Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kangen

21 Juli 2020   19:27 Diperbarui: 21 Juli 2020   19:26 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hatiku bergetar setiap kali melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah. Aneka tanaman tropis berjejer tertata rapi dalam pot.

Teras dan halaman selalu resik dan tersisa debu sedikitpun. Rasanya damai dan tentram sekali batin ini.

Masuk ke ruang tamu  pun begitu. Tatanan meja dan kursi ditata apik dengan  mengedepankan estetika. Meskipun  ruangan ini mungil sekitar 2x2 meter saja, semuanya tampak sedap dipandang mata.

Tiga sisi dinding dipasangkan pigura beraneka bentukdan gambar. Di atas kursi kayu jati panjang, terpampang ukiran kaligrafi bertuliskan lafadz Allah berwarna hitam dan berukir tembaga.

Aku tersenyum. Itu oleh-oleh pemberianku saat pulang ibadah umrah sepuluh tahun lalu.

Di dinding seberangnya giliran lukisan kanvas bernuansa biru bergambar Masjidil Haram dengan aktivitas ritual tawaf mengelilingi Kakbah di tengahnya. Di dinding satunya lagi, giliran Masjid Nabtawi yang disajikan dalam bentuk gambar tiga dimensi.

Pigura ini paling besar dan berat, sehingga hampir menutupi setengah  dinding. Ibu memang selalu terkesan dengan pesona dua  kota suci agama  Islam tersebut.

"Senyum-senyum terus sampai lupa duduk. Jangan berdiri terus. Ayo bersantai dulu. Kamu mau dibikinkan minum apa? " tanya ibu menyadarkanku.

Aku tertawa geli. Betul juga. Sudah 15 menit sejak kedatanganku, namun aku masih berdiri di pintu. Memandangi segala yang terlihat di hadapanku yang telah kulewati selama sewindu.

"Teh melati aja, Bu. Sekar rindu rasa dan wanginya. Di luar negeri nggak ada," jawabku setelah mendaratkan diri di kursi jati peninggalan kakek dan nenek ini.

"Yowes. Tak tinggal yo," pamit Ibu yang bergerak ke arah dapur.

Aku melepaskan ransel yang sedari tadi menggantung di punggung. Kubuka sepatu dan kaos kaki lantas disimpan di rak depan pintu.

Berjalan kembali ke arah kursi dengan kaki telanjang. Merasakan dinginnya tehel kelabu di bawahku.

Dulu saat masih sekolah, tehel ini selalu jadi tempatku lesehan sambil belajar dan berkhayal. Diriku merajut mimpi untuk bisa menjelajah dunia di luar sana.

Setiap kali kuceritakan deretan impianku, Ibu selalu mengamini. Siapa sangka ternyata impian tersebut terwujud satu persatu.

Berawal mendapatkan hadiah sebagai lulusan SMA terbaik seprovinsi berupa umrah ke tanah suci, beasiswa melanjutkan kuliah di Jerman, hingga menjalani pekerjaan di Qatar. Sudah bertahun-tahun aku pergi dari sini.

Bukan  waktu sebentar untukku meninggalkan Ibu sendirian di kampung. Ternyata tak banyak yang berubah. Rumah ini selalu konsisten dengan aura ketenangannya. Berkat sentuhan tangan Ibu.

"Oalah melamun lagi.. senyum sendiri lagi.. Ono opo tho iki cah wedhok?" tanya Ibu yang baru datang  dari dapur membawa segelas teh panas dengan aroma melati yang begitu harum. Kepulan asap panasnya menari-nari di atas gelas.

"Aku kangen sama rumah. Kangen Ibu. Kangeeeen sekali," ucapku memeluk Ibu.

***

Hanifa Paramitha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun