Siapa ingin kembali belajar di sekolah? Hmm.. mayoritas yang mengacungkan tangan pasti para siswa nih. Apalagi siswa TK dan SD yang lagi  seru-serunya belajar bersosialisasi bareng para teman.
Kalau  siswa SMP dan bahkan SMA sepertinya masih nyaman saja sekolah daring. Apalagi jika fasilitas pendukung sudah mumpuni seperti ketersediaan gawai dan kuota internet yang lancar. Bagi mereka, belajar bisa dimana saja karena yang terpenting adalah bertemu kawan-kawan. Apalagi ketemu si doi.  Ehm!
Medio November 2020 silam santer diberitakan bahwa pembelajaran tatap muka akan diberlakukan pada awal tahun 2021.
Berbagai pro dan kontra turut mengiringi usulan tersebut. Rerata kontra muncul dari orang tua yang merasa riskan dengan adanya potensi kerumunan di sekolah. Namun banyak juga orang tua yang pro kebijakan tersebut karena sudah merasa lelah jadi mentor sang anak belajar di rumah.
Beberapa sekolah sudah siap dengan sarana dan prasarana sesuai protokol kesehatan. Bahkan banyak juga yang mempersiapkannya dengan cara melakukan tes swab  kepada para guru dan staf sekolah.
Namun seperti apa sih pandangan pengamat pendidikan dan pemangku kebijakan tentang pembelajaran tatap muka di masa pandemi COVID 19 sekarang?
Pertengahan September 2020 lalu, saya berbincang bersama Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Dedi Supandi, Ketua FAGI Iwan Hermawan, dan pengamat pendidikan Dan Satriani. Dialog interaktif ini ditayangkan secara langsung melalui program "Forum Publik" jam 16.30-17.30  WIB di TVRI Jawa Barat. Tayangan ulang secara lengkap dapat juga disaksikan di kanal Youtube TVRI Jawa Barat.
Meskipun dalam lingkup Jawa Barat dan  perbincangannya pun sudah lewat, saya pikir pernyataan para narasumber sangat relevan dan mendukung topik tulisan kali  ini. Berikut beberapa petikan wawancaranya.
Sebenarnya seperti apa regulasi mengenai pembelajaran tatap muka di masa pandemi seperti sekarang?
Iwan:
Berdasarkan surat  keputusan dari Kemendikbud, belajar tatap muka boleh diadakan di zona hijau, itu pun dengan izin orang tua. Nah menurut surat edaran dari pemerintah provinsi, sekolah pun harus tetap ada sosialisasi 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Hal ini juga diperkuat oleh surat keputusan bersama empat menteri tentang kesepakatan sekolah yang tak lepas dari bahaya COVID-19.
Beberapa waktu lalu memang sudah mulai kegiatan belajar mengajar tatap muka di beberapa kota/kabupaten. Ternyata muncul klaster baru di daerah zona hijau tersebut. Nah gimana dengan  zona oranye dan kuning di daerah lain?
Kami dari FAGI berpendapat jangan terlalu cepat dilaksanakan. Harus waspada. Semua harus bersabar. Orang tua jangan meributkan kenapa anak di rumah saja dan guru nggak ngajar tapi digaji.
Sebenarnya guru juga capek. Dulu kan tinggal masuk kelas dan mengajar. Sekarang harus secara luring dan daring, membuat modul, sehingga lebih capek. Kerja  pun melebihi jam kerja.
Kita butuh kerjasama dengan orang tua. Jika guru mengajar formal, orang tua secara informal dengan pendidikan moral dan norma. Dulu mungkin orang tua jarang bertemu anak, nah sekaranglah saatnya.
Nilai dari guru adalah pengetahuan, nilai dari orang tua adalah perilaku. Tinggal guru berkomunikasi  dengan orang tua gimana sikap anak. Kurikulum kita sudah jelas disederhanakan, sehingga evaluasi pun akan disesuaikan dari guru.
Tentunya ini adalah keadaan yang dilematis. Satu sisi kasus penyebaran COVID-19 semakin meningkat, namun proses pembelajaran pun harus juga diperhatikan. Bagaimana pandangan  dari pengamat?
Dan:
Program pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini alasannya karena meningkatnya kasus COVID-19. Jadi kalau kembali ke sekolah juga alasannya harus kesehatan. Sementara PJJ ini darurat, sehingga sudah ada jalurnya.
Saya melihatnya karena dalam  pelaksanaan PJJ ini ada masalah, sehingga pemerintah harus kembalikan ke tatap muka. Nah ini bahaya dan gegabah.  Harusnya pemerintah membereskan permasalahan PJJ-nya.
Saya lihat dari beberapa temuan dari komisi perlindungan anak dan dinas pendidikan. Pertama adalah akses jaringan ke bahan ajar. Kedua, tidak banyak guru yang bisa mengajar secara digital. Ketiga, orang tua tak biasa mendampingi anak belajar.
Seharusnya pemerintah menyesesaikan persoalan ini daripada merencanakan belajar tatap muka yang masih mengandung risiko. Saya ragu sekolah mampu merancang protokol kesehatan dengan ketat.
Kantor pemerintahan yang protokol kesehatannya dirancang bagus pun kebobolan juga (banyak pegawai yang terkonfirmasi positif COVID-19). Bagaimaan kita mengawasi ribuan sekolah?
Dedi:
Disdik Jabar sudah melakukan survey dan mendapat sembilan indikator. Di antaranya masukan dari siswa yang berharap tidak banyak beban tugas dan lebih ke hal kontekstual melalui mata pelajaran tematik.
Masukan dari orang tua berharap siswa bisa PJJ secara mandiri. Sejauh ini orang tua  masih harus mengingatkan siswa. Orang tua juga menemukan kesulitas mencerna pelajaran dan sulit berkomunikasi dengan guru.
Dari banyak kasus terkonfirmasi positif COVID-19, anak usia sekolah ada di kisaran lima persen. Setelah dikonfirmasi hal itu bukan dari klaster sekolah, tapi klaster keluarga. Seperti ada yang terpapar karena dari luar kota. Nah ini yang kami khawatirkan mempengaruhi ke klaster sekolah.
Sebenarnya bukan menciptakan klaster baru yaitu klaster sekolah, tapi berharap kita lebih waspada dan mengedepankan keselamatan anak didik.
Mengenai hasil survey yang menginginkan ada pelajaran tematik dan pembelajaran mandiri. Bagaimana tanggapannya?
Iwan:
Tematik  itu yang penting tugasnya kolaborasi. Tidak hanya satu guru satu tugas. Sebenarnya saat normal kan setiap hari juga ada tugas dari pagi sampai sore. Kenapa sekaran merasa berat dengan kondisi belajar yang hanya empat jam per hari?
Di masa pandemi ini, protes bukan dari anak, Â melainkan orang tua. Kami setiap ketemu orang tua selalu ditanya kapan masuk sekolah. Jadi ibarat simalakama. Masuk salah, nggak masuk juga salah.
Surat edaran Kemendikbud bilang guru harus menyederhanakan pembelajaran. Bahkan guru nggak diwajibkan mengajar 24 jam/minggu karena disesuaikan dengan kondisi. Jadi materi disederhanakan, kompetensi dasar dikurangi, dan evaluasi disesuaikan. Ujian sekolah pun disesuaikan.
Dengan penyederhanaan kurikulum ini, jangan lantas anak jadi ikut sederhana karena kan ada kesempatan belajar mandiri. Saya harap orang tua juga  ikutan membimbing. Ikutan berbagi tugas.
Penyesuaian materi jangan sampai membuat anak jadi ikut sederhana juga. Bagaimana pandangan dari pengamat, terutama peran orang tua di rumah?
Dan:
Pandemi ini terjadi di  seluruh dunia. Permasalahannya adalah nggak ada pendampingan kepada orang tua dan anak. Seolah-olah orang tua dibiarkan sendirian. Padahal kita tahu orang tua juga menghadapi persoalan lain.
Bisa bayangkan, anak berbulan-bulan nggak ketemu temennnya. Sementara pendampingan ke orang tua dan anak itu jadi sektor atau isu yg paling banyak nggak digarap.Â
Termasuk mengubah mindset orang tua bahwa sekolah itu tempat untuk belajar, bukan tempat menitipkan anak.
Mesti ada dukungan psikososial. Orang tua juga harus ada peran satgasnya kayak guru BP. Sudah berbulan-bulan orang tua dan anak ada di kondisi terbatas. Sudah saatnya mereka dapat dukungan dan  bantuan.
Di banyak provinsi, jebakannya bukan di sekolah, melainkan klaster rumah yang dibawa ke sekolah. Kita bisa menyusul untuk persoalan mengejar keterbelakangan. Tapi kita nggak bisa menggantikan satu nyawa yang melayang. Tinggal sekarang bagaimana orang tua dan anak dapat perhatian karena mereka sekarang kan nggak mendapat kebebasan juga.
Apa yang bisa guru, orang tua, dan masyarakat pelajari dari pandemi ini mengenai pendidikan selama ini?
Dan:
Aneh juga ya pandemi tuh kayak bikin kita gagap, padahal kita itu punya pendidikan layanan khusus yang sudah  biasa dengan jarak. PJJ itu nggak selamanya daring. Energi  kita kayaknya kok habis ke sana.
Dari pemerintah pusat mengeluarkan trilyunan rupiah untuk bantuan pulsa. Padahal PJJ itu bukan sekadar daring, tapi ada pelajaran bersama lingkungan dan keluarga yang bisa dilakukan. Teknologi sudah sangat  maju. Tahun 2019 lalu bahkan ada RT  RW Net untuk wadah WiFi yang lingkupnya kecil dan murah.
Seharusnya  kita dapat pelajaran dari pandemi ini tentang bagaimana guru sudah ada di zona nyaman dan sekarang ditantang untuk inovasi pembelajaran.
Orang tua juga dapat pembelajaran bahwa selama ini mereka itu menitipkan anaknya untuk belajar  di sekolah. Pemerintah dan masyarakat juga dapat  pembelajaran penting bahwasanya akademik itu bukan segalanya. Pendidikan karakter bisa dilakukan dari berbagai hal.
Saya ingin menyampaikan kepada mas menteri  bahwa tujuh trilyun rupiah itu terlalu mahal untuk pulsa. Kalau  dipakai  pelatihan untuk bahan ajar dan pengembangan guru, semua akan efektif dan bergerak bersama.
Tentang keinginan orang tua dan anak untuk segera belajar tatap muka, kondisi sekarang nggak bisa kita kontrol. Betapa sulitnya kontrol protokol kesehatan di lingkup sekolah. Mengatur  sarana pasti bisa, tapi mengatur anak yang sudah lama nggak ketemu itu susah. Saya sangat mendukung dinas pendidikan dan forum guru untuk melaksanakan PJJ.
Apa imbauan dari dinas pendidikan dalam masa PJJ ini?
Dedi:
Di antara hak anak itu  ada hak hidup, hak sehat, dan hak mendapatkan pendidikan. Hak pendidikan itu tengah kami lakukan melalui kebijakan karena keselamatan anak didik adalah hal yang utama.
Kami berharap semua anak bisa belajar dan sukses. Teruslah belajar, gali pemikiran, dan karakter karena itu sangat menentukan masa depan.
---------
Hanifa Paramitha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H