Siapa di sini yang mempunyai hobi menonton film, khususnya genre Superhero? Pasti banyak dari kita akan menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat bersukacita.
Saat ini film telah bersinggungan dengan kehidupan manusia. Sebagai media audio visual, film tidak hanya menghibur para penontonnya tetapi juga menyampaikan pesan yang telah diselipkan oleh pembuatnya.
Dalam film Superhero, seringkali kita melihat adegan-adegan aksi yang begitu luar biasa, didukung oleh efek teknologi dan juga suara yang menggelegar.
Dengan begitu, orang yang menonton pun akan merasa terbawa alur cerita yang ada dan mengikuti perjuangan yang dialami oleh tokoh utama.
Melihat antusias penonton yang begitu besar terhadap film Superhero, membuat industri film harus berlomba-lomba untuk menciptakan sebuah karya yang bisa diterima banyak orang.
Namun, tidak sedikit pula bahwa terdapat film superhero yang dibuat karena ingin membawa sebuah isu tertentu. Salah satunya adalah film Wonder Woman (2017).
Wonder Woman (2017)
Aktris Gal Gadot yang memerankan tokoh Superhero Wonder Woman, dikisahkan sebagai seorang prajurit perempuan bernama Diana Prince.
Diana sebagai anak dari Ratu Hippolyta, tinggal di pulau Themyscira yang semua penduduknya merupakan perempuan.
Di sana, Diana dan penduduk lainnya dilatih menjadi seorang prajurit karena mempersiapkan untuk menerima serangan yang tidak bisa ditebak oleh Dewa Ares.
Singkat cerita, tibalah sosok mata-mata Jerman bernama Steve Trevor yang masuk ke dalam wilayah pulau Themyscira. Ia pun bertemu dengan Diana dan menceritakan kejahatan apa yang sedang terjadi di luar sana.
Erich Ludendorff sebagai Jenderal Jerman melakukan kerjasama dengan ahli kimia untuk menciptakan senjata biologis baru. Di sini lah petualangan Diana sebagai Wonder Woman yang pergi ke tempat manusia biasa tinggal sebagai penyelamat.
Cerita dalam film Wonder Woman (2017) disusun dengan sangat menarik dan membuat penonton bisa memahami perjuangan yang disampaikan.
Namun, sebenarnya terdapat konsep lain yang ingin dibangun oleh Patty Jenkins sebagai sutradaranya. Hal yang dimaksud adalah citra perempuan terkait isu feminisme.
Heroik dan Feminisme
Melalui film Wonder Woman (2017), sebenarnya tokoh Diana Prince digambarkan sebagai sosok perempuan yang kuat dan bisa memimpin.
Dibuktikan dari sepanjang adegan sejak dirinya membantu Steve untuk melawan Jerman, Diana selalu disorot dan bisa menaklukan musuhnya yang semuanya bergender laki-laki.
Wonder Woman sangat menggambarkan konsep feminisme dalam film yang tujuannya ingin menggeser budaya patriarki dengan laki-laki sebagai sentral.
Cateridge (2015, h. 23) berpendapat kalau teori film feminisme berfokus pada cara di mana bahasa visual yang terdapat dalam film dapat dipakai dan dianggap sebagai gender.
Representasi soal perempuan sebagai manusia yang seharusnya memiliki status yang sama dengan laki-laki, menjadi latar belakang kajian feminisme dalam sebuah film.
Kesetaraan Gender
Kemunculan film Wonder Woman (2017) diharapkan bisa memberi pandangan kepada para penontonnya bahwa seorang perempuan juga bisa menjadi pemimpin.
Diana Prince sebagai tokoh superhero Wonder Woman, menunjukkan kesetaraan gender yang ternyata bisa diwujudkan dalam cerita fiksinya.
Terlebih lagi pembawaan aktris Gal Gadot yang sangat menjiwai, secara tidak langsung mempengaruhi penontonnya terkhusus perempuan untuk berani dan tidak perlu merasa rendah.
Stam (2000, h. 172) mengutarakan jika film feminisme memiliki goals untuk meningkatkan kesadaran penontonnya akan penentangan citra buruk perempuan yang dikonstruksi oleh media.
Pernyataan yang disampaikan oleh Stam di atas sejalan dan sesuai dengan apa yang ditampilkan dalam tokoh Wonder Woman.
DAFTAR PUSTAKA
Cateridge, J. (2015). Film Studies for Dummies. UK: John Wiley & Sons, Ltd.
Stam, R. (2000). Film Theory: An Introduction. United States of America: Blackwell Publishers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H