Dulu, saat kehadiran zending di tanah Batak, khususnya di Toba membawa perubahan yang amat signifikan pada orang Batak. Masa itu generasi awal yang dilawat Injil tercerahkan dengan pendidikan. Maka tak heran mulai dari masa itulah banyak orang Batak yang berjibaku menimba ilmu dan berhasil. Maka profesi selain pendeta, guru menjadi sesuatu yang mulia. Tahun 70-an saat Malaysia kekurangan guru dan meminta bantuan Indonesia untuk mengirimkan guru dan dosen agar mengajar di Malaysia, salah satu etnis penyumbangnya adalah orang Batak.
Namun, semenjak tahun 80-an orang Batak sudah lebih banyak yang merantau, dan tak banyak lagi sekolah guru, apalagi pendeta. Profesi yang digeluti seluruhnya profesi yang cepat kaya. Saat itu terjadilah fenomena Brain Drain, mengalami migrasi kaum intelektual ke luar. Sebelumnya, orang Batak masih menganut filosofi dalam kehidupan, bahwa menjadi bahagia itu, mesti hidup bermakna, tetapi oleh perubahan masa tujuannya berubah, ”mamora” kaya raya menjadi tujuan.
Kini, sering waktu pemikiran itu mulai juga berubah, karena pemahaman yang dalam tentang makna hidup. Bahwa hidup tak sekedar hanya harga. Perubahan itu, seperti terjadi fluktuasi. Sadar, bahwa hidup ternyata tak sekedar harta saja, harta hanyalah hiasan hidup sementara. Sekarang, kembali sebagian mereka yang sudah mapan ekonominya menyekolahkan anaknya kembali sekolah teologia.
Memang masih banyak motif lain di luar itu. Barangkali melihat fenomena saat ini, tantangan orangtua membina anak kita diperhadapkan pada tantangan, narkoba, seks bebas dan segala macamnya itu. Satu pemikiran gerejalah tempat yang tepat untuk membina mental anak.
Padahal, jelas juga gereja juga tak jua bisa selalu setia dalam pembina mental. Kita ingat, pernah satu masa untuk membangkitkan Tanah Batak pernah muncul beberapa gagasan, antara lain Maduma dan Martabe. Martabe singkatan dari Marsipature Hutana Be, kalau diterjemahkan secara bebas “membangun kampung masing masing,” yang populer tahun 1980-an. Jangan lupa juga kita masa itu terjadi degradasi etos Batak, banyak ladang “tarulang” tak digarap. Martabe menggabungkan dua bahasa, Angkola-Mandailing dan Batak Toba.
Sementara Maduma, yang dipelesetkan jadi “Mangula Dungi Mangan” yang jika diartikan, bekerja baru makan. Jika kita hubungkan dengan kata Alkitab, yang tak berkerja janganlah makan. Maduma awalnya sebuah gerakan yang dirintis oleh Ir Humuntar Lumban Gaol (mantan Inspektur Jenderal Pembangunan Bidang Pembangunan Desa, 1994-1998). Gerakannya ini tentu mendapat sokongan dana dari Orde Baru waktu itu. Namun sayang, walau Maduma banyak membantu masyarakat Bona Pasogit, dengan pemberian bibit kopi di Sileang, dan membantu traktor di Dolok Sanggul, tak berhasil. Mesti dicatat juga, gerakan Maduma juga sempat mengirimkan pemuda-pemuda Batak lulusan pertanian UGM, IPB, untuk memberikan penyuluhan pada petani.
Bahkan mendorong di beberapa kecamatan Tapanuli waktu itu dikembangkan Sekolah Pertanian. Hanya, masyarakat tak menyambut gerakan itu. Gerakan ini hanya berhasil membangun jalan-jalan provinsi dan beberapa jembatan di Tapanuli, dan juga kapal ferry ke Sibolga. Lalu, memberikan bibit kopi sigarar utang di dimulai di kecamatan kecil Onan Ganjang, yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Humbang-Hasundutan. Walau tak tak begitu berhasil, inspirasi dari spirit Maduma itulah mendorong (alm) Raja Inal Siregar, ketika itu menjadi Gubernur Sumatera Utara meminta persetujuan Humuntar agar dia yang meneruskan proyek Maduma, berganti nama menjadi Martabe.
Sebenarnya, konsep Martabe jauh sebelumnya sudah ada spiritnya dengan menggelar kongkow-kongkow masyarakat Batak di Bandung, Desember 1986, waktu itu, Raja Inal ini adalah Panglima Kodam Siliwangi. Martabe juga tak sepenuhnya berhasil. Walau harus diakui ada keberhasilan mengajak perantau membangun kampung halaman masing-masing. Disinilah juga masalahnya karena “hanya” membangun kampung masing-masing. Tak bisa sepenuhnya berhasil, jika seluruh perantau mau kembali ke kampung halamannya. Ketenaran gerakan Martabe pun tak setenar namanya. Kata sohotnya “Martabe” sendiri sekarang malah dimanfaatkan satu perusahaan tambang swasta, memakai Martabe.
Saat teduh
Budaya kita memang latah membuat akronim bagus. Tetapi paling tidak akronim Marsomba juga terinspirasi tahun keluarga HKBP. Marsomba: akronim dari Marsaulihon Roha dohot Sohot asa Mian Badia. Jika dialihbahasakan bisa diartikan, agar saling menjaga hati dan pikiran agar tercipta kehidupan keluarga yang harmonis dan suci. Ajakan untuk memperbaiki hati dan pikiran bersama keluarga tetap senantiasa menjaga kekudusan. Keluargalah sekolah yang pertama dan terutama dalam membangun sikap mental.
Intinya, untuk mewujudkan hati dan pikiran seturut dengan firman Tuhan, keluarga mesti menyerahkan hidup, teguh menyembah Tuhan dan menjaga kehidupan yang lebih baik. Marsomba bisa juga diterjemahkan dalam kata sujud, dalam pengertian secara teologis menyerahkan seluruh totalitas hidupnya padaNya. Dulu, kata Marsomba lebih ditekankan kepada pihak hula-hula, artinya seorang pria harus menghormati keluarga pihak istrinya. Dasar utama dari filosofi ini adalah bahwa dari pihak keluarga harus menghargai keluarga dari istrinya.
Kata "Marsomba" sesungguhnya mesti kepada Tuhan saja. Keluarga adalah sekolah pertama seorang anak. Membangun keluarga yang baik dan saling mengasihi itu sulit! Disinilah dibutuhkan tanggung jawab orangtua. Ada ungkapan Batak yang menyebutkan "sian jabu asa tu alaman, sian alaman asa tu balian." Artinya apa? Salah membangun keluarga bisa berakibat fatal pada pengembangan di keluarga, terutama anak-anaknya. Apalagi kita diperhadapkan dengan roh zaman hedon yang materialistis ini.
Kita tentu tak salah membawa anak-anak ke gereja untuk belajar pada guru sekolah minggunya. Kita juga yang dewasa tak salah kita rajin bergereja dan mengikuti komunitas yang ada di gereja. Tetapi, kita tak sadar bahwa kita tak membangun pondasi sendiri terlebih dahulu. Akibatnya, banyak anak tidak mendapatkan contoh yang ideal dari orangtua. Dan tak heran anak setelah dewasa tak mendengar lagi nasihat orangtuanya. Karena apa? Orangtua salah, tak membangun pondasi sesungguhnya pada mental anak. Anak harus terus dilatih Marsomba. Menyerahkan hidup pada Tuhan.
Sebab, kerap kita hanya menunjuk yang terlihat, tak membangun yang tak terlihat. Pondasi iman kita itu ibarat kita membangun rumah, tak terlihat. Rumah sebelum dibangun terlebih dahulu digali pondasinya. Pondasi itu harus kokoh dan kuat. Baru kemudian di atasnya pondasi dibangun, bagunan yang kita rencanakan. Begitu juga rupanya, dalam keberimanan kita. Kita tak boleh bangga sudah rajin beribadah di gereja. Tak salah memang, sebab membangun persekutuan dengan orang lain di gereja itu juga mesti dan harus.
Sebelum itu, mari kita bangun pondasi terutama di dalam rumah. Pondasi yang pertama yang saya maksud hubungan pribadi dengan Tuhan itu harus beres. Saat teduh itu penting membangun pondasi iman. Lalu, ditambah saat teduh keluarga, dan disempurnakan kita ibadah di gereja. Ada orang yang rajin kebaktian di gereja tetapi hatinya masih picik. Masih suka melihat orang menderita. Masih kerap jadi hakim bagi orang lain. Gampang marah. Mudah putus asa. Apa yang membuat demikian? Salah satu indikasinya tak ada pondasi dari bangunan keberimanan dengan Tuhan.
Hubungan pribadinya dengan Tuhan pasti tak terjalin. Dengan mau bersaat teduh pribadi berarti ada ruang mengaca diri. Merenungkan diri. Darinya lahir kerendahan hati. Dalam Alkitab juga disebutkan, hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri. Berarti kuncinya mengutamakan orang lain. Jelas, jika tak ada sikap rendah hati, tanpa kerendahan hati, kita tak akan mampu bersyukur. Ihklas menjalani hari-hari yang ruwet.
Dan kalau kita rendah hati, masih ada harapan, kita masih bisa melihat dan merasakan kuasa Tuhan. Karena itu mari rendah hati untu mengakui dan merasakan mukjizat dari Tuhan. Sudah pasti. Perenungan ini mengajak kita menggali pondasi yang belum sempat kita bangun. Keimanan kita terlihat di kehidupan pribadi kita dengan Tuhan, dan keluarga kita. Jadi jika hubungan di gereja penting, tetapi jauh penting membangun hubungan diri dengan Tuhan dan kelaurga terlebih dahulu. Baru gereja juga menguatkan, selain menguatkan itu juga hanya persekutuan sosial terbangun.
Akhirnya, bahwa rahasia dari pesan judul Maduma-Martabe-Marsomba di atas perlu kerja keras agar bisa makan, menikmati hidup. Lalu terus memperhatikan asal-usul kita, keluarga kita. Dan terakhir tak boleh lupa menyerahkan seluruh kehidupan kita pada yang empunya. Sebab DIAlah yang memiliki otoritas mutlak dari setiap sisi kehidupan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H