Kembali ke kampus merdeka, apa yang sebenarnya dimaksud dengan Kampus Merdeka? Menurut Mendikbud Ristek terdapat beberapa arti dari kampus merdeka yaitu (Kemdikbud, 2021):
- Otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan swasta (PTS)
- Program reakreditasi otomatis
- Kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja
- Hak belajar selama 3 semester di luar program studi
Permasalahan tersebut dapat kita lihat pula kenyataannya dari kejadian beberapa waktu yang lalu mengenai kekerasan seksual mahasiswi di lingkungan kampus. Sebut saja kasus A, mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kasus L, mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Riau (UNRI).Â
Mereka berdua merupakan korban dari bejatnya dosen sendiri. Kedua kasus ini menjadi pemicu kemunculan kasus kekerasan seksual lain di lingkungan kampus di Indonesia. Kasus-kasus ini membuka mata kita bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja di lingkungan kampus. Tetapi ironisnya, justru pihak kampus dan penegak hukum seolah-olah "menutup mata" terhadap kasus ini, dan seakan-akan tidak berpihak kepada korban.
Pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Dosen FISIP Universitas Riau (UNRI) Syafri Harto, Korban dan Korps Mahasiswa Hubungan Internasional UNRI mengunggah video pengakuan korban dikarenakan telah diadakannya audiensi pada 4 November 2021 namun Rektor bersikap tidak peduli terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi.Â
Kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonis bebas Dosen FISIP Universitas Riau (UNRI) Syafri Harto dengan dalih tak terbukti secara sah melakukan perbuatan cabul terhadap mahasiswinya, LM. Ironisnya, Dia melaporkan balik mahasiswi tersebut ke Polda Riau mengenai pencemaran nama baik dan UU ITE.Â
Bahkan ia mengancam akan menuntut korban Rp 10 miliar (Zuhra, 2022; CNN Indonesia, 2022). Pada kasus kekerasan seksual lainnya yang melibatkan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), pihak universitas memutuskan untuk menyelesaikan masalah secara non-litigasi walaupun pihak korban merasa terdapat kejanggalan didalam penyelesaian kasus tersebut (Franciska, 2022).
Bisa disimpulkan bahwa seringkali korban merasa enggan untuk melapor adalah karena rasa takut akan ancaman/tindakan diskriminasi, ditambah mereka akan diberi label tidak baik, diasingkan, disalahkan oleh masyarakat. Menurut beberapa survei dari lembaga-lembaga tertentu, kasus kekerasan seksual yang terjadi di beberapa daerah ini memiliki motif yang relatif sama diawali karena viral di sosial media hingga mendapat perhatian publik.
Pendapat Ahli Mengenai Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021
Polemik yang muncul dari terbitnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 mengundang perhatian dari berbagai pemangku kepentingan di dunia pendidikan.Â
Akademisi sekaligus pakar hukum dari Universitas Airlangga, Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H, CN, menganalisa dari sudut pandangnya tentang polemik di dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, bahwa suatu lembaga bisa membuat peraturan atas dasar dua hal, yaitu diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau karena menjalankan urusan yang menjadi kewenangannya. Sebelum disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), beliau berpendapat bahwa Kemendikbudristek merupakan penanggung jawab pendidikan tinggi yang berwenang dalam membuat peraturan PPKS secara formal.Â
Dengan adanya pengesahan RUU tersebut menjadi UU, keberadaan dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini bisa semakin diakui dan pengimplementasiannya tidak akan sulit lagi karena sudah ada kaitan hukum yang kuat, jelas, dan lebih tinggi yang mengaturnya.