Sepeninggal Kika, aku terpaku. Masih belum menyadari apa yang kudengar dari pertemuan sekilas tadi. Apakah ini yang namanya jawaban? Bertemu kesempatan baik di tempat baik pula. Jika memang ini  adalah kesempatan kedua yang Tuhan beri, aku akan memperjuangkannya sepenuh hati.
Hari-hari berikutnya, aku mencoba mengontak Kika. Iseng mengajak ngopi, ternyata dia mau. Di tempat itu, aku tak banyak omong. Justru dia yang sering bercerita. Dari urusan kerjaan hingga pertunangannya yang bubar. Dari wajahnya, tampak ekspresi patah hati mendalam yang bercampur dengan ketabahan dan ketegaran. Aku jadi semakin salut dengannya.
Sebagai lelaki, aku tak simpatik dengan mantan tunangan Kika yang memutuskannya tiga bulan menjelang pernikahan. Alasannya ngibul: Kika terlau mandiri. Namun sebagai orang yang menaruh rasa, aku jadi'bersyukur' atas keadaan ini.
Berbulan-bulan kemudian, komunikasi kami mulai  intens. Aku pernah mengutarakan perasaan kepada Kika. Aku mengatakan bahwa beberapa tahun ini aku memendam rasa. Namun respon Kika hanya tertawa. Ia hanya bilang ingin fokus membenahi hati.
2015
Februari
Kika cerita ada empat orang yang menyatakan keseriusan kepada dirinya. Meski ia bilang tak punya rasa, tetap saja aku terkesiap. Apakah ini petunjuk?
"Aku udah pernah ada di level tunangan. Jadi kalau ada yang ngajak pacaran, turun level dong."
Aku selalu mengingat kalimat Kika yang pernah diucapkannya saat itu.
Agustus
Kumantapkan keputusanku. Menceritakan kepada keluargaku tentang Kika. Tentang keseriusanku. Tentang upayaku memperjuangkannya. Kuajak mereka ke rumah Kika untuk bersilaturahim. Seminggu berikutnya, kuminta bertemu Kika seorang diri dan mengatakan, "Aku serius sama kamu,Ka.