Sungguh sebuah kesempatan baik, saya boleh mendirikan komunitas di Kompasiana. Tiga: Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen), Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), dan Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana).
Betapa saya begitu bersyukur, ketiganya mendapat respon baik. Di Temu, Pulpen memiliki 700 anggota, Kopaja71 884 anggota, dan Indosiana 293 anggota.
Seharusnya, urutannya yang besar dulu paling depan (d.h.i. Kopaja71), namun Pulpenlah yang tertua. Lahir secara berurutan: 10 April 2023, 16 Juni 2023, dan 7 September 2023.
Belum ada yang setahun. Tetapi, pekerjaan sudah cukup banyak terjadi. Setiap kegiatan komunitas terhubung dengan IG-nya: @pulpenkompasiana, @kopaja71, dan @indosiana_.
Saya simpulkan cukup banyak karena dalam rentang waktu tersebut, Pulpen mengunggah 108 konten di IG, Kopaja71 67 konten, dan Indosiana 15 konten.
Apa saja isinya?
Kalau Pulpen, mulai dari pengumuman sayembara, reviu cerpen, tip menulis cerpen, pengumuman pemenang, testimoni pemenang, sertifikat juri, pertemuan pulpen, sertifikat narasumber dan moderator, dan sebagainya.
Kopaja71 meliputi unggahan poster lomba, penayangan artikel pemenang, apresiasi juri, kegiatan temu kompasianer kopaja71, dan seterusnya.
Sementara Indosiana mencakup (hampir sama) lomba menulis, penayangan artikel pemenang, pengemasan kembali artikel di Kompasiana yang cocok dengan tujuan Indosiana, dan lainnya.
Ketiga komunitas pada IG masing-masing tercatat punya follower: Pulpen 615, Kopaja71 251, dan Indosiana 219.
Apa yang hendak saya bagikan?
Bahwa di atas adalah data. Tidak ada sama sekali unsur melebih-lebihkan. Entah semesta menyambut baik atau sedang beruntung, semakin hari bertambah follower.
Tentu, ada sesuatu yang menyebabkan mereka tertarik. Konten unggahan. Butuh waktu untuk membuatnya? Iya. Butuh pikir untuk mendesainnya? Iya. Butuh kocek untuk mengunggahnya? Iya.
Semua butuh, butuh, dan butuh pengorbanan. Ini melekat secara identik dengan melayani. Tak ada melayani yang tak berkorban. Saya pun belajar dari pengalaman hidup:
melayani adalah sebuah kata yang indah.
Kata yang menempatkan ego saya pada titik terendah untuk mau dan bersedia secara sengaja, menyajikan seapik mungkin konten komunitas.
Kata yang mengajari saya belajar mengerti bagaimana karakter orang-orang. Kata yang melatih sabar dan tenang dalam menghadapi masalah.
Kata yang telah membentuk karakter saya. Sesungguhnya, musuh terbesar kita adalah diri sendiri, bukan?
Apa upah saya melayani?
Uang? Oh, tidak! Pengorbanan yang terjadi jauh lebih besar. Terkenal? Ah, tidak juga, masih begini saja saya.
Anda mau tahu?
Saya senang ketika orang (d.h.i.) menjadi maju dan sukses dengan adanya ketiga komunitas itu. Melihat animo Kompasianer mengikuti sayembara cerpen Pulpen dan mendapat apresiasi, itu senyum saya melebar.
Semakin terasah keterampilan menulis cerpen. Kian banyak kosakata dipelajari. Ketegangan konflik lebih diperhatikan. Ada kemajuan di sana, seiring dengan semakin banyaknya menulis.
Pada Kopaja71, menyaksikan Kompasianer menang lomba lantas artikelnya ditayangkan kembali di IG Kopaja71 dengan tujuan mencarikan pembaca tambahan di luar Kompasiana, senyum saya semakin lebar.
Warga IG baik Kompasianer maupun non-Kompasianer semakin tahu bahwa kualitas tulisan Kompasianer oke-oke. Dengan menyabetkan gelar juara pada permulaan salindia artikel di IG, ada kepercayaan tambahan warga IG untuk membaca lebih lanjut.
Pernah saya berucap di grup WA Pulpen bahwa Pulpen ada sebagai ladang ibadah saya. Bagaimana melihat kemajuan teman-teman menulis cerpen, serasa upah ibadah samar-samar tampak di depan mata.
Ini belum terhitung kopi darat anggota keluarga Kopaja71 yang terjadi karena dukungan acara dari KG Media. Gagas RI besutannya menjadi ajang kami berkumpul.
Silaturahmi terjalin. Kami saling bercakap dan menimpali pendapat. Senang saja begitu, bisa berkumpul sesama Kompasianer. Dipercaya pula boleh memperpanjang umur.
Bagi Anda yang berminat membuat komunitas...
Di Temu Kompasiana, terbuka lebar untuk Kompasianer membuat komunitas. Bukan bermaksud mengajari, tetapi inilah pengalaman saya.
Bahwa agar komunitas berkembang, pendiri harus mau melayani. Berkorban sana-sini sebagai ejawantah perbuatan baik. Jangan harap tiba-tiba banyak anggota.
Apalagi kita bukan siapa-siapa. Semua butuh proses dan perlu waktu. Di sini juga ada komunitas-komunitas senior yang kepadanya kita boleh belajar, bagaimana mempertahankan eksistensi di tengah gelombang.
Pada akhirnya, kita hanya bisa melayani dengan tulus dan terus hanya karena panggilan hidup. Bukan untuk apresiasi, bukan berharap terima kasih.
Tetapi, sudah menjadi tabiat bahkan kesukaan. Â Mengajak orang-orang untuk bersama-sama sukses dengan kehadiran komunitas. Dan biarlah, sebuah petikan lagu rohani menjadi penutup artikel sederhana ini.
Oh Tuhan, pakailah hidupku. Selagi aku masih kuat.Â
Bila saatnya nanti, ku tak berdaya lagi. Hidup ini sudah jadi berkat.
...
Jakarta,
23 Oktober 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI