"Saya ingin mengakhiri hidup saya, tetapi saya tidak ingin anak yang saya kandung juga meninggal."
Dengan suara bergetar dan embusan nafas perlahan, Mia Dwi Susilowati bercerita. Perempuan yang bekerja sebagai program manager di sebuah perusahaan teknologi informasi ini mengungkapkan isi hatinya. Sebagai penyintas depresi pasca melahirkan, Mia mengenang kembali momen kehidupan yang dirasakan amat berat dan gelap.
Kehilangan sang suami serta ketidakstabilan hormon saat hamil menciptakan perasaan tak karuan dalam diri Mia. Apalagi saat itu juga berseliweran warta mengenai anak tewas di tangan ibunya sendiri. Berita-berita tersebut hadir dengan sudut pandang yang justru menghakimi sang ibu sebagai pelaku . Hal itu semakin membuat Mila merasa frustasi. Kekalutannya juga ditambah dengan pandangan orang-orang di sekitar yang terasa menyudutkan.
"Bahkan saat itu saya sempat menyatakan bahwa manusia seperti saya tidak layak hidup karena sudah tidak ada keinginan melanjutkan hidup," tuturnya.
Mia berusaha mencari sistem pendukung, namun hal itu terganjal oleh ketakutannya sendiri. Ia tak mau jika kondisi psikis yang dialaminya akan membuat orang lain memisahkan Mia dengan sang anak. Berbulan-bulan berada dalam pusaran kegamangan, Mia pun menyadari bahwa dirinya tidak baik-baik saja. Saat itu ia tahu ada yang salah dan memutuskan mencari pertolongan.
"Saya mencoba menerima kondisi dan mencari profesional untuk sembuh, pulih dan menjalani hidup dengan lebih baik. Saya diam-diam pergi ke psikiater tanpa sepengetahuan keluarga," ungkap Mia.
Menurut Elvine Gunawan, psikiater dan co-founder Ruang Empati, perempuan lebih rentan terkena masalah kesehatan mental. Terlahir dengan dinamika hormonal membuat kaum hawa lebih turbulens, terutama pada masa pubertas dan prenatal.
"Situasi kehidupan yang berubah akan menimbulkan stres dalam diri. Nah proses stres ini kemudian beradaptasi dan menghasilkan perasaan seperti khawatir, cemas, ketidakpastian, kehilangan, hingga depresi," ujar Elvine.
Saat ini sebanyak 48 persen gangguan depresi dialami oleh perempuan. Berdasarkan dari data yang dihimpunnya, Elvine mengatakan hanya 9 persen penderita depresi yang menjalani pengobatan medis. Hal tersebut tak lepas dari beberapa stigma masyarakat yang masih melekat mengenai pengobatan ke psikiater. Seperti tidak menerima kodrat, tidak bersyukur, dan kurang iman.
"Sekarang isu kesehatan mental sedang banyak dibicarakan. Di satu sisi baik sekali karena semakin menyadarkan masyarakat, namun di sisi lain juga membuat stigmanya ikutan naik. Ini menandakan bahwa masih ada kurangnya literasi," sambung Elvine.
Berbicara mengenai kesehatan jiwa tak akan terlepas dari biopsikosial yang memiliki banyak aspek. Menurut Elvine, sebenarnya stres tak selalu menjadi hal yang tidak baik. Ketika berada dalam fase optimum, stres justru diperlukan untuk membuat performa hidup menjadi lebih baik. Namun ketika tingkat stres menjadi terlalu banyak, ini akan menyebabkan burn out yang akan menjadi bom waktu jika didiamkan.
"Terkadang orang hanya disuruh sabar. Nah budaya sabar ini jadi serba salah. Ketika rasa cemas dan depresi ditahan malah akan jadi bom waktu dan tidak baik untuk kesehatan," sambungnya.
Untuk itulah, sangat perlu mengenali gejala stres yang tidak sehat dan peka dengan kondisi sendiri. Jika stres tersebut sampai mengganggu beberapa aspek seperti perawatan diri, pekerjaan, relasi, dan well being, jangan ragu untuk datang ke tenaga profesional dalam mengatasinya. ***
Hanifa ParamithaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H