Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media Sosial: Jendela Dunia Sekaligus Kacamata Kuda

29 Januari 2022   16:38 Diperbarui: 29 Januari 2022   16:43 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: www.dreamstime.com)

Saya pribadi merasa hampa kalau tidak membuka internet dan tentu saja media sosial. Kebutuhan akan informasi membuat jari ini otomatis tahu kemana harus mengeklik setiap pagi.

Tak bisa dipungkiri, teknologi sudah menjadi bagian dari hidup yang tidak bisa dipisahkan. Akses internet seolah menjadi nyawa baru bagi manusia saat ini.

Meskipun memiliki akun di berbagai media sosial arus utama, hanya ada aplikasi Youtube dan  Instagram di ponsel saya.

Hal ini saya pertahankan karena saya menjadi admin unutk beberapa akun, sehingga tidak memungkinkan jika membuka manual melalui peramban. Youtube pun saya pertahankan aplikasinya karena sangat berguna untuk menonton siaran langsung tayangan yang saya minati.

Sementara itu, saya juga masih aktif di Facebook dan Twitter yang akunnya saya buat  sejak 14 tahun lalu. Namun saya memutuskan tidak mengunduh keduanya di ponsel karena intensitasnya tak sesering Instagram. Alhasil saya selalu membuka kedua media sosial itu melalui peramban.

Tiktok adalah media sosial yang tidak saya unduh dan juga tidak saya buka di peramban. Ini karena karakter kemunculannya yang terlampau cepat. Bagi saya, waktu selama satu menit belum bisa membuat efek sebuah informasi lekas menempel di otak.

Media sosial lainnya yang berbasis percakapan seperti WhatsApp, Telegram, dan Discord juga bertengger di ponsel. Keduanya merupakan kebutuhan dasar dimana berbagai koordinasi dijalankan melalui ketiganya. Masing-masing memberikan manfaat pribadi bagi saya yang gemar memisahkan informasi.

Misalnya WhatsApp yang fokus sebagai alat komunikasi untuk kebutuhan pribadi dan pekerjaan. Telegram memungkinkan saya mendapatkan beragam informasi dari fitur Channel tertentu yang saya ikuti. Discord memudahkan berkomunikasi dengan komunitas yang saya geluti.

Sejauh ini media sosial memiliki peranan penting bagi hidup saya. Pertama adalah kemudahan informasi. Berbagai opini yang berseliweran bisa dengan mudah didapatkan. Apalagi algoritma Instagram membuat saya terpapar dengan informasi yang memang saya minati.

Dia tahu apa saja yang saya suka melalui iklan apa yang saya klik, postingan apa yang membuat saya bertahan membaca sampai habis, hingga subjek siapa saja yang biasanya kerap saya cari. Memang terfokus, namun menurut saya hal ini juga sekaligus sangat membatasi. Kita seolah diberikan kacamata kuda dengan hanya menikmati sajian informasi yang seputar itu saja.

Oleh karena itu, saya masih setia membuka Twitter yang dapat menyajikan beragam informasi secara lebih komprehensif.. Apalagi basis minat saya adalah membaca teks, sehingga utas di Twitter lebih memberikan gambaran yang utuh.

Peranan berikutnya adalah peluang kolaboratif. Saya pribadi tertarik dengan isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Media sosial memungkinkan saya bertemu dengan orang-orang yang satu frekuensi dan berkolaborasi membuat sesuatu.

Dengan banyaknya orang yang ikut nimbrung terhadap suatu topik, ragam pandangan pun bermunculan, sehingga turut menghasilkan diskusi bahkan solusi terhadap suatu hal.

Isu-isu yang awalnya tabu dibicarakan, kini justru hadir lebih terbuka dan inklusif, misalnya isu kekerasan seksual, LGBT, atau bahkan seksualitas. Semua orang berhak mengutarakan opininya, sehingga masing-masing bisa saling belajar memahami.

Peranan media sosial berikutnya yang saya rasakan adalah adanya wadah untuk mengungkapkan ketidakadilan dan ketidakbenaran.

Beberapa bulan terakhir, banyak kasus kriminatitas yang bermunculan di media. Para korban atau kerabatnya berani berbicara dan bersuara lantang. Kasus-kasus viral yang sangat serius akhirnya membuat tagar #PercumaLaporPolisi pun merajalela.

Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat mungkin lelah dengan proses pelaporan yang berbelit, rentan disusupi oknum, dan ingin kasusnya diperjuangkan secara adil tanpa harus melalui penyelesaian secara 'kekeluargaan'.

Berbagai peranan positif dari media sosial memang akan selalu sejalan juga dengan hal yang menjadi kontraproduktif, seperti merebaknya hoaks dan menurunkan daya kritis karena terbiasa disuguhi informasi instan.

Namun tentunya ini jadi perhatian kita bersama agar semakin bijak bermedia sosial seperti memiliki etika, mempunyai manajemen waktu yang optimal, dan fokus terhadap tujuan awal membuka media sosial supaya tidak mudah terdistraksi oleh hal lain.

***

Hanifa Paramitha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun