Banyak video mendapat like darinya. Banyak yang sudah diunggahnya lewat media sosialnya. Banyak teman-temannya kaget seperti mendapat sesuatu yang tak terduga: adakah Tabir ini mendaftar sebagai pekerja yayasan sehingga terus-menerus berbakti sosial dengan menyebarkan video-video itu?
Seorang nenek tua tinggal sendirian dalam gubuk di tengah desa. Anak kecil kurus kerempeng jalan di pinggir jalan. Pria setengah baya berambut acak-acakan tampak setengah telanjang berbicara sendiri di bawah lampu merah.
Bersama dengan tampilan video-video itu, terus saja muncul narasi dalam layar ponselnya untuk mengajak berbuat kebaikan. Tak sulit, bahkan sangat gampang, tinggallah pencet tombol like pun sebarkan videonya. Berulang kali Tabir menatap layar ponsel dan melakukan itu semua.Â
Pizza di atas mejanya sudah dirubung semut. Tampaknya karena ketagihan melihat ponselnya, Tabir sampai ketiduran dengan masih berpakaian seragam kerja. Air matanya sudah mengering. Matanya terlalu capek. Ponsel lambang kemajuan teknologi itu masih menyala. Tergeletak di samping badan Tabir.
Kali-kali saja memang benar teknologi bisa membantu berbuat baik. Namun, adakah sungguh benar, hal-hal dalam konten-konten yang mengundang simpati itu adalah keadaan sesungguhnya? Siapa yang bisa membuktikan keasliannya?Â
Bukankah manusia diberi akal untuk bertanya alih-alih kalah terhadap perasaan yang menghanyutkan? Pernahkah ada yang menjamin bahwa dana yang telah tersalurkan tersampaikan pada pihak yang membutuhkan?Â
Keadaan yang tidak jauh di depan mata, dekat di sekitar lingkungan, yang benar-benar nyata, kiranya tidak kalah penting untuk diutamakan.
Hati nurani Tabir memang terus terasah untuk berbuat baik lantaran terbiasa tersentuh setiap kali ia memandang konten-konten yang butuh pertolongan dalam media sosialnya. Tabir semakin mudah trenyuh dan menitikkan air mata, membiarkan perasaan menguasai dirinya, menggerakkan tangannya secepat kilat menekan tombol like bahkan mentransfer sejumlah uang atas nama kebaikan.
Tabir merasa dirinya telah berbuat baik, begitu banyak melalui kepraktisan teknologi dalam genggaman tangannya. Di tengah rumah itu, di atas kursi sofa yang empuk, sendirian, tak ada siapa-siapa, pun terus-menerus.Â
Kali-kali saja, malaikat pencatat amal kerepotan mendata pahala baiknya. Namun, malaikat bisa pula menunda mendatanya, tatkala tampak dalam penglihatannya, tetangga sebelah yang hidup berdampingan dengan rumah Tabir setengah mati mencari uang sekadar makan lantaran baru saja di-PHK dari perusahaan tempatnya bekerja.
Tabir tinggallah sendiri dalam rumahnya dan teruslah ia berbuat baik pada orang-orang yang tak pernah dikenalnya, menanggapi positif konten-konten yang tampak menggugah hatinya, dan entah sudah berapa jumlah uang yang terkuras untuk membantu mereka.Â