Seperti yang dilabelkan, fokus utama dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 adalah kekerasan seksual dan perlindungan terhadap setiap hak yang dimiliki oleh korban. Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dilaksanakan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten, dan jaminan ketidakberulangan.
Dari bagian awal, isi dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini sudah secara eksplisit dan komprehensif menjelaskan mengenai sasaran peraturan ini, bentuk kekerasan seksual, dan juga penanganan yang wajib dilakukan oleh perguruan tinggi. Terkait dengan bagian yang membahas penanganan terhadap laporan kekerasan seksual, ketentuan ini diatur secara jelas dalam pasal 10 hingga 19. Adapun poin-poin yang harus dilaksanakan adalah sebagai berikut:
- Pendampingan
- Perlindungan
- Pengenaan sanksi administratif
- Pemulihan korban
Selain itu, pasal 14 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini juga menjelaskan mengenai sanksi terhadap pelaku. Nadiem menjelaskan, sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku harus berdasarkan pada dampak yang muncul akibat perbuatannya terhadap kondisi korban dan lingkungan kampus, bukan berorientasi pada pelaku. Lalu, peraturan ini juga mewajibkan setiap institusi untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) dan melakukan Pemantauan dan Evaluasi (monev) secara rutin setiap semester sebagai bentuk tindak lanjut dari pembentukan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini.
Apakah aplikatif? Rasanya itu bukanlah hal yang perlu ditanyakan lagi, karena pembentukan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini merupakan langkah konkret pemerintah untuk memberantas kasus kekerasan seksual, terkhusus di perguruan tinggi. Selain itu, setiap poin yang terdapat di dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini sudah dijelaskan dengan sangat lengkap dan jelas sehingga institusi-institusi bisa dengan mudah untuk melaksanakannya.
Beberapa mungkin masih terombang-ambing oleh anggapan bahwa "Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 melegalkan zina". Pemaknaan yang salah ini disebabkan oleh kesalahan persepsi atau sudut pandang karena adanya klausul yang diambil di luar konteks. Menghilangkan frasa "tanpa persetujuan korban" menjadikan aturan tidak berguna serta membuat posisi korban semakin rentan karena tidak ada lagi penegas yang membatasi bahwa dia adalah korban kekerasan seksual.
Pun sudah begitu jelas bahwa, "Fokus Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 adalah pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual. Sehingga definisi dan peraturan yang diatur dalam permen ini khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual. Tidak ada satu pun kata dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinahan. Tajuk di awal Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini adalah 'pencegahan' bukan 'pelegalan', ujar Nizam.
Sebagaimana ditekankan juga oleh Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia, Diah Pitaloka mengatakan, "Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tidak berdiri sendiri karena kita masih ada norma sosial, agama, dan undang-undang lain seperti undang-undang perkawinan, KUHP, dan banyak undang-undang lain yang juga akan terintegrasi dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ," Semenjak April 2022 UU TPKS juga sudah resmi disahkan oleh Ketua DPR, Puan Maharani, dengan harapan mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan melindungi korban kekerasan seksual.
Urgensi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 Ini Begitu Penting
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengatakan, beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti.Â
Dari survei Ditjen Diktiristek pada 2020, tercatat sekitar 77 persen dosen mengaku ada kekerasan seksual di kampus dan 63 persen korban tidak melaporkan kasusnya pada pihak pengelola universitas. Sementara, dikutip dari situs resmi Komnas Perempuan, tercatat sepanjang tahun 2015-2020 Komnas Perempuan menerima 27 persen aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi (Media, 2022).
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah mengatakan, minimnya pengaduan kekerasan seksual di perguruan tinggi menunjukkan bahwa tidak semua kampus mempunyai aturan yang jelas, implementatif dan efektif terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual termasuk pemulihan korban Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengatakan, beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti (Budiman, 2022).