Seharusnya pemerintah menyesesaikan persoalan ini daripada merencanakan belajar tatap muka yang masih mengandung risiko. Saya ragu sekolah mampu merancang protokol kesehatan dengan ketat.
Kantor pemerintahan yang protokol kesehatannya dirancang bagus pun kebobolan juga (banyak pegawai yang terkonfirmasi positif COVID-19). Bagaimaan kita mengawasi ribuan sekolah?
Dedi:
Disdik Jabar sudah melakukan survey dan mendapat sembilan indikator. Di antaranya masukan dari siswa yang berharap tidak banyak beban tugas dan lebih ke hal kontekstual melalui mata pelajaran tematik.
Masukan dari orang tua berharap siswa bisa PJJ secara mandiri. Sejauh ini orang tua  masih harus mengingatkan siswa. Orang tua juga menemukan kesulitas mencerna pelajaran dan sulit berkomunikasi dengan guru.
Dari banyak kasus terkonfirmasi positif COVID-19, anak usia sekolah ada di kisaran lima persen. Setelah dikonfirmasi hal itu bukan dari klaster sekolah, tapi klaster keluarga. Seperti ada yang terpapar karena dari luar kota. Nah ini yang kami khawatirkan mempengaruhi ke klaster sekolah.
Sebenarnya bukan menciptakan klaster baru yaitu klaster sekolah, tapi berharap kita lebih waspada dan mengedepankan keselamatan anak didik.
Mengenai hasil survey yang menginginkan ada pelajaran tematik dan pembelajaran mandiri. Bagaimana tanggapannya?
Iwan:
Tematik  itu yang penting tugasnya kolaborasi. Tidak hanya satu guru satu tugas. Sebenarnya saat normal kan setiap hari juga ada tugas dari pagi sampai sore. Kenapa sekaran merasa berat dengan kondisi belajar yang hanya empat jam per hari?
Di masa pandemi ini, protes bukan dari anak, Â melainkan orang tua. Kami setiap ketemu orang tua selalu ditanya kapan masuk sekolah. Jadi ibarat simalakama. Masuk salah, nggak masuk juga salah.