbatas, terjangkau, dan segala hal yang terkait dengan pengalaman hidup manusia. Dalam kaitannya dengan teologi Kristen, Allah yang imanen adalah Allah yang berada di dalam struktur alam semesta serta turut serta mengambil bagian dalam proses-proses kehidupan manusia. 

Dalam kaitannya dengan teks yang kita bahas malam ini, khususnya ayat  7, Paulus tidak hanya ingin menekankan transendensi Kristus melainkan juga ingin menekankan imanensi Kristus (yang tentu sangat berkaitan dengan penekanan humilitas Kristus). Imanensi Kristus dalam ayat ini digambarkan dalam kata (mengosongkan diri), (rupa seorang hamba), dan (sama seperti manusia). 

Kata (mengosongkan diri) menjadi pokok perdebatan penting dalam teologia Kristen khususnya berkaitan dengan inkarnasi Kristus, sehingga tidak heran ada banyak penafsiran yang coba diajukan. 

Donald Guthrie mengelompokkan  tiga kelompok interpretasi tersebut, antara lain: 1) mereka yang menganggap bahwa Yesus benar-benar meninggalkan natur ilahi-Nya sehingga Yesus adalah sepenuhnya manusia; 2) mereka yang menafsirkan bahwa pengosongan diri bermakna penundaan status "setara dengan Allah" yang hanya berlaku selama wujud kemanusiaan sebelum Yesus kembali ke surga; 3) mereka yang menafsirkan sebagai bentuk penghapusan diri (penyangkalan natur ilahi) sebagai kontras dari peninggian diri. Manakah penafsiran yang lebih tepat?

Memang arti secara literal dari kata ialah mengosongkan diri. Namun penggunaan dan penafsiran kata (mengosongkan diri) tidak dapat diterjemahkan sehurufiah itu karena akan menimbulkan kesalahpahaman, oleh sebab itu kita perlu mempertimbangkan kata sebelumnya yakni (yang telah kita bahas -- mereview sejenak poin transendensi) serta kata (rupa seorang hamba), dan (sama seperti manusia). 

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka makna dalam ayat ini bukan Kristus melepaskan natur ilahi-Nya, bukan juga penyangkalan Kristus terhadap natur ilahi-Nya, apalagi benar-benar mengosongkan natur ilahi-Nya sehingga menjadi bukan Allah.

 Namun makna pada ayat ini adalah Kristus membatasi natur ilahi-Nya (atau dalam bahasa rasul Paulus tidak mempertahankan) dan mengenakan natur insani saat Dia hidup di dunia guna menjalankan misi penebusan. Kristus yang tidak terbatas (dalam natur ilahi-Nya) menjadikan Diri-Nya terbatas ketika hidup di dalam dunia yang terbatas. Kristus yang mulia membatasi kemuliaan-Nya sehingga menjadi hina agar dapat memuliakan yang hina. Kristus yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa.

- Kulminasi

Puncak dari inkarnasi Yesus Kristus dalam konteks pembacaan ini, khususnya pada ayat 6-7 ialah ayat 8, yang berbunyi "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." Ayat 8 yang menjadi puncak atau kulminasi dari inkarnasi Kristus jelas merupakan paralelisme dari ayat 6 dan 7. Kristus yang adalah Allah (kekal) membatasi Diri dalam rupa hamba sehingga menjadikan-Nya rendah (terbatas, abadi-fana, hina, dlsb). 

Demikian juga Dia yang setara atau sehakikat dengan Bapa membatasi Diri-Nya sehingga menjadi sama dengan manusia, oleh sebab itu Dia mengalami kematian. Kematian itu harus terjadi di kayu salib, simbol humilitas atau kerendahan hati Kristus yang jelas bertentangan dengan kondisi sosial-politik Greco-Roman. 

Dinamika sosial-politik Greco-Roman sangat dominan dengan honour and shame or reputation. Untuk mencapai honour, orang-orang Greco-Roman akan cenderung melakukan self-promotion (jelaskan tentang keberadaan dewa, pola hidup kaisar, dlsb) ketimbang humility. Ini disebabkan karena humility sama dengan humiliation. 

Humility hanya akan membuat seseorang menjadi inferior, dependen, terhina, dlsb; dan salah satu lambang humiliation adalah salib. Salib melambangkan superioritas dan otoritas kerajaan Greco-Roman bagi para humiliate, sehingga orang yang tersalib adalah orang yang paling hina. Itulah sebabnya, dalam tulisan lain Paulus mengatakan bahwa pemberitaan tentang Kristus yang tersalib merupakan suatu kebodohan bagi orang-orang Yunani. 

Sebaliknya, bagi kita orang percaya salib merupakan puncak dari humilitas (kerendahanhati) Kristus yang terpatri indah dalam inkarnasi-Nya karena melalui salib inilah manusia yang adalah seteru atau musuh Allah didamaikan dan diangkat menjadi anak-anak Allah, dan melalui salib inilah Kristus dimuliakan (dalam konteks inkarnasi).

b. Dignitas - Pemuliaan Diri Kristus (ay. 9-10)

Dampak dari humilitas Kristus yang terpatri dalam karya inkarnasi-Nya, secara khusus kematian-Nya di kayu salib ialah dignitas atau pemuliaan (penghargaan) Kristus oleh Allah Bapa (Tentu pemuliaan yang diterima Kristus dari Bapa harus tetap dilihat dari konteks inkarnasi-Nya, sehingga tidak menimbulkan misinterpretasi bahwa Kristus tidak memiliki kemuliaan sebelum Dia berinkarnasi atau saat inkarnasi). 

Pemuliaan ini mencakup dua aspek, aoristis dan futuris. Pemuliaan pada aspek aoristis tergenapi saat Kristus bangkit dan naik ke sorga (dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa) dan itulah yang membuat kita hingga saat ini memanggil dan meyakini Kristus sebagai Tuhan kita. 

Pemuliaan pada aspek futuris akan tergenapi saat masa parousia (kedatangan Kristus pada kali yang kedua). Dignitas Kristus oleh Allah Bapa sebagai tanda kebesaran dan keagungan-Nya tidak diraih melalui self-promotion atau self-boasting seperti dalam budaya Greco-Roman, melainkan melalui humilitas yang terpatri dalam inkarnasi Kristus. 

Ini terlihat jelas dalam catatan injil sinoptik yang senantiasa mengintroduksir Kristus dalam kesederhanaan (lahir dalam tempat makan domba, lahir dalam lingkungan Galilea -- lingkungan yang tidak dianggap, lahir dalam lingkungan tukang kayu, dlsb.) dan pada pasal terakhir memproklamirkan kemuliaan Kristus. 

Misalnya dalam Injil Matius kita membaca bahwa Yesus menderita dan mati secara terhina lalu setelah kebangkitan-Nya baru Ia mengklaim bahwa segala kuasa baik di sorga maupun di bumi telah diberikan kepada-Nya (Mat. 28:18). Tujuan ultimat dari pemuliaan Kristus pun pada akhirnya kembali untuk kemuliaan Allah Bapa.

c. Glorifitas Allah - Kemuliaan Bapa (ay. 11)

Tujuan ultimat humilitas Kristus yang terlihat dalam karya inkarnasi-Nya pun bukan untuk Diri-Nya sendiri, melainkan kembali untuk kemuliaan Allah Bapa. Sehingga tujuan humilitas itu bukan untuk melayani self-centeredness (keberpusatan pada diri sendiri), melainkan kemuliaan Allah (ay. 11). Pertanyaan pertama dalam Katekismus Westminster: "Apakah tujuan hidup manusia yang tertinggi?" Jawabannya adalah "memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya." Ini adalah mindset Yesus Kristus yang harus dimiliki oleh jemaat di Filipi (dan oleh kita saaat ini).

2. Implikasi Inkarnasi Kristus dalam Hidup Berjemaat (ay. 2-4)

a. Sehati Sepikir (ay. 2-4)

Kata sehati sepikir dalam ayat 2 harus dipahami sebagai seruan untuk bersatu, mengingat problem yang dihadapi jemaat Filipi saat itu adalah perpecahan. Ketika perpecahan terjadi, maka seruan yang dikumandangkan rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Filipi, khususnya pasal 2:2 ialah bersatu dalam kesatuan yang diwujudkan dalam satu kasih, satu jiwa, dan satu tujuan.

 \Ungkapan satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan dalam dunia Greco-Roman untuk berbicara mengenai a deep and stronger friendship and comradeship (kedalaman dan kekuatan persahabatan dan persaudaraan). Maka tidak heran jika pada frase selanjutnya Paulus menekankan realisasi persatuan dalam persahabatan dan persaudaraan jemaat Filipi berupa:

  • Tidak mencari kepentingan diri sendiri (NIV: do nothing out of selfish ambition or vain conceit' (= jangan melakukan apapun yang ditimbulkan oleh ambisi yang egois atau kesombongan yang sia-sia).
  • Rendah hati dan menganggap orang lain lebih penting atau lebih baik dari diri kita sendiri.
  • Tidak hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.

Hal-hal inilah yang harus diperhatikan oleh jemaat Filipi dan oleh kita pada masa ini. Kesatuan ini tentu meneladani kesatuan Bapa dan Kristus (dan Roh Kudus), baik secara ontologis maupun ekonomis (karya penebusan) -- jelaskan kesatuan yang di dalamnya ada relasi saling mengasihi yang terjalin kekal, namun harus berkorban demi mendamaikan manusia berdosa dengan Allah (Yoh. 3:16); sehingga kesatuan dalam persahabatan dan persaudaraan, jemaat harus memusatkan pikiran pada Kristus.

b. Memusatkan Pikiran Pada Kristus (ay. 5)

Paulus menjelaskan maksud "sehati sepikir" di sini dalam ayat 5: "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan (tidak terdapat dalam terjemahan lain) yang terdapat juga dalam Kristus." Kata kerja "berpikir" di sini berarti set your mind on something -- menetapkan pikiran; memfokuskan pikiran; memusatkan pikiran pada sesuatu. 

Artinya Paulus sedang menyatakan bahwa "sehati sepikir" berarti memusatkan pikiran; memfokuskan pikiran; menetapkan pikiran pada pikiran Kristus atau sikap Kristus, sebagaimana yang sudah saya jelaskan sebelumnya.

C. Konklusi

1. Kesatuan dalam persahabatan dan persaudaraan, dalam hidup berjemaat haruslah didasari pada teladan kesatuan Bapa dan Kristus, yang dalam kesatuan-Nya mau berkorban (mengorbankan yang paling berharga) demi mendamaikan manusia berdosa dengan Allah serta mengubah status manusia berdosa dari seteru (musuh Allah) menjadi anak-anak Allah.

2. Dengan menetapkan pikiran kepada pikiran Kristus dalam hidup berjemaat, maka palin tidak ada dua dampak serius yang harus diterima dan diterapkan, yakni:

  • membuang dua hal: a) membuang selfish ambition (ambisi-ambisi yang egois) atau personal agenda yang memimpin kepada personal goal; dan b) membuang segala keangkuhan dan kesombongan karena kesombongan (boasting) membuat orang mengejar personal glory.
  • memperlihatkan dua hal: a) menganggap orang lain lebih utama dari diri sendiri atau mereka mengembangkan sikap respect for one another; b) mendahulukan kepentingan orang lain atau kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan pribadi.

3. Tujuan ultimat (tertinggi) dalam hidup berjemaat dengan segala program pelayanan yang ada ialah for the glory of God alone.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun