Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- MC, TV Host, VO Talent ----- Instagram: @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Firasat dari Asap Pekat

9 Juni 2020   19:00 Diperbarui: 9 Juni 2020   19:06 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: bbc.com

Tami merasa sesak di dada. Ia ingin sekali berdehem dan batuk, namun upayanya sia-sia. Asap itu semakin lama semakin pekat dan menimbulkan bau.  Tami kembali terdesak. Ia bahkan tak sanggup melihat karena matanya perih akibat asap tebal. Ingin ia berteriak namun yang keluar hanya  erangan kosong.

***

"Tami ngeri sekali, Bunda. Huhuhu.. Semalam tuh rsanya seperti tercekik di kamar sendiri," Tami menangis tersedu di dapur sembari Bunda memasak di pagi hari.

"Tami sudah berdoa?" tanya Bunda sambil tetap menggoreng telur dadar.

"Sudah, Bunda. Apakah ini firasat? Tapi untuk apa?" Tami mengusap matanya.

"Pertanda kalau anak Bunda sudah lapar. Hehehe. Yuk kita makan dulu. Ini telurnya sudah matang. Nasinya sudah Bunda siapkan di meja," ucap Bunda.

Tami menghabiskan makan paginya dan bergegas ke sekolah. Di perjalanan, ia bertanya-tanya sendiri.

"Kata Bunda, mimpi hanyalah bunga tidur. Masa sih? Tapi jika mimpi itu begitu nyata, apalagi tiga kali berturut-turut, itu pasti petanda bakal terjadi sesuatu. Bisa itu petanda baik atau buruk. Terlepas ini mitos atau bukan," Tami bergumam dalam hati.

Malam pun tiba kembali. Tami merapalkan doa dan berharap tak berjumpa lagi dengan mimpi asap yang membuatnya  bergidik. Ia memejamkan mata. Terlelap. Sebuah bayangan kosong hadir dalam benaknya. Putih, hitam, putih, hitam, kelabu, putih, kelabu. Kemudian ada angin bertiup dan muncul sebuah suara. Ya, suara! Suara mendengung yang semakin lama memekakan telinga.

Terlihat dua makhluk bertopeng menghampiri kamar Tami. Kali ini tak lagi bersayap, bersepatu boots, dan membawa tombak. Mereka berperawakan seperti manusia biasa namun membawa senjata! Ditodongkannya moncong senjata ke arah tembok. Dalam satu kali pelatuk dikokang, tembok kamar Tami runtuh! Hancur berkeping-keping.

Tami ternganga melihatnya. Ia terbatuk dan ingin berteriak memanggil Bunda. Namun lagi-lagi suaranya silam. Tami tak punya pilihan lain, selain menunggu dengan pasrah apa yang terjadi. Terlihat makhluk bertopeng tersebut bersiap menembak kembali. Sekarang mereka mengarahkan senjata ke arah atap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun